Pelecehan Seksual di Sekolah, Buah Penerapan Sistem Sekulerisme


author photo

4 Jul 2025 - 20.58 WIB



 
Oleh : Suryani Rahmah, A.Md Far (Pemerhati Masyarakat)
 
Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) Kalimantan Timur saat ini tengah mengawal kasus dugaan pelecehan seksual saat kegiatan pramuka di Samarinda. Dugaan pelecehan tersebut terjadi pada Jumat dini hari, 13 Juni 2025 lalu. Bermula saat oknum pembina pramuka diduga melakukan pelecehan seksual terhadap empat remaja perempuan (alumni sekolah), saat kegiatan kepramukaan di salah satu sekolah menengah di Samarinda.
Awalnya, oknum pembina pramuka ini memanggil sejumlah alumni tersebut untuk membantu kegiatan perkemahan di sekolah. Menurut keterangan Ketua Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) Kalimantan Timur, Rina Zainun, dugaan pelecehan berlangsung dalam suasana yang dibuat mistis oleh pelaku. Korban diarahkan untuk melakukan semacam meditasi atau hipnotis, dengan dalih membersihkan diri dari energi negatif dan menghindari kerasukan makhluk halus karena telah memasak di waktu yang dianggap ‘pantang’.
Pelaku meminta korban menutup mata dan mengikuti instruksinya, seperti ‘pejamkan mata, masuk ke alam bawah sadar’. Ini jelas bukan bagian dari kegiatan pramuka yang sehat dan edukatif, melainkan bentuk manipulasi yang mengarah pada pelecehan.
 
Dampak Sistem Rusak
 
Sungguh miris, lingkungan pendidikan yang seharusnya steril dari aktivitas amoral, justru menjadi tempat subur bagi berlangsungnya perbuatan asusila. Kasus pelecehan seksual bukan hanya terjadi di satuan pendidikan tingkat menengah atau tinggi, tetapi sudah menjangkau sekolah dasar. Semua ini makin membuktikan bahwa sistem dan aturan yang diterapkan di negeri ini telah gagal mewujudkan masyarakat beradab.
Kasus pelecehan seksual di lingkungan pendidikan dengan oknum guru sebagai pelaku, tidak ubahnya fenomena gunung es. Kasus-kasus viral hanya sebagian kecil dari yang tampak di permukaan, sedangkan yang luput dari pemberitaan masih sangat banyak.
Sungguh miris, guru adalah pendidik yang seharusnya menjadi teladan dalam ketinggian moral dan akhlak, tetapi justru menjadi pelaku pelecehan seksual yang tidak lain adalah perbuatan maksiat yang keji. Ini jelas masalah serius di tengah masyarakat kita, khususnya dalam sistem pendidikan dan pergaulan.
Sistem pendidikan saat ini di bangun dengan asas sekuler, yaitu pemisahan antara agama dan kehidupan. Sekularisme itu pula menjadi asas sistem demokrasi kapitalisme yang diterapkan di negara kita. Dalam sistem ini, agama dianggap sebagai bagian dari ranah privat dan hanya boleh mengatur urusan ibadah ritual individu saja. Urusan kehidupan lainnya diatur dengan prinsip demokrasi, yaitu menyerahkan hak pembuatan hukum kepada akal manusia.
Asas sekuler dalam sistem pendidikan telah menyebabkan visi sekolah menjadi melenceng. Visi yang awalnya membentuk manusia beriman dan bertakwa, ternyata hanya jargon dan formalitas belaka. Fenomena kerusakan generasi ini tidak hanya terjadi di lembaga pendidikan umum, tetapi juga di lembaga pendidikan Islam dan pesantren.
Islam diajarkan hanya sekedar teori dengan berorientasi pada nilai di atas kertas. Akibatnya, banyak generasi muslim yang pintar ilmu Islam, tetapi perilakunya sama sekali tidak mencerminkan sosok yang berkepribadian Islam. Tidak sedikit pula oknum guru agama yang begitu ringan bahkan terang-terangan melakukan perbuatan nista.
Sistem sekuler juga memberi ruang bagi kebebasan berpikir dan berperilaku. Seseorang bebas berpendapat dan bertingkah laku selama dianggap tidak merugikan orang lain. Perbuatan asusila seperti perzinaan diklaim tidak bisa dianggap sebagai kejahatan, selama dilakukan atas dasar suka sama suka sehingga perbuatan ini juga tidak bisa tersentuh hukum.
Namun solusi yang ditawarkan dalam mengatasi hal ini malah edukasi seks yang aman dan sehat. Sedangkan kemungkinan besar perbuatan semacam itu justru menjadi benih bagi tindak pelecehan/ kekerasan seksual, karena aktivitas seksual bagaikan candu yang menyebabkan ketagihan. Tidak heran, meski berbagai UU dan regulasi hukum sudah diterbitkan untuk mencegah kejahatan seksual, namun masih belum mampu menuntaskannya.
Sebagai contohnya, UU 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan UU 23/2022 tentang Perlindungan Anak yang bahkan sudah dua kali direvisi dengan sanksi hukum yang makin berat dan hukuman kebiri. Selain itu, ada juga Permendikbud 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Regulasi itu sama sekali tidak bisa memberikan efek jera dan menghentikan terjadinya kasus serupa. Yang terjadi, kasus-kasus baru malah terus bermunculan. Apalagi sudah menjadi rahasia umum, bahwa hukum di negara kita bisa dibeli. Wajar jika akhirnya kasus pelecehan seksual terus terjadi, tidak terkecuali di lingkungan pendidikan.
Kondisi itu diperburuk dengan maraknya media yang mengumbar sensualitas. Pornografi, pornoaksi, dan pornoliterasi sangat mudah diakses, bahkan oleh anak di bawah umur. Sayang, pemerintah yang seharusnya mampu memblokir semua situs yang mengandung konten pemicu tindakan mesum, seolah-olah tidak berdaya. Lagi-lagi capaian profit materi menjadi alasannya sehingga penguasa rela mempertaruhkan moral generasi.
Kondisi ini menjadi bukti nyata rusaknya sistem sekuler demokrasi kapitalisme yang diterapkan saat ini. Sistem tersebut adalah buah dari akal manusia yang serba terbatas sehingga melahirkan lingkungan dan individu-individu yang rusak. Terlebih ketika fungsi kontrol sosial tidak berjalan sebagaimana mestinya, sebagai dampak sikap individualistis masyarakat. Atas alasan menghormati privasi, kegiatan amar makruf nahi mungkar malah dianggap sebagai kesalahan.
Jelas, selama sistem sekuler demokrasi kapitalisme yang rusak dari akarnya ini masih tetap diterapkan oleh negara, selama itu pula kasus pelecehan seksual di lingkungan pendidikan akan terus berulang.
 
Islam Menutup Pintu Pelecehan Seksual
 
Sebagai sistem kehidupan yang sempurna, Islam memiliki mekanisme yang khas dan komprehensif untuk mengatasi pelecehan seksual, tidak hanya di sekolah tetapi juga di seluruh lingkungan masyarakat. Dalam hal ini, ada tiga bagian sistem yang saling terkait, yaitu sistem pergaulan, sistem pendidikan, dan sistem sanksi.
Pertama, sistem pergaulan Islam telah menetapkan sejumlah aturan tertentu yang berupa perintah dan larangan terkait hubungan antara laki-laki dan perempuan. Berikut ini adalah sejumlah aturan pergaulan laki-laki dan perempuan yang dikutip dari kitab Nizhamu al-Ijtima’i fii al-Islam karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah.
1). Islam telah memerintahkan kepada manusia, baik laki-laki maupun perempuan untuk menundukkan pandangan. Betapa banyak kasus pelecehan seksual bermula dari mata. Dengan perintah menundukkan pandangan ini, satu pintu menuju zina akan tertutup. 2).Islam memerintahkan kepada para perempuan untuk menutup auratnya dengan pakaian sempurna berupa jilbab dan khimar. 3). Islam melarang perempuan untuk melakukan perjalanan selama sehari semalam kecuali jika disertai mahram.
4). Islam melarang laki-laki dan perempuan untuk berkhalwat (berdua-duaan). 5). Islam melarang perempuan untuk keluar dari rumahnya tanpa izin dari walinya. 6). Islam menjaga agar dalam kehidupan khusus jemaah perempuan terpisah dengan jamaah laki-laki. 7). Islam membatasi kerjasama antara laki-laki dan perempuan hanya pada aktivitas muamalah yang bersifat umum.
Dengan aturan pergaulan yang jelas dan rinci itu, hubungan laki-laki dan perempuan dalam Islam akan berlangsung penuh kehormatan. Aturan Islam akan membuat setiap individu dan masyarakat terhindar dari perbuatan nista dan terjaga kesuciannya. Selain disampaikan sebagai bahan ajar di sekolah-sekolah, aturan Islam juga diterapkan secara praktis oleh negara.
Kedua, sistem pendidikan yang berlandaskan akidah Islam menjadikan fokus pembelajaran pada amal perbuatan yang nyata, bukan terbatas pada aspek teori. Islam dipelajari untuk dipahami dan diterapkan, bukan demi nilai ujian. Ketaatan pada aturan Islam adalah buah dari keimanan, bukan karena takut terhadap sanksi atau ancaman. Dengan begitu, tiap individu akan berusaha taat dan terikat dengan syariat tiap saat, bukan hanya saat ada yang melihat.
Tidak hanya itu, segala sarana yang membangkitkan gejolak syahwat dan memicu pelecehan seksual akan dilarang oleh negara. Media-media yang menayangkan konten-konten mesum dan melanggar hukum syariat akan ditindak tegas. Pornografi, pornoaksi, dan pornoliterasi dianggap sebagai musuh bersama.
Ketiga, jika kasus pelecehan seksual tetap terjadi, negara akan memberlakukan sistem sanksi yang tegas. Untuk pelaku zina yang belum menikah, baik laki-laki maupun perempuan, akan dijilid sebanyak seratus kali cambukan. Sedangkan pezina yang sudah menikah, akan dirajam sampai mati. Hal itu sesuai dengan firman Allah Taala di dalam QS An-Nuur ayat 2, yang artinya, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera. Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah.”
Untuk kemaksiatan atau pelanggaran atas kehormatan seperti perbuatan cabul (meliputi segala bentuk pornografi, pornoaksi, dan pornoliterasi) atau perbuatan melanggar kesopanan, yang tidak ditetapkan had dan kafaratnya oleh Allah, pelakunya dijatuhi hukuman takzir yang jenis dan kadarnya ditetapkan oleh khalifah.
Dengan penerapan sistem sanksi tersebut, selain akan menghasilkan efek jera, juga berfungsi sebagai penebus dosa atas kesalahan yang telah diperbuat pelaku. Sanksi hukum di dalam Islam memiliki dua fungsi, yaitu sebagai pencegah (agar orang lain tidak melakukan pelanggaran serupa), juga sebagai penebus (atas dosa dari pelanggaran yang dikerjakan pelaku).
Penerapan syariat Islam secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan adalah sebuah kewajiban. Hal ini adalah satu-satunya jalan yang mampu mencegah muncul dan berulangnya kasus-kasus pelecehan seksual beserta seluruh turunannya. Tidak pelak, kebutuhan umat akan tegaknya institusi yang akan menerapkan syariat Islam kafah adalah sesuatu yang nyata dan mendesak.
 
Wallahu’alam bissawab
Bagikan:
KOMENTAR