Proyek Hilirisasi Melanggengkan Kapitalisasi


author photo

29 Jul 2025 - 13.38 WIB


Oleh : Dinnar Fitriani Susanti 
Aktivis Muslimah Balikpapan 


PT Mitra Murni Perkasa (MMP) resmi memasuki tahap power on untuk smelter nikel matte high grade di kawasan industri Kariangau, Balikpapan, Kalimantan Timur, pada Kamis (26/6/2025). Pencapaian ini menjadi tonggak penting dalam perjalanan MMP sebagai smelter nikel matte yang dibangun dengan 100% penanaman modal dalam negeri (PMDN), sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global baterai dan transisi energi bersih.  Smelter MMP menghasilkan kapasitas hingga 28.000 metrik ton high grade nickel matte per tahun, menggunakan teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) 2 x 48 MVA yang dilengkapi converter modern. Teknologi adaptif memungkinkan proses peleburan dan pemurnian nikel berjalan lebih efisien, hemat energi, dan rendah emisi. Operasional smelter ini didukung oleh pasokan listrik dari PLN, termasuk skema Renewable Energy Certificate (REC) sebagai bentuk komitmen terhadap energi rendah karbon. 

Presiden Direktur MMP, Adhi Dharma Mustopo, menyampaikan bahwa momen ini bukan sekadar proses teknis, tetapi juga cerminan kesiapan MMP dalam menjalankan operasi berstandar tinggi dan berkelanjutan.  “Smelter ini dibangun sepenuhnya 100% PMDN dengan semangat dari dan untuk negeri sebagai sebuah bukti bahwa Indonesia mampu membangun infrastruktur strategis yang kompetitif secara global,” ujarnya dalam keterangan resminya, Sabtu (28/6/2025).


Orientasi Kapitalis Hanya Bisnis 

Smelter Nikel adalah fasilitas industri yang memproses bijih nikel menjadi produk yang lebih bernilai, seperti nikel matte atau nikel murni. Proses ini melibatkan peleburan bijih nikel pada suhu tinggi untuk memisahkan nikel dari material lain. 

Smelter Nikel oleh PT MMP yang Untuk menghasilkan produk nickel matte atau feronikel dibutuhkan bijih nikel sebanyak 2 juta ton per tahun. Bahan baku tersebut akan diambil dari tambang nikel milik perusahaan afiliasi di Sulawesi dan beberapa petambang nikel.
Saat ini perusahaan mendapat pendanaan dari bank himbara dan dua bank lokal. PT. MMP menjadi perusahaan nomor tiga dengan investasi dalam negeri terbesar di Kalimantan Timur. 

Melihat posisi smelter yang dekat dengan Kota, menurut PT. MMP adalah suatu terobosan yang beda dengan smelter lainnya. 

Pro dan kontra pun sebelumnya telah terjadi, sejak tahun 2022 oleh aktivis lingkungan sekitar pesisir Mangrove. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan itu mengemukakan beberapa aktivitas yang memberi dampak kerusakan lingkungan ini antara lain, penimbunan vegetasi, pengerukan hulu anak sungai, pengupasan, penggalian serta pendorongan lahan. Koalisi LSM tersebut turut menduga aktivitas pembangunan smelter nikel tersebut belum mengantongi legalitas.

Dan menurut laporan Pokja Pesisir Balikpapan dan Walhi Kaltim, tak kurang dari 30 hektar mangrove di sekitar Sungai Tempadung Kelurahan Kariangau, Balikpapan Barat tergerus oleh aktivitas pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) nikel di kawasan tersebut.

Satu sisi pemerintah dan perusahaan menyampaikan bahwa konsep smelter ini dari rakyat untuk kesejahteraan rakyat, karena smelter ini mekanisme pengelolaannya berdasarkan konsep PMDN.
Berkaca dari smelter yang sudah berjalan terlebih dahulu, yaitu Emiten nikel PT Ifishdeco Tbk. (IFSH) dan kontraktornya telah menuntaskan kewajiban pajak daerah Rp20,74 mliar pada 2022 hingga 2024. Dan pada 2025 perusahaan menargetkan produksi dan penjualan bijih nikel sesuai Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) sebesar 2,2 juta ton. Dari volume tersebut, perseroan mengincar pendapatan Rp1,1 triliun dan laba bersih sekitar Rp150 miliar.
Melihat dari kenyataan itu nampak bahwa  Nagara atau pemerintah daerah mendapatkan dari pajak hanya sekitar 7,5 persen dari pendapatan perusahaan smelter.

Dan perusahaan mengklaim memberikan kontribusinya meningkatkan kesejahteraan, dengan membuka lapangan kerja dan pendapatan lainnya, seperti pendatang yang akan mencari rumah dan lain-lain. Namun realitas nya adalah penerimaan pekerja 60 persen dari luar daerah dan 40 persen sekitar wilayah Balikpapan dan Samarinda. 

Paradigma yang sekedar cukup dengan menerima pajak, adalah sebuah mindset yang membuka jalan lebar bagi penjajahan SDAE di Indonesia. 

Dampak dari smelter ini pun tidak lagi di lihat sebagai musibah salah kelola. Belum lagi dampak sosial yang membayangi masyarakat, seperti mencukupkan dan bangga menjadi pekerja saja.

Penguasa dan pengusaha berlindung lewat UU No. 25 Tahun 2007 mengatur hak dan kewajiban investor lokal dalam menanamkan modal di berbagai sektor industri. Tujuan PMDN
antara lain: Mendukung perekonomian dalam negeri. Mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap investasi asing. Menciptakan lapangan kerja. Meningkatkan kapasitas industri dalam negeri. Terlihat perlindungan yang seakan-akan baik untuk masyarakat. Namun inilah problem utama ketika kapitalis menjadikan siapapun berhak untuk mengelola kepemilikan dan pengelolaan yang melekat pada umum, diberikan kepada perusahaan. Sekilas nampak menguntungkan masyarakat. Tetap saja hal ini tetap berbasis pada bisnis bukan kesejahteraan yang hakiki.

Belakangan, dengan isu dekarbonisasi, net zero emission (NZE), seruan untuk menurunkan emisi karbon makin menguat. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah penggunaan electric vehicle (EV). Masifnya permintaan pasar terhadap EV—yang diklaim lebih ramah lingkungan daripada mesin internal combustion engine (ICE)—telah meningkatkan permintaan terhadap nikel, walau belum melebihi permintaan untuk produksi baja.

Menilik dari tren industri dalam pemanfaatan nikel, kecil kemungkinan produksi nikel dapat dikurangi dalam waktu dekat. Baja tahan karat masih dibutuhkan dalam jumlah besar untuk berbagai keperluan mulai dari rumah tangga hingga industri. Sementara itu, penggunaan nikel sebagai isu energi bersih menjadi semakin memberikan ruang penjajahan SDAE ke negeri berkembang seperti Indonesia, untuk legal di eksploitatif sedangkan Negera Barat menikmati energi bersih. 

Islam Menghentikan Hegemoni SDAE

Industri Tambang yang di dalamnya pasti membutuhkan mekanisme smelter, maka
Din Islam diturunkan oleh Allah Swt. dengan aturan terkait hubungan antara manusia dan Allah, manusia dan manusia lain, serta manusia dan dirinya sendiri. Aspek pertambangan, secara umum, tercakup pada dimensi hubungan antara manusia dan manusia lainnya (muamalah). Pasalnya, industri pertambangan akan melibatkan interaksi antara lebih dari satu manusia, baik secara fundamental maupun praktis.

Secara fundamental, hal ini bisa dipahami dari status sumber daya energi dan mineral yang ditambang dalam syariat Islam. Dalam hadis disebutkan, dari Abyad bin Hammal, ia mendatangi Rasulullah ﷺ dan meminta beliau ﷺ agar memberikan tambang garam kepadanya. Nabi ﷺ pun memberikan tambang itu kepadanya. Ketika Abyad bin Hamal ra. telah pergi, ada seorang lelaki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya, Anda telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti air mengalir (al-maa’ al-‘idd).” Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah ﷺ mencabut kembali pemberian tambang garam itu darinya (Abyad bin Hammal).” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).

Syekh Abdul Qadim Zallum dalam Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, menjelaskan bahwa hadis tersebut menjadi dalil bahwa barang tambang yang depositnya melimpah adalah milik umum dan tidak boleh dimiliki individu. Walau hadis tersebut berbicara tentang tambang garam, tetapi secara praktis tidak terbatas hanya untuk tambang garam, melainkan untuk semua jenis barang tambang yang jumlahnya melimpah. Ini karena ilat yang disampaikan dalam hadis tersebut adalah “layaknya air yang mengalir” yang berarti berbicara masalah deposit.

Walhasil, barang tambang apa pun yang jumlahnya melimpah, tidak boleh dimiliki oleh individu tertentu. Ini karena pemilikan secara individu akan menghalangi umat Islam lain dari mendapatkan haknya. Dengan demikian, tambang nikel adalah kepemilikan umum bagi umat Islam, tidak boleh dikaveling untuk individu maupun entitas perusahaan sebagaimana yang terjadi dalam kapitalisme.

Secara praktis, upaya penambangan sumber daya energi dan mineral tidak bisa semudah itu dilakukan individu. Diperlukan modal besar untuk bisa mengekstrak dan mengelola tambang secara optimal dengan memperhatikan berbagai aspek pengelolaan yang seharusnya. Memahami bahwa tambang tidak boleh dikaveling oleh individu, serta besarnya modal dan kemampuan yang dibutuhkan bagi masing-masing individu untuk mengelolanya, maka Islam mengatur bahwa negara menjadi pihak yang berkewajiban mengelola tambang milik umum, yang mana hasilnya akan dikembalikan lagi untuk kepentingan umat.

Dalam hal ini, industri swasta dapat berperan sebagai ajir (pekerja) untuk mengerjakan proses penambangan, mulai dari front-end hingga back-end. Namun, mereka hanya diupah untuk melaksanakan proses penambangan, bukan sebagai pemilik. Industri swasta tidak punya hak sedikit pun terhadap barang tambang yang mereka ekstrak.

Dengan mengembalikan hak milik pada umat dan mengalihkan pengelola pada negara, berbagai potensi kerusakan lingkungan yang terjadi dalam ideologi kapitalisme akibat motif ekonomi dapat ditekan sejak awal.

Lantas bagaimana dari aspek penambangan itu sendiri?

Jelas bahwa Islam sama sekali tidak melarang pertambangan. Allah Swt. sesungguhnya telah menundukkan alam semesta untuk keperluan manusia, sebagaimana firman-Nya, “Allah lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air (hujan) dari langit, kemudian dengan (air hujan) itu Dia mengeluarkan berbagai buah-buahan sebagai rezeki untukmu; dan Dia telah menundukkan kapal bagimu agar berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan sungai-sungai bagimu. Dan Dia telah menundukkan matahari dan bulan bagimu yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan malam dan siang bagimu.” (QS Ibrahim: 32—33).


Walau demikian, Islam juga mengatur agar dalam pemanfaatannya terhadap alam semesta, manusia tidak menyebabkan kerusakan. Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.” (QS Al A’raf: 56).

Dengan begitu, syariat Islam telah memberi batasan terhadap pemanfaatan alam semesta oleh manusia, yakni dengan tidak menyebabkan kerusakan.

Patut dipahami bahwa segala aktivitas manusia yang berkaitan dengan alam sudah pasti akan mendisrupsi siklus alami yang terjadi di alam semesta. Hanya saja, Allah Swt. telah menciptakan alam semesta dengan qadar (kadar) khusus, yakni memiliki daya lenting alamiah. Qadar ini meniscayakan bahwa disrupsi manusia, dalam taraf tertentu, masih dapat diterima oleh alam semesta dan dikembalikan ke siklus alaminya, baik secara langsung (oleh proses alam) maupun tidak langsung (dengan bantuan manusia).

Dengan demikian, manusia dapat memanfaatkan alam semesta, termasuk mengeksploitasi tambang sumber daya energi dan mineral, hingga batas berupa kapasitas lestari maksimum (maximum sustainable capacity).

Kapasitas ini adalah batas maksimal manusia dapat mendisrupsi proses alamiah lingkungan yang dampaknya masih bisa ditanggulangi dengan bantuan manusia, sebagai contoh penghijauan ulang.

Lebih dari itu, sebagian bentang alam akan mengalami kerusakan permanen yang dilarang oleh syara. Agar tidak melebihi kapasitas lestari maksimum, pengelolaan limbah dan dampak lingkungan pada aspek back-end harus dimasukkan dalam proses industri secara integratif, walau hal tersebut berdampak pada berkurangnya profit.

Dengan demikian, Islam menjamin bahwa industri tambang dapat terus berjalan, tetapi juga dapat dirasakan manfaat produknya pada pemilik aslinya (umat Islam) dan dampak negatif terhadap lingkungan dapat diminimalkan.
Bagikan:
KOMENTAR