Proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) kembali menuai kontroversi. Otorita IKN (OIKN) mengajukan tambahan anggaran Rp14,92 triliun untuk tahun 2026. Padahal, total kebutuhan mencapai Rp21,18 triliun, sementara pagu indikatif yang sudah disiapkan pemerintah hanya Rp6,2 triliun. Jelas, dana yang tersedia jauhdari cukup.
Lebih mengherankan lagi, dana tambahan itu bukan diarahkan untuk kebutuhan mendesak rakyat banyak, melainkan pembangunan kawasan DPR dan yudikatif. Artinya, fasilitas bagi elit politik yang justru diprioritaskan, sementara rakyat masih harus bergelut dengan harga bahan pokok yang tinggi, gaji rendah, dan terbatasnya akses pendidikan maupun kesehatan.
Sejak awal, pemerintah gencar menyampaikan janji bahwa pembangunan IKN tidak akan terlalu membebani APBN. Katanya, investor asing akan berbondong-bondong masuk. Bahkan sempat disebut ada minat dari beberapa negara besar. Namun kenyataan berbicara lain, Hingga kini tidak ada satu pun investor asing yang benar-benar menanamkan modal.
Sementara itu, total biaya pembangunan IKN ditaksir mencapai Rp466 triliun. Karena investor tak kunjung datang, APBN yang harus menanggung. Akibatnya, beban keuangan ditimpakan kepada rakyat. Pajak dinaikkan, subsidi dikurangi, dan potensi alokasi dana sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, serta kesejahteraan sosial bisa ikut terpangkas.
Fenomena ini jelas ironis. Negara yang sedang menghadapi defisit justru memaksakan proyek raksasa dengan manfaat yang belum tentu dirasakan rakyat banyak. Jika ditelusuri lebih jauh, proyek IKN semakin terlihat bukan semata soal kebutuhan mendesak bangsa, melainkan demi citra politik. Pemerintah ingin menunjukkan bahwa proyek ini tetap jalan meski penuh kendala. Sayangnya, yang menanggung konsekuensi adalah rakyat kecil.
Harga kebutuhan pokok terus merangkak naik. Angka pengangguran masih tinggi, lapangan kerja dari proyek IKN yang digadang-gadang pun belum jelas wujudnya. Di sisi lain, pejabat tetap menikmati gaji dan tunjangan besar, sembari meminta tambahan triliunan untuk gedung DPR dan yudikatif. Pertanyaan pun muncul, dimana empati penguasa terhadap rakyat kecil? Apakah proyek ini benar untuk kepentingan bangsa, atau hanya sekedar demi gengsi elit politik?
Berbeda dengan paradigma kapitalistik-sekuler yang rapuh dan penuh janji palsu, Islam memiliki paradigma pembangunan yang kokoh, adil, dan berpihak pada rakyat.
Allah ﷻ berfirman:
“…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Ayat ini menegaskan, bahwa kebijakan anggaran negara harus diarahkan agar kesejahteraan dapat dirasakan seluruh rakyat, bukan hanya segelintir elit. Prinsip distribusi kekayaan dalam Islam memastikan agar kebijakan pembangunan tidak menambah jurang ketimpangan.
Allah juga menegaskan:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil.” (QS. An-Nisa: 58)
Ayat ini menggaris bawahi bahwa amanah kepemimpinan adalah mengurus rakyat dengan adil, bukan menghamburkan anggaran untuk proyek citra.
Rasulullah ﷺ pun bersabda:
“Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan tanggung jawab besar seorang pemimpin memastikan kebutuhan rakyat terpenuhi, bukan mengabaikannya demi ambisi politik.
Dalam Islam, negara memiliki Baitul Mal sebagai pusat keuangan. Dana negara tidak bergantung pada utang atau investasi asing. Ada pos tetap dari kharaj (pajak tanah), jizyah, fai, ghanimah, serta pengelolaan kepemilikan umum seperti tambang, hutan, dan energi.
Sumber Daya Alam alam adalah milik rakyat, dan pengelolaannya wajib dilakukan negara untuk kepentingan mereka. Dengan mekanisme ini, anggaran negara dalam Islam tidak akan bergantung pada utang, pajak mencekik, atau janji investor. Biaya pembangunan ditopang dari pengelolaan kekayaan milik umat.
Sejarah pun memberikan teladan nyata. Umar bin Khattab pernah memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke Kufah dengan alasan strategis dan maslahat umat. Pemindahan itu tidak membebani rakyat kecil, melainkan dibiayai dari Baitul Mal. Umar tidak pernah menambah pajak baru atau mengorbankan kebutuhan rakyat demi gengsi.
Kekurangan anggaran IKN menegaskan rapuhnya paradigma pembangunan kapitalistik. Penuh janji kosong, tapi rakyat yang menanggung akibatnya. Sebaliknya, Islam menawarkan paradigma pembangunan kokoh, adil, dan berpihak pada rakyat tanpa utang, tanpa ketergantungan asing, dan berorientasi pada maslahat, bukan gengsi elit. Wallahualambisshawab