Miris, Pemenuhan Kebutuhan Pendidikan Masih Terabaikan, Bagaimana Solusi Islam?


author photo

16 Sep 2025 - 02.50 WIB


Oleh : Fani Ratu Rahmani (Aktivis dakwah dan Pemerhati Pemuda Balikpapan)

Tampak seorang ibu dengan mengenakan kerudung merah muda dengan lantang menyuarakan aspirasinya sambil menaiki atap mobil pikap. Ya, itulah aksi Wa Ma'ani, Ibur rumah tangga, warga Kelurahan Batu Ampar dalam Aksi unjuk rasa yang diinisiasi oleh Aliansi Balikpapan Bergerak yang berlangsung di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Balikpapan, pada Senin 1 September 2025 lalu. Aksi ini ternyata tidak hanya diikuti dari kalangan para mahasiswa saja, "emak-emak" pun turut serta mengutarakan isi hati dan pikiran mereka.

Pada saat unjuk rasa, Wa Ma’ani juga tampak membawa poster yang dihiasi gambar tengkorak bajak laut dengan tulisan, “Penguasa Merdeka Rakyat Menderita”. Saat orasi, Ia sampaikan sebuah curhatan bahwa enam orang anaknya kesulitan mendapatkan sekolah. Wa Ma’ani merasa dipersulit ketika mendaftarkan anak-anaknya ke jenjang sekolah menengah pertama. Dengan tegas, ia menuturkan bahwa merasa kecewa atas hal tersebut.

Persoalan pemenuhan kebutuhan pendidikan seakan tak kunjung usai hingga saat ini. Sehingga terus tampak masyarakat yang tidak bisa bersekolah karna faktor ekonomi ataupun administrasi. Padahal, Indonesia ini akan menyambut Indonesia Emas 2045, bagaimana mungkin akan menjadi emas di masa yang akan datang jika diawali dengan abainya terhadap pendidikan generasi?

Kemudian, alih-alih negara memberikan solusi yang tuntas untuk persoalan pemenuhan kebutuhan ini. Justru negara gagal memberikan solusi. Contohnya sistem zonasi atau jalur prestasi hanya membuat kelas dalam dunia pendidikan, akhirnya terjadi ketimpangan jumlah murid dan layanan pendidikan. Perbedaan kualitas yang terindera tentu tidak bisa dilepaskan. Lagi-lagi solusi ini jadi menambal sulam persoalan saja.

Tapi, pernahkah kita bertanya mengapa negara berlaku demikian? Jawabannya, sebenarnya sebuah kewajaran tatkala kita hidup dalam sistem kapitalisme. Negara yang mengakar di dalamnya prinsip materialistik, tidak akan memandang pendidikan sebagai kebutuhan tapi sebuah barang yang hanya bisa dicapai ketika ada uang. 

Negara tidak akan menyediakan fasilitas pendidikan sesuai kebutuhan, tapi akan memberi ruang bagi swasta untuk membuka sekolah sebagai 'saingan' dan alternatif solusi melihat kuantitas dan kualitas sekolah negeri yang rendah. Dan bagi yang tidak bisa mengakses sekolah negeri maupun swasta, maka harus 'gigit jari' dengan kondisi yang ada.

Yang tertinggal hanyalah kezaliman yang berbuah pada demo masyarakat terhadap penguasanya. Kebijakan yang belum menyentuh akar masalah dan juga salah arah. Ini wajah asli dari negara dengan sudut pandang materialistik semata, hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator bukan sebagai raa'in alias pelayan bagi rakyat. Tanggung jawab minim di kondisi saat ini yang dilingkupi dengan sistem kapitalisme demokrasi.

Kita perlu memahami mengapa pembahasan tentang pendidikan ini kian penting. Tidak lain karena di dalam Islam, Menuntut ilmu adalah kewajiban. Rasulullah bersabda : ”Menuntut ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun muslim perempuan.” (HR. Muslim)

Hadits ini memberikan makna bahwa apabila di antara kaum muslimin, baik laki-laki mapun perempuan terhalang mengakses pendidikan karena faktor ekonomi maka kewajiban negara untuk membuatnya dapat menunaikan kewajibannya. Jika masyarakat terhalang mengakses pendidikan karna faktor daya tampung sekolah atau alasan lainnya jelas menjadi tanggung jawab negara menyelesaikannya dengan memperbanyak dan memperbaiki kualitas fasilitas pendidikan.

Pendidikan merupakan kebutuhan dasar masyarakat yang wajib disediakan negara di dalam Islam. Artinya negara wajib memastikan masyarakat mendapatkan pendidikan dimanapun ia berada dengan latar belakang apapun tanpa memandang nilai akademik sekalipun. Akses dalam hal ini menyangkut semua aspek, jenjangnya, biayanya, jaraknya, jumlahnya, fasilitasnya, dan lain-lain. Negara melakukan ini semua semata-mata ketaatannya kepada Allah ta'ala.

Namun, persoalan pemenuhan pendidikan tidak bisa dilepaskan dari aspek ekonomi yakni pembiayaan terhadap pendidikan. Di sistem kapitalisme ini lah faktornya, minim biaya untuk pendidikan. Dengan sebuah pandangan bahwa pendidikan itu tanggung jawab individu bukan negara. Negara yang menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan terbesar, tidak akan mampu membiayai dan memfasilitasi pendidikan dengan kualitas mumpuni. Di sinilah umat Islam harus menyadari bahwa kapitalisme gagal menjawab persoalan pemenuhan kebutuhan pendidikan saat ini.

Sedangkan dalam Islam, untuk mewujudkan pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi semua rakyat, aturan Islam telah menyokong dengan adanya petunjuk pembiayaan pendidikan. Pendidikan dibiayai oleh harta Baitul Maal, yaitu pos keuangan yang bersumber dari fai’, kharaj, dan harta kepemilikan umum. Adanya pos-pos khusus untuk pemasukan negara termasuk hasil pengelolaan kekayaan alam yang berlimpah ruah menjadikan negara dalam Islam punya cukup dana untuk pembiayaan pendidikan. Bahkan bukan hanya itu, pos kepemilikan umum sangat cukup untuk membiayai kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Menjadi wajar apabila, kebutuhan ini bisa diakses oleh masyarakat tanpa biaya.

Potret sejarah penerapan aturan-aturan Islam dalam pembiayaan pendidikan ini tercermin dari sejarah Kekhilafahan Islam. Madrasah al-Muntashiriah yang didirikan Khalifah al-Muntahsir Billah di Baghdad contohnya. Siswa-siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram emas). Tak hanya itu, keseharian mereka dijamin sepenuhnya oleh negara. Fasilitasnya pun lengkap seperti perpustakaan beserta isinya, rumah sakit, dan pemandian. Tentu tidak ada kekhawatiran tentang daya tampung karna itu jelas diperhatikan utama oleh negara.

Inilah wujud sistem yang menggambarkan bagaimana Islam memberi tuntunan dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat khususnya pendidikan. Masyarakat bisa menyaksikan betapa negara peduli terhadap umat sebagai wujud tanggung jawab di hadapan Allah ta'ala. Ketika negara dalam Islam pun melakukan kekeliruan maka umat juga boleh mengoreksinya yang disebut muhasabah lil hukam agar semua tetap saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran. Wallahu'alam bish shawab.
Bagikan:
KOMENTAR