Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kota Bogor memunculkan pekerjaan rumah baru. Sisa makanan atau sampah yang dihasilkan menambah volume sampah setiap harinya. Kondisi ini disampaikan Wali Kota Bogor, Dedie A. Rachim yang menyebut adanya tantangan signifikan seiring implementasi program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program untuk meningkatkan asupan gizi anak-anak, berpotensi besar menimbulkan lonjakan sampah yang harus dikelola dengan serius. Sampah sebagai masalah klasik merupakan masalah yang sudah ada sejak lama, sulit diatasi, dan cenderung berulang (radarbogor,18/9/2025)
Data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) mencatat 18 dapur MBG yang aktif saat ini menghasilkan sekitar 3,6 ton sampah per hari. Jumlah yang setara 0,65 persen dari total 550 ton sampah harian Kota Bogor. Jika 82 dapur MBG beroperasi semua, jumlahnya naik menjadi 16,4 ton per hari atau sekitar 2,98 persen dari sampah kota.
MBG, sebagai program nasional yang saat ini diterapkan pemerintah menjadikan masalah sampah tak hanya dialami oleh kota Bogor saja, melainkan berpeluang dialami oleh kota- kota lainnya.
Masalah Sampah, Butuh Penanganan Serius
Indonesia sebagai negara besar dengan populasi penduduk menempati peringkat ke 4 kepadatannya setelah Amerika Serikat.
Populasi penduduk Indonesia pada pertengahan 2025 tercatat 286.693.693 jiwa, berdasarkan data resmi Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Angka ini menunjukkan peningkatan sekitar 1,7 juta jiwa dibandingkan tahun sebelumnya.
Jumlah penduduk yang besar pasti membutuhkan penataan ekstra disemua bidang termasuk dalam hal pengelolaan sampah. Perlu keseriusan untuk menata sampah ini agar tidak menjadi masalah serius di kemudian hari. Artinya, ada atau tanpa adanya MBG, masalah sampah harus segera terselesaikan dengan baik.
Apalagi secara fakta,
jumlah sampah di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Di sisi lain, TPA banyak yang sudah penuh dan atau hampir penuh. Hal ini memerlukan disruptive system dan teknologi baru untuk mengelola sampah.
Apalagi Indonesia sebagai negara besar serta memiliki banyak perguruan tinggi bonafide, sudah seharusnya kerjasama pemerintah serta perguruan tinggi ini terjalin kuat. Agar menghasilkan solusi yang tepat guna serta tinggi inovasi. Hal ini penting mengingat pengelolaan sampah di negeri ini bisa dibilang masih tradisional, mengandalkan TPA sebagai solusi pembuangan akhir sampah yang lambat laun memunculkan masalah serius bagi kesehatan, kebersihan udara, perusakan lingkungan akibat bercampurnya semua sampah baik yang organik maupun anorganik dan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Sebuah Forum Guru Besar Institut Teknologi Bandung (FGB ITB), pernah menyelenggarakan Webinar Kontribusi ITB untuk Bangsa secara bauran (hybrid) di Gedung Balai Pertemuan Ilmiah (BPI) ITB, Jalan Dipati Ukur No. 4, Kota Bandung, dan melalui Zoom, (22/09/2023). dengan mengangkat tema “Permasalahan Pengelolaan Sampah Kota (Fokus: Pendidikan, Teknologi, dan Rencana Jangka Panjang)”.
Salah satu pemaparannya terkait keberhasilan Teknologi (Manajemen Sampah Zero) Masaro ITB di bidang pertanian, peternakan, dan perikanan.
Masaro merupakan pengelolaan sampah yang menghasilkan zero waste.
Masaro mengubah paradigma sampah yang awalnya cost center (kumpul–angkut–buang) menjadi profit center (pilah–angkut–proses–jual). Luar biasanya, apabila teknologi ini bisa dikembangkan secara masal, maka keberadaan TPA bisa diabaikan karena sampah diolah menjadi produk.
Dengan Masaro, sampah dijadikan bahan baku untuk berbagai bidang, baik pertanian sampai penguat jalan aspal. “Ini bisa menjadi revolusi dalam pengolahan sampah, pertanian, dan peternakan. Memupuk satu hektare sawah cukup dengan satu kilo sampah, tidak perlu menggunakan pupuk kimia,” .
Sampah dalam sistem
pengolahan Masaro terbagi menjadi tiga jenis, yakni: 1. Sampah residu (anorganik) seperti plastik, kayu, tisu, kertas bakar, popok, pembalut, kain, karpet. 2. Sampah daur ulang seperti plastik, logam, kertas, dan kaca; dan 3. Sampah membusuk baik yang mudah membusuk dan sulit membusuk.
Sampah yang mudah membusuk, seperti sampah makanan, sayur, buah, hingga jeroan dapat diolah menjadi pupuk. Sebanyak 1 kg sampah mudah membusuk dapat menjadi 12 liter Pupuk Organik Cair Istimewa (POCI) maupun Konsentrat Pakan Organik Cair Istimewa (KOCI). Sementara, sampah cenderung lambat membusuk meliputi daun, kulit buah keras, tulang, hingga kayu lunak diproses dengan pengomposan dengan menggunakan sejumlah teknologi. Pengomposan yang normalnya berbulan-bulan, dengan hadirnya teknologi hanya memerlukan waktu 7 hari.
Adapun sampah plastik, kertas tidak bernilai, pembalut, bungkus makanan, dan barang bekas yang dapat terbakar diolah dengan insenerator, akan menghasilkan pestisida organik guna mencegah hama tanaman dan pertanian. Sebanyak 1 ton sampah bisa menghasilkan 4000 liter pestisida organik.
Ini hanya salah satu inovasi dari salah satu perguruan tinggi di Indonesia. Apabila negara serius menjalin kerjasama ini, maka teknologi baru bisa menghilangkan keberadaan TPA, ataupun jika masih dibutuhkan, sangat kecil kegunaannya. Hal ini seperti terjadi di negara- negara maju, dimana mereka berhasil mengolah sampahnya menjadi bermanfaat, serta menghilangkan gaya tradisional dalam pengolahan yakni kumpul, angkut dan buang di TPA ( Tempat Pembuangan Akhir).
Disinilah pentingnya penataan sebuah bangsa. Pengurusan serius membutuhkan dedikasi tinggi serta pemangku kebijakan yang amanah agar program tak sekedar asal berjalan, namun dapat tercapai sesuai harapan.