Stunting Tak Kunjung Turun, Kesalahan Program atau Kesalahan Sistem?


author photo

20 Nov 2025 - 09.00 WIB




Oleh: Siti Marhawa (Aktivis Dakwah)

Di tengah pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang terus dikejar, ada pekerjaan penting jauh lebih menentukan masa depan bangsa, yaitu memastikan generasi tumbuh sehat dan kuat. Tidak ada artinya membangun kota modern jika manusia yang akan mengisinya justru tumbuh dalam kondisi rentan, karena itu berbagai program pencegahan stunting kembali diperkuat.

Progam melalui pelatihan kader, pendampingan keluarga berisiko, serta pemberian makanan tinggi protein dilakukan. Langkah ini menjadi bagian dari visi membangun masyarakat Nusantara yang sehat menjelang era Ibu Kota Politik 2028. (IKN.07/11/2025)

Program-program ini tentu memberi manfaat. Edukasi gizi, pemantauan ibu hamil, dan distribusi makanan tambahan dapat membantu mengurangi gizi buruk. Namun kenyataannya angka stunting tetap sulit turun secara signifikan. Penyebab utamanya bukan semata kurangnya pengetahuan orang tua tentang gizi, tetapi karena banyak keluarga tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar. 

Mereka mungkin tahu pentingnya protein, tetapi tidak mampu membeli telur, daging, atau ikan yang harganya terus naik. Mereka memahami pentingnya sanitasi, tetapi tinggal di lingkungan padat dan minim fasilitas. Mereka butuh layanan kesehatan, tetapi biaya hidup saja sudah cukup berat.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa akar stunting bukan sekadar edukasi gizi, tetapi kemiskinan, keterbatasan akses pangan, pendapatan rendah, dan sanitasi yang buruk. Selama keluarga masih kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, stunting akan sulit diberantas meski program diperbanyak dan anggaran diperbesar.

Masalah ini sebenarnya terkait erat dengan sistem yang menaungi kehidupan masyarakat. Dalam sistem demokrasi kapitalisme yang diterapkan saat ini, kemiskinan bersifat struktural. Negara lebih banyak berperan sebagai pengatur yang mengikuti mekanisme pasar, bukan sebagai pengurus yang memastikan kebutuhan rakyat terpenuhi. Akibatnya harga pangan bergizi terus meningkat, pendapatan stagnan, lapangan kerja terbatas, dan biaya hidup semakin berat. Keluarga kecil menjadi pihak yang paling terdampak karena terhimpit dari banyak sisi.

Dalam kondisi seperti ini, wajar jika program pelatihan kader atau pemberian makanan tinggi protein belum memberikan dampak besar. Program tersebut baik, tetapi hanya bersifat teknis dan sementara. Sementara persoalan stunting lahir dari struktur ekonomi yang tidak memberikan kemampuan bagi keluarga untuk hidup layak.

Islam memberikan cara pandang yang berbeda. Dalam Islam, pemimpin adalah ra’in atau pengurus rakyat. Rasulullah Saw bersabda: “Imam atau khalifah adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas urusan mereka” (HR Bukhari dan Muslim). 

Prinsip ini menegaskan bahwa negara wajib memastikan kebutuhan dasar setiap rakyat terpenuhi, termasuk pangan, tempat tinggal, kesehatan, dan pendidikan. Kebutuhan ini bukan komoditas pasar, tetapi hak setiap individu.

Sistem ekonomi Islam juga mencegah kemiskinan struktural. Sumber daya alam dikelola sebagai milik umum dan hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat. Lapangan kerja dibuka melalui pengelolaan sektor produktif. Distribusi kekayaan dijaga agar tidak menumpuk pada segelintir orang. Dengan kondisi ekonomi yang stabil, keluarga dapat memenuhi kebutuhan gizi anak-anaknya tanpa bergantung pada program bantuan.

Selain itu sistem pendidikan Islam mempersiapkan generasi dengan akidah, akhlak, dan kecerdasan. Calon orang tua dibekali pemahaman tentang pengasuhan sebagai amanah. Layanan kesehatan tersedia gratis dan mudah diakses, sehingga keluarga tidak perlu memilih antara berobat atau memenuhi kebutuhan harian.

Sejarah peradaban Islam menunjukkan bagaimana sistem yang benar dapat melahirkan masyarakat yang kuat dan sejahtera. Rumah sakit berdiri megah dan gratis untuk semua, ekonomi stabil, dan generasi tumbuh dengan kualitas yang luar biasa. Semua itu lahir dari sistem yang memuliakan manusia dan mengutamakan kesejahteraan rakyat.

Pada akhirnya pembangunan fisik seperti IKN tidak akan memberi arti jika manusia yang menghuni negeri ini tidak dibangun dari akar. Stunting bukan sekadar persoalan gizi, tetapi cermin dari kerusakan sistemik yang selama ini dibiarkan. Jika bangsa ini ingin melahirkan generasi sehat, cerdas, dan kuat, maka persoalan harus diselesaikan pada akarnya. 

Solusi tersebut tidak cukup berupa program teknis, tetapi membutuhkan perubahan sistem yang mampu memberikan kesejahteraan nyata bagi seluruh rakyat. Sistem itulah yang ditawarkan Islam, sebuah sistem yang telah terbukti melahirkan generasi tangguh dan masyarakat yang sejahtera. Wallahu a’lam bishawab
Bagikan:
KOMENTAR