Sudan Membara : Siasat Eksploitasi Barat dan Jejak Gelap Pengkhianatan UEA


author photo

7 Nov 2025 - 11.18 WIB



(Oleh : Juliana Najma, Pegiat Literasi)

Belum kering air mata kaum muslimin atas apa yang sedang terjadi di Gaza. Sekarang penyerangan yang tak kalah brutal sedang menimpa Sudan. Selama lebih dari 2,5 tahun terakhir, perang di negara kawasan Afrika Timur yang melibatkan Rapid Support Forces (RSF) itu, telah menewaskan 150 ribu orang, memaksa 14 juta orang mengungsi dan sekitar 24 juta orang menderita kelaparan.

RSF dituding sebagai dalang yang bertanggung jawab atas tindakan mengerikan soal eksekusi, pembunuhan massal, pemerkosaan, serangan terhadap pekerja kemanusiaan, penjarahan, penculikan, dan pengungsian yang terjadi di Sudan. Laboratorium Universitas Yale, Amerika Serikat, melalui foto citra satelit mendapati 31 lokasi yang diduga menjadi tempat pembantaian massal. Semburat merah memenuhi tanah padang pasir menunjukkan darah yang membentuk genangan meluas di beberapa tempat, seperti markas militer, universitas, dan rumah sakit di kota Al-Fashir.

Sudan adalah negera terbesar ketiga di Afrika dan negara terbesar kelima belas di dunia. Negara ini berbatasan dengan tujuh negara, yaitu Republik Afrika Tengah, Sudan Selatan, Chad, Mesir, Eritrea, Ethiopia dan Libya. Letaknya sangat strategis karena merupakan persimpangan Sub-Sahara dan Timur Tengah yg merupakan jalur perdagangan dan pelabuhan Afrika-Arab.

Di balik situasi keamanan yang tidak stabil di Sudan. Sesungguhnya negara ini menyimpan berbagai fakta menarik yang belum banyak diketahui oleh khalayak ramai. Apa sajakah fakta-fakta itu?

Sudan merupakan negara dengan mayorias penduduk muslim di Afrika. Sekitar 70 persen penduduknya menggunakan Bahasa Arab sebagai Bahasa resmi dan Bahasa pemersatu di antara berbagai kelompok etnis di negara tersebut. Ini mencerminkan bahwa Islam telah lama memberi pengaruh terhadap kebudayaan di Sudan.

Sudan adalah produsen emas untuk Arab sekaligus yang paling besar. Produksi emas mencapai 41,8 ton pada 2022 dan potensi 80 ton pada tahun 2024 (Reuters, 2024). Sudan memiliki lebih banyak piramida dan sungai Nil yang lebih panjang dari Mesir. Ada lebih dari 200 piramida di Sudan dan aliran sungai Nil yang panjangnya sekitar 1.545 kilometer lebih panjang dari Mesir yang hanya sekitar 1.100 kilometer.

U.S Energy Information Administration (EIA) dan Vortexa melaporkan, Sudan Selatan mengekspor sekitar 125 ribu barel minyak per hari pada 2023 lewat pipa yang melintasi Sudan. Menurut Bank Dunia dan FAO, Sudan menjadi produsen gum Arabic terbesar di dunia dengan ekspor rata-rata US$40 juta per tahun. Getah akasia dari Kordofan dan Darfur menopang Industri global. Tak hanya itu, Sudan memiliki 51.5 juta hektar lahan pertanian potensial, termasuk 4,3 juta lahan irigasi, negara ini mengekspor biji berminyak senilai US$746 juta serta ternak US$143 juta pada 2020, Sudan menjadi salah satu pusat agrikultural utama di Afrika.

Chatam House Institute, dalam laporan yang berjudul “Emas dan perang di Sudan” menyebutkan, perdagangan emas terkait erat dengan konflik yang sedang berlangsung di Sudan. Jaringan kompleks aktor lokal, regional bahkan global termasuk kelompok bersenjata, pedagang, dan penyelundup telah turut serta menyumbangkan aksi yang membuat warga Sudan dirugikan. Mereka menjadi korban atas kepentingannya dalam perdagangan emas dan kekayaan sumber daya alam di Sudan yang bernilai miliaran dolar per tahun. 

Fakta tersebut semakin tak terbantahkan setelah melihat realitas kesejahteraan warga Sudan yang berbanding terbalik dengan kekayaan SDA di negara ini. Sudan termasuk salah satu negara termiskin di dunia (menurut indikator ekonomi PDB per kapita). Kekayaan SDA di Sudan tidak memberikan pengaruh bagi kesejahteraan rakyatnya. Justru kekayaan itu menjadi ancaman besar bagi keselamatan jiwa mereka karena menjadi target bagi pihak asing untuk memperluas hagemoninya.

Sudan Bukan Sekadar Perang Saudara Melainkan Perang Sumber Daya

Yassir Mohamed Ali, Duta Besar Sudan untuk Indonesia menyebut konflik berkepanjangan di negaranya tak lepas dari kepentingan ekonomi negara-negara besar di kawasan Timur Tengah dan Barat. Menurutnya, UEA bersama Israel, Amerika Serikat, dan Inggris memainkan peran besar di balik perang yang menelan ribuan korban sipil itu. “Apa yang terjadi di Sudan adalah perang sumber daya,” tambahnya.

Lebih lanjut Yassir mengatakan, “Ketika Mohammed bin Zayed berkuasa, dia punya agenda yang menurut saya tidak rasional. Mereka ingin memperluas pengaruh seolah-olah sebagai kekuatan kolonial. Mereka ingin menguasai pelabuhan di sebagian besar wilayah Afrika untuk mendukung Jabal Ali, pelabuhan utama mereka,” ujarnya, dikutip dari Tempo (5/11/2025). 

Seluruh emas dari Sudan dikirim ke UEA. Semua jalur perdagangan menuju Afrika harus melewati Jabal Ali. “Dari sana barang-barang didistribusikan ke berbagai pelabuhan. Itulah sebabnya mereka membangun Dubai Port dan ingin mengelola banyak pelabuhan di Afrika Timur dan Laut Merah,” jelasnya.

Kebijakan itu bukan murni agenda UEA, melainkan bagian dari strategi yang lebih luas. “UEA hanya bagian dari agenda itu. Agenda ini milik Israel, Inggris, dan Amerika Serikat. UEA adalah sekutu utama Israel,” ucapnya. Inilah mengapa ia menyebut, konflik di Sudan bukan sekadar perang saudara melainkan “perang sumber daya” yang melibatkan kekuatan asing. Sudan sebuah negeri yang sangat kaya. Kekayaan inilah yang telah memicu keserakahan elite global, pengkhianatan saudara semuslim dan perebutan kekuasaan oleh kelompok-kelompok bersenjata.

Menurut laporan European Council on Foreign Relations, keterlibatan UEA di Sudan didorong oleh kepentingan ekonomi dan geopolitik. RSF menguasai sebagian besar perdagangan emas ilegal di Sudan serta jalur darat menuju Laut Merah. Wilayah strategis Sudan yang menjadi incaran perusahaan logistik UEA seperti DP World dan AD Ports. 

Mengutip dari Tempo, (6/11/2025), Wall Street Journal yang dikutip Middle East Eye pada Oktober 2025 menyampaikan, Badan Intelegen Departemen Pertahanan dan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat melaporkan adanya peningkatan pasokan senjata dari UEA kepada RSF. Pasokan ini mencakup drone buatan Cina, senjata ringan, artileri berat, kendaraan dan amunisi. Selian itu UEA juga memasok drone seri Rainbow Science and Technology Corporation termasuk model CH-95 yang dapat membawa senjata presisi dan terbang hingga 24 jam nonstop. Dukungan senjata itu disalurkan melalui jaringan logistik yang melintasi Libya, Chad, Uganda, dan wilayah Somalia yang memisahkan diri.

Sebuah fakta pahit bagi kaum muslimin. Bahwa UEA sebagai negeri kaum muslimin yang makmur telah terang-terangan berperan dalam perang yang terjadi di Sudan, sebuah negeri bagi kaum muslimin yang lain, yang berada di bawah garis kemiskinan. “Beginilah cara UEA berbisnis,” tulis podcaster Inggris Muhammad Jalal sambil menampilkan foto seorang ibu dan anak di Sudan di bawah todongan senjata.

Umat Lemah Tanpa Islam Kaffah

Pembantaian dan ketidakadilan yang telah menimpa kaum muslimin di berbagai wilayah mulai dari Gaza, Uighur, Rohingya, Irak dan India membutuhkan solusi tuntas yang tidak akan pernah terwujud melalui lembaga-lembaga internasional. Meski segala tindak kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan telah disampaikan dalam berbagai laporan oleh Kantor Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR), pada Jumat (31/10/2025) dan Jaksa Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) juga menyebut adanya kemungkinan genosida yang telah terjadi di Sudan. Ironisnya sampai saat ini belum ada satu lembaga internasional pun yang berhasil menghentikan kebrutalan di Sudan.  

Hal tersebut mencerminkan bahwa struktur kekuasaan di dunia saat ini masih didominasi oleh negara adidaya. Mereka memiliki hak veto atas lembaga-lembaga internasional yang ada. Ini memungkinkan mereka untuk memaksa kepentingan mereka dan memblokir inisiatif yang tidak sesuai dengan agenda mereka. Yakni agenda besar untuk menguasai kekayaan alam dan mengeruk semua hasilnya.

Oleh karena itu, kekuatan negara global harus dilawan dengan kekuatan negara global pula. Negara yang dapat melawan dan mengakhiri hagemoni global negara adidaya hanyalah negara yang di dalamnya diterapkan sistem Islam, yakni negara yang sumber hukumnya berdasarkan syariat Islam, menjalankannya secara kaffah dan menyebarkannya ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.

Negara super power yang menerapkan Islam telah tercatat dalam tinta emas kegemilangan sejarah peradaban Islam. Tegaknya negara Islam pertama di Madinah, berkat dukungan dari dua kelompok terkemuka penduduk Yastrib, yakni Aus dan Khajraj. Dua kelompok ini, sebelumnya dikenal pandai berperang, bahkan dua kelompok ini, sebelumnya sering berperang sesama mereka.

Namun keduanya bisa bersatu dan kompak, pasca pembaiatan Rasulullah sebagai kepala negara. Mereka menjadi garda terdepan yang siap membela Islam dan melindungi Nabi Muhammad saw. Bahkan berperang dengan berani atas perintah Rasulullah saw dari wahyu.

Kaum muslimin saat ini pun dapat mewujudkan negara yang sama, dengan cara memecahkan belenggu-belenggu yang melemahkan umat Islam. Barat berusaha memadamkan cahaya kebangkitan Islam dengan berbagai cara. Hingga kaum muslimin terbuai dan menjadi abai atas hukum-hukum Allah yang tidak diterapkan. Padahal untuk menjalani kehidupan di dunia ini, Allah swt telah menciptakan manusia sepaket dengan aturan hidupnya. Maka, ketika aturan itu diabaikan yang terjadi adalah penderitaan yang tidak berujung bagi seluruh kaum muslimin.

Tanpa penerapan sistem Islam negeri-negeri Islam hanyalah seperti hidangan yang diperebutkan oleh kaum yang tamak dan rakus, sementara umat Islam terus terombang ambing bagaikan buih di lautan. Hanya sistem Islam yang meletakkan politik, hukum, dan kekuasaan di bawah syariat. Maka tidak ada solusi lain yang mampu menyudahi semua penderitaan ini. Kecuali dengan menerapkan kembali sistem Islam yang terbukti telah mampu menjaga darah, tanah dan kehormatan setiap jiwa selama 1.300 tahun lamanya. Wallahu a'lam bishshawab.
Bagikan:
KOMENTAR