Oleh : Herliana Tri M
Hujan datang, bencana menyapa. Seolah menjadi pemakluman bahwa musibah yang datang karena faktor alam semata. Akhirnya? bencana tak menjadikan kita berbenah dan evaluasi perbaikan keadaan.
Padahal, bencana yang menimpa sebagian wilayah Indonesia saat ini luar biasa efeknya. Ribuan rumah terendam banjir, Jumlah korban meninggal dunia akibat hujan deras di sejumlah daerah di Provinsi Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat selama beberapa hari terakhir telah mencapai setidaknya 174 orang dan puluhan lainnya dilaporkan masih hilang, hingga Jumat (28/11). Data yang terhimpun detik news (1/12/2025) korban jiwa 445 orang dan belum ditemukan sebanyak 209 orang. Tentu ini bukan sekedar angka untuk dihitung semata. Nyawa manusia melayang tak sekedar karena bencana, namun juga efek kelalaian manusia dalam mengambil kebijakan.
Bencana hujan yang menyebabkan banjir serta tanah longsor juga merusak ribuan rumah dan memaksa ribuan warga mengungsi ke tempat lebih aman.
Saat Hutan Lindung Alih Fungsi
Dapat dikatakan ini adalah kerusakan lingkungan terparah dampak banjir.
Tak hanya dari segi curah hujan, banjir bandang terlihat parah karena diiiringi oleh menurunnya daya tampung wilayah. Hal tersebut disampaikan oleh Dosen Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika ITB, Dr Heri Andreas ST MT.
Pada Saat presipitasi turun, hanya sebagian air meresap ke dalam tanah (infiltrasi), sementara sisanya mengalir di permukaan sebagai (runoff). Proporsi antara keduanya sangat bergantung pada tutupan lahan dan karakteristik tanah.
Alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan dan pemukiman mengurangi kapasitas serapan air di wilayah tersebut. Sehingga penting menata ruang berbasis risiko, konservasi kawasan penahan air, dan pemodelan geospasial untuk mitigasi jangka panjang.
Ketika kawasan penahan air alami hilang, wilayah akan kehilangan kemampuan menahan limpasan. Akibatnya, hujan yang turun langsung mengalir cepat ke sungai dan memicu banjir.
Hutan lindung dengan berbagai macam jenis tanaman baik tanaman berkayu besar, tanaman semak, perdu, ada yang berakar serabut, tunggang dengan segala macam karakternya akan saling mendukung, menjaga kesuburan tanah dan memilki daya dukung yang tinggi terhadap penyerapan air hujan.
Hutan lindung seperti di Sumatera Utara dengan luasan area 1.206.881 hektar berdasarkan data tahun 2014 dari Badan Pusat Statistik Indonesia, angka ini merupakan bagian dari total kawasan hutan di Sumut yang luasnya mencapai sekitar 3.055.795 hektar menurut data tahun 2020 dari Badan Pusat Statistik Indonesia. Kemudian hutan lindung periode 2005-2014 dan 2014-2016, terjadi pengurangan luas sekitar 731.960 hektar. Alih fungsi yang dilakukan oleh perusahaan besar dengan kisaran ratusan ribu hektar tentu memiliki pengaruh besar atas ekosistem disekitarnya. Apalagi kalau kita memperhatikan pengalihan ke perumahan, penambangan, jumlah serapan air tentu jauh sekali berkurangnya. Peralihan untuk perkebunan yang termasuk tanaman saja mempengaruhi ekosistem, apalagi berubah menjadi bangunan rumah, pabrik dan tambang.
Perkebunan meskipun sama- sama berupa tanaman saja ini masih perlu dikritisi dan memerlukan tinjau akademisnya. Secara umum yang kita ketahui bahwa tanaman perkebunan yang ditanam adalah kelapa sawit.
Kelapa sawit memilki buah dengan biji berkeping satu atau disebut dengan monokotil. Tanaman dengan biji berkeping satu memilki akar serabut, sehingga kelapa sawit merupakan tanaman dengan akar serabut. Akar serabut memiliki ciri khas jenis akar menyebar ke berbagai arah. Terbayang apabila hutan lindung dengan berbagai macam jenisnya berubah menjadi ratusan juta hektar pohon sawit dengan akar serabut yang menyebar dan menutupi permukaan tanah
Maka yang terjadi adalah daya serap terhadap hujan berkurang drastis efek tertutupnya lapisan permukaan tanah dengan akar serabut. Kondisi ini menjadikan air melaju cepat menuju tempat lebih rendah dan sedikit yang terserap dalam area yang harusnya menjadi hutan lindung dan telah berubah fungsi.
Artinya, bencana ini haruslah dilihat sebagai alarm bangsa ini bahwa ada kebijakan dan perlakuan tak tepat terhadap lingkungan. Sudah waktunya pemerintah mengambil tanggung jawab atas bencana besar yang telah menghantarkan kerugian baik hilangnya nyawa, harta benda serta usaha yang dikelola masyarakat sebagai sumber mata pencaharian.
Lamban dalam Mengatasi Bencana
Bencana yang menimpa negeri ini tak hanya kali ini saja, bencana besar seperti tsunami Aceh, meletusnya gunung merapi, bahkan berdasarkan data dari USGS dan sumber lainnya, Indonesia memiliki lebih dari 160 gempa bumi berkekuatan 7.0+ dalam skala magnitudo dari periode 1900 sampai sekarang.
Artinya, negara yang belajar tentu dapat mengambil kebijakan baru dan sigap terhadap bencana. Miris, mitigasi bencana lemah selalu berulang dan terkesan ala kadarnya. Kurangnya sarana dan prasarana penanggulangan bencana pun turut memperburuk keadaan. Lagi-lagi, rakyatlah yang menjadi korban.
Dari sisi menyelesaikan bencana lamban, apalagi pencegahan, bahkan terkesan abai dan lebih memikirkan keuntungan yang hanya dinikmati segelintir orang atau perusahaan yang berkolaborasi dengan penguasa.
Sungguh, bencana ini membuka pandangan masyarakat, bahwa faktor penyebab bencana bukan sekadar cuaca ekstrem atau pasangnya air laut. Justru ketika lingkungan alam tidak rusak, cuaca ekstrem dan banjir rob bisa diatasi. Berarti, alam sebagai benteng paling tepat untuk menghadapi fenomena ekstrem yang dirusak oleh kebijakan kurang tepat.
Paradigma kapitalis yang hanya berfikir keuntungan menjadikan alih fungsi hutan lindung begitu menggiurkan. Ibaratnya, dari pada lahan nganggur tidak memberikan manfaat, kenapa tidak dimanfaatkan saja menjadi cuan? Akhirnya inilah yang terjadi, penggundulan hutan untuk alih fungsi menjadikan benteng dari bencana terkikis dan tak mampu membendungnya. Daya dukung alam yang rendah akhirnya harus dihadapi rakyat dengan bencana yang harus ditanggung rakyat.
Paradigma Islam Memandang Alam
Islam menetapkan fungsi penguasa untuk mengurusi urusan umat (raa’in) dan melindungi mereka (junnah). Disinilah fungsi penguasa mengerahkan segala daya untuk menyejahterakan rakyat dan menjauhkan mereka dari semua hal yang membinasakan.
Dengan paradigma ini, penguasa akan senantiasa menjaga alam karena alamlah penjaga alami terhadap peluang bencana.
Apabila bencana terjadi, artinya cepat tanggap dan langkah- langkah harus segera diambil negara untuk mengatasi musibah, pemimpin akan mengambil langkah cepat dengan mengkoordinir wali atau gubernur yang tak mengalami musibah untuk menurunkan bantuan, dan negara akan mengeluarkan dana dari kas negara yang ada untuk menyelesaikan bencana sampai tuntas. Tak sekedar masyarakat lepas dari bencana, namun menyiapkan sandang pangan serta papannya agar mereka bisa melanjutkan hidup secara normal pasca musibah. Bahkan andai mereka kehilangan mata pencaharain sebagai efek bencana, negara akan menyiapkan untuk lapangan kerja penggantinya.
Inilah gambaran hadirnya penguasa menyelesaikan permasalahan apapun yang hadir di tengah rakyat. Ia benar- benar hadir sebagai penjaga dan pelindung. Wajar pemimpin seperti ini akan dicintai oleh rakyatnya. Senantiasa dirindukan kehadirannya.