Aktivis Muslimah
Hari Sabtu (29 November) Indonesia kembali berduka. Bencana longsor dan banjir bandang menerjang sebagian wilayah Sumatra Barat, Sumatra Utara, Aceh, dan beberapa daerah lainnya. Ketiga wilayah tersebut dihantam banjir maut yang menelan banyak korban jiwa.
Update data sementara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Rabu (3 Desember 2025) menyebutkan: jumlah korban jiwa mencapai 753 orang, 650 orang hilang, 2.600 orang terluka, 3,3 juta warga terdampak di 50 kabupaten/kota, dan 576.300 orang tinggal di pengungsian. Sementara itu, jumlah bangunan dan infrastruktur yang rusak tercatat 3.600 rumah rusak berat, 2.100 rusak sedang, 3.700 rusak ringan, 299 jembatan, 9 fasilitas kesehatan, 323 fasilitas pendidikan, dan lain-lain.
Banjir besar di Sumatera dimulai sekitar akhir November 2025, dipicu oleh hujan ekstrem yang turun tanpa henti sejak pertengahan bulan. Puncaknya terjadi pada tanggal 25 November 2025 ketika hujan deras menyebabkan luapan sungai dan longsor di berbagai wilayah seperti Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Bukan Sekedar Fenomena Alam: Ada Sistem di Balik Bencana Sumatra
Secara ilmiah maupun empiris, banjir dan longsor di beberapa wilayah Indonesia bukanlah murni bencana alam. Keduanya seringkali merupakan akibat dari kerusakan hutan dan pembukaan lahan besar-besaran, semuanya atas restu kebijakan penguasa – alias bencana terencana, dampak kejahatan lingkungan yang telah berlangsung lama dan dilegitimasi kebijakan (pemberian hak konsesi lahan, obral izin perusahaan sawit, izin tambang terbuka, izin tambang untuk ormas, Undang-Undang Minerba, Undang-Undang Ciptaker, dll).
Sikap penguasa seperti ini sangat wajar dalam sistem sekuler demokrasi kapitalisme, yang dalam menentukan prioritas pembangunan tidak kenal konsep halal-haram, sangat pro kepentingan modal, membuka ruang kongkalikong penguasa-pengusaha, dan jauh dari paradigma perlindungan rakyat.
Salah satunya tampak dari pernyataan Presiden Prabowo saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) RPJMN di kantor Kementerian PPN/Bappenas (30 Desember 2024) lalu. Kala itu, Presiden menekankan urgensi menambah penanaman kelapa sawit tanpa rasa takut dengan isu deforestasi. Ia mengatakan bahwa kelapa sawit juga merupakan pohon yang punya daun, mengeluarkan oksigen, dan menyerap karbon dioksida. Seakan ia ingin menyatakan bahwa pembukaan hutan untuk sawit tidak membahayakan dan bukan penyebab bencana alam. Inilah efek dari negara yang meninggalkan hukum Allah atau sistem Islam dalam pengelolaan lingkungan: masyarakat yang menderita, sedangkan pengusaha dan penguasa yang menikmati hasil hutannya.
Paradigma Islam Melihat Bencana Sumatra
Islam dalam Al-Qur’an telah mengingatkan di Surat Ar-Rum (30) ayat 41: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” Ayat ini menjelaskan bahwa bencana dan kerusakan lingkungan (di darat dan laut) adalah konsekuensi dari dosa dan maksiat manusia, sebagai peringatan agar mereka kembali ke jalan yang benar.
Dari sini, sebagai wujud keimanan, umat Islam harus menjaga kelestarian lingkungan. Negara dalam sistem Islam harus menggunakan hukum Allah dalam mengurusi semua hal, termasuk tanggung jawab menjaga kelestarian alam dengan pengelolaan hutan yang benar. Negara juga harus siap mengeluarkan biaya untuk antisipasi dan pencegahan banjir serta longsor, berdasarkan pendapat para ahli lingkungan.
Hanya dengan hukum Allah, negara dapat meminimalisir terjadinya banjir dan longsor yang menyengsarakan rakyat. Khalifah sebagai pemegang mandat dari Allah akan fokus setiap kebijakannya mengutamakan keselamatan umat manusia dan lingkungan dari bahaya. Khalifah akan merancang rencana tata ruang secara menyeluruh, melakukan pemetaan wilayah sesuai fungsi alaminya – tempat tinggal dengan semua daya dukungnya, industri, tambang, dan lainnya. Wallaahu ‘alam.
Catatan: Saya hanya merapikan struktur, tata tulis, dan pemisahan paragraf agar lebih mudah dibaca. Isi dan pendapat dalam tulisan tetap sesuai dengan aslinya.