Oleh: Sarah Ainun
Indonesia sedang menghadapi krisis generasi yang jauh lebih mengerikan daripada sekadar kriminalitas remaja, kenakalan pelajar, atau degradasi moral yang sering muncul di media. Krisis ini senyap—tetapi dampaknya meluas dan menghancurkan.
Ia menyusup ke kamar-kamar anak muda, bersembunyi di balik layar ponsel, menyaru sebagai hiburan, edukasi, bahkan “perhatian”. Anak-anak bangun tidur langsung mengecek ponsel, bukan membaca doa; mereka lebih menghafal trending TikTok daripada ayat Al-Qur’an; lebih percaya pada komentar anonim daripada nasihat orang tua.
Ini bukan sekadar perubahan gaya hidup. Inilah kolonialisme baru, penjajahan yang tidak membutuhkan tentara atau senjata, tetapi bekerja melalui algoritma, notifikasi, dan kecanduan yang terencana, untuk menyedot atensi, mengikis moral, memanipulasi pikiran, dan membentuk manusia versi baru: generasi yang kehilangan jati diri, kehilangan ketenangan, bahkan kehilangan arah hidup.
Generasi muda Indonesia kini menjadi korban utama dari sebuah sistem global yang dibangun untuk satu tujuan: memonopoli perhatian manusia. Para ilmuwan menyebutnya attention economy, namun hakikatnya adalah penjarahan psikologis berskala global yang dilakukan oleh perusahaan teknologi raksasa demi keuntungan tanpa batas.
Kapitalisme digital telah menjadikan manusia—termasuk remaja Indonesia—sebagai komoditas paling berharga, lebih berharga daripada sumber daya alam mana pun.
Sebagian besar orang tua tidak menyadari bahwa anak mereka tidak lagi tumbuh melalui pengalaman sosial yang sehat, tetapi melalui feed media sosial yang bekerja seperti obat adiktif.
Stanford University menyebut algoritma sebagai “cocaine for the brain”—bukan metafora, tetapi kesimpulan neuropsikologis: media sosial menstimulasi dopamin seperti narkoba. Di sinilah relevansi firman Allah menjadi sangat nyata:
“Setan menjadikan perbuatan-perbuatan buruk itu tampak indah bagi mereka” (QS. An-Naml: 24).
Setan di era digital bekerja melalui konten, komentar, dan trending topic. Ia hadir dalam wujud filter, like, share, aplikasi, gim daring, dan notifikasi yang dirancang untuk membuat manusia lupa kepada Allah, lupa kepada keluarga, bahkan lupa kepada tujuan hidupnya. Krisis ini bukan kebetulan. Ia adalah hasil dari sebuah sistem: kapitalisme digital.
Ledakan Gangguan Mental: Indonesia Menuju “Generasi Gelisah
Data mengenai kesehatan mental generasi muda Indonesia harus dibaca sebagai sirene bahaya, bukan statistik belaka. Angka depresi dan kecemasan melonjak; Kemenkes RI mencatat lebih dari 15 juta orang mengalami gangguan mental emosional, dan jutaan di antaranya berasal dari kelompok remaja.
UNICEF menegaskan sepertiga remaja Indonesia hidup dalam kecemasan berat. Sementara WHO menyebut bunuh diri sebagai penyebab kematian kedua terbesar pada kelompok usia 15–24 tahun.
Penyebabnya saling berkelindan: ketagihan media sosial, tekanan standar kecantikan palsu, cyberbullying, perbandingan sosial tidak sehat, dan runtuhnya koneksi dengan realitas dan spiritualitas. Ini bukan sekadar “remaja galau”, tetapi malaise peradaban.
Rata-rata remaja menghabiskan lima hingga tujuh jam per hari di media sosial. Stanford University menyatakan bahwa paparan semacam ini memicu pelepasan dopamin yang tingkatnya mirip dengan efek narkoba ringan.
Penelitian di National Institute of Health (NIH) membuktikan bahwa paparan layar berlebih menyebabkan digital dementia—penurunan kemampuan kognitif dan memori pada remaja. Journal of Behavioral Addictions menegaskan smartphone addiction menyebabkan kerusakan prefrontal cortex, bagian otak yang mengatur kontrol diri.
Tidak heran jika generasi ini semakin sulit fokus, gelisah ketika offline, dan mudah terjebak dalam lingkaran kecanduan yang merusak. Rasulullah ﷺ pernah mengisyaratkan kondisi akhir zaman ketika manusia kehilangan ketenangan batinnya. Realitas hari ini memperlihatkan tanda itu dengan sangat jelas: kegelisahan menjadi gaya hidup baru.
Ironisnya, semakin banyak mengikuti media sosial, semakin besar kemungkinan seseorang merasa kesepian. American Journal of Preventive Medicine menyebut pengguna media sosial intens memiliki peningkatan 3 kali lipat risiko isolasi sosial.
Di Indonesia, 70% remaja merasa “tidak punya teman bicara” meski aktif di medsos (Riset PPIM UIN). Krisis keterhubungan ini adalah produk kapitalisme digital yang memecah-belah, bukan menyatukan. inilah yang disebut "Kesepian di tengah keramaian digital"
Kapitalisme Digital: Industri yang Hidup dari Kekacauan Jiwa
Kerusakan generasi bukan karena teknologi itu sendiri, tetapi ideologi yang menggerakkan teknologi: kapitalisme. Kapitalisme memandang manusia bukan sebagai makhluk bermartabat, tetapi sebagai “aset ekonomi”, “target pemasaran”, dan “data”.
Kerusakan generasi bukan terjadi secara natural. Ada sistem yang menggerakkannya. Kapitalisme digital lahir dari prinsip bahwa manusia adalah komoditas dan perhatian adalah mata uang paling berharga.
Perusahaan teknologi tidak merancang algoritma untuk mendidik atau menyehatkan mental; mereka merancangnya agar pengguna bertahan lebih lama, lebih sering kembali, dan lebih mudah membeli. Sistem ini memanen setiap klik, komentar, amarah, kecemburuan, dan bahkan kegelisahan untuk dikonversi menjadi keuntungan.
Shoshana Zuboff dari Harvard menyebutnya The Age of Surveillance Capitalism menjelaskan bahwa perusahaan digital menjalankan behavioral modification industry—industri manipulasi perilaku.
Sebuah model penjajahan baru yang tidak merebut tanah, tapi merebut pikiran. Allah telah menggambarkan karakter sistem yang memakan manusia lewat cara batil: “Mereka memakan harta manusia dengan jalan yang batil…” (QS. An-Nisa: 29).
Kapitalisme digital adalah bentuk kontemporer dari kezaliman itu: memakan waktu, mental, dan masa depan generasi hanya untuk melanggengkan profit.
Dengan kata lain: Kapitalisme digital tidak hanya memprediksi perilaku manusia, tetapi mengendalikannya.
Negara Menjadi Pasar, Bukan Pelindung Rakyat
Indonesia tidak membatasi usia pengguna media sosial, tidak membatasi jam penggunaan, dan tidak memiliki payung hukum kuat melawan perusahaan digital. Kominfo bahkan bergantung pada perusahaan yang sama untuk blokir konten. Artinya, serigala diminta menjaga kandang domba.
Dalam sistem kapitalisme, negara tunduk pada kepentingan pemodal. Regulasi dibuat tidak untuk melindungi generasi, tetapi untuk menarik investasi teknologi. Allah mengecam penguasa yang tidak menunaikan amanah:
“Sesungguhnya kalian adalah para pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban” (HR. Bukhari Muslim).
Ketika negara gagal menjaga generasi, kerusakan menjadi tak terhindarkan.
Kerusakan Akhlak: Identitas Remaja Muslim yang Terkoyak
Salah satu kerusakan paling fatal yang dihasilkan kapitalisme digital adalah pecahnya jati diri remaja. Mereka hidup dalam dua dunia: diri asli yang rapuh dan diri digital yang dipoles untuk mendapat validasi. Remaja tidak lagi bertanya “Siapa aku?”, tetapi “Apa yang orang lain pikirkan tentang aku?”
Identitas mereka tidak dibentuk melalui iman, akhlak, dan ilmu, tetapi melalui filter Instagram, gaya hidup selebgram, dan angka likes yang tidak memiliki makna substantif apa pun.
Penelitian PPIM UIN Jakarta menunjukkan remaja muslim semakin longgar memegang nilai-nilai agama, salah satunya karena paparan konten digital yang membentuk standar moral baru yang tidak bersumber dari wahyu.
Islam memperingatkan: “Janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan” (QS. Al-Baqarah: 168). Langkah-langkah itu hari ini berupa konten yang seolah netral namun menjauhkan dari ketaatan.
Kerusakan berikutnya muncul dalam bentuk ledakan pornografi. Delapan dari sepuluh anak Indonesia telah terpapar pornografi, bahkan di usia sekolah dasar. Industri pornografi bekerja erat dengan algoritma: sekali klik, pengguna akan diburu oleh rekomendasi tak berkesudahan yang meningkatkan adiksi.
Ini bukan kecelakaan teknis, tetapi desain bisnis. Paparan pornografi terbukti secara ilmiah merusak memori, menurunkan motivasi, memicu kekerasan seksual, dan menghancurkan otak remaja yang sedang berkembang. Islam memerintahkan laki-laki dan perempuan beriman untuk menundukkan pandangan (QS. An-Nur: 30), tetapi algoritma justru bekerja melakukan kebalikan secara sistematis.
Riset IDN Media menunjukkan 80% anak umur 9–12 tahun pernah terpapar pornografi. Dampaknya: kerusakan otak, disfungsi ereksi dini, kecenderungan perilaku seksual menyimpang, meningkatnya kekerasan seksual. Islam sangat tegas: “Janganlah kalian mendekati zina” (QS. Al-Isra: 32). Namun algoritma justru menggiring remaja mendekatinya dengan sangat mudah.
Belum cukup sampai di situ, judi online menjadi epidemi nasional. Putaran uang yang mencapai ratusan triliun per tahun menunjukkan bangsa ini sedang digerogoti dari dalam. Nilai perputaran uang mencapai Rp 327 triliun/tahun (PPATK). Mayoritas pelaku adalah anak muda yang terjerat karena algoritma menarget mereka secara agresif.
Judi dalam Islam disamakan dengan bangkai dan darah, tetapi kapitalisme digital menjadikannya fitur utama ekonomi aplikasi. Rasulullah menegaskan:
“Siapa yang bermain judi, maka ia seperti mencelupkan tangannya ke dalam daging dan darah babi” (HR. Muslim).
Tetapi di era kapitalisme digital, judi bukan lagi aktivitas sembunyi-sembunyi; ia dijajakan melalui aplikasi dan iklan.
Sementara itu, arus hoaks dan polarisasi menggoyahkan rasionalitas publik. Penelitian MIT membuktikan bahwa berita bohong menyebar enam kali lebih cepat daripada berita benar. Algoritma tidak peduli mana fakta dan mana dusta; yang penting mana yang paling memicu emosi. Allah memerintahkan umat untuk meneliti berita dari orang fasik (QS. Al-Hujurat: 6), tetapi algoritma justru menjadikan berita fasik sebagai konsumsi harian umat.
Mengapa Kerusakan Ini Terjadi? Karena Sistemnya Salah
Tidak ada gunanya menyalahkan remaja, guru, atau orang tua. Akar masalah yang sesungguhnya adalah sistemik, bukan sekadar masalah individual atau teknis. Kapitalisme menempatkan keuntungan sebagai tujuan tertinggi. Selama konten merusak mendatangkan profit, ia akan terus diproduksi, disebarkan, dan dinormalisasi.
Teknologi bukanlah masalah utama; ideologi yang mengarahkan teknologi itulah sumber bencananya. Inilah sebabnya mengapa semakin banyak regulasi, semakin banyak aturan, kerusakan tetap tumbuh—karena negara bekerja dalam kerangka sistem ekonomi yang tunduk kepada korporasi global.
Negara justru membuka pintu lebar-lebar bagi perusahaan digital raksasa, memberikan insentif pajak, dan mengundang investasi yang pada akhirnya menjadikan rakyat sebagai data mentah untuk dieksploitasi. Negara kehilangan fungsi penjagaan moral dan akidah rakyat, karena logika kebijakan dibangun dengan paradigma ekonomi, bukan paradigma syariah.
Pendidikan pun diprivatisasi sehingga tujuan utamanya bukan membentuk manusia bertaqwa, tetapi mencetak tenaga kerja yang patuh kepada pasar tenaga global.
Sistem pendidikan sekuler tidak membangun kepribadian Islam. Anak dipaksa belajar sains, teknologi, ekonomi, tetapi tidak dibekali akidah yang kokoh. Akibatnya: mereka cerdas secara teknis, tetapi kosong secara spiritual, mereka mahir menggunakan gadget, tetapi tidak tahu arti hidup, mereka terkoneksi secara digital, tetapi tercerabut dari nilai. Sekulerisme mencabut Allah dari sistem pendidikan. Hasilnya adalah generasi rapuh.
Kerusakan ini semakin parah karena umat tidak dibekali akidah yang kokoh. Tanpa iman yang kuat, remaja menjadi sangat rentan terhadap godaan digital. Rasulullah ﷺ bersabda bahwa di dalam tubuh ada segumpal daging; jika ia baik, seluruh tubuh akan baik. Hati yang rapuh akan mudah dipengaruhi algoritma yang menggoda, memanipulasi, dan menyesatkan.
Begitu pula negara tidak memiliki kedaulatan digital. Platform digital asing menguasai data rakyat Indonesia. Negara tidak punya algoritma sendiri, server sendiri, regulasi kuat, atau industri teknologi independen. Ketika negara tidak berdaulat secara digital, maka mental rakyat pun ikut dijajah.
Islam Menawarkan Solusi Menyeluruh—Bukan Parsial
Kerusakan yang lahir dari sistem tidak bisa diselesaikan dengan himbauan moral. Pengajian tentang bahaya gawai baik, tetapi tidak cukup. Literasi digital perlu, tetapi tidak menyentuh akar masalah. Kita memerlukan perubahan paradigma yang lengkap: kembali kepada sistem Islam yang mengatur teknologi, pendidikan, media, dan kehidupan sosial sesuai wahyu, bukan sesuai kepentingan pasar.
Islam tidak hanya memberi etika moral, tetapi menyediakan sistem yang mengatur teknologi, media, pendidikan, dan kehidupan sosial berdasarkan wahyu. Islam mengatur teknologi untuk maslahat, bukan profit.
Dalam sistem Islam: teknologi tidak boleh merusak akal, media harus jujur dan mengedukasi, negara wajib memblokir konten merusak, privasi manusia dilindungi, perusahaan digital tidak boleh mengeksploitasi masyarakat.
Islam memandang pendidikan sebagai sarana membentuk kepribadian Islam—bukan sekadar mencetak tenaga kerja industri digital. Kurikulum harus menjadikan akidah sebagai pondasi, akhlak sebagai karakter, dan syariah sebagai pedoman hidup. Pendidikan Berbasis Akidah Membangun Karakter Kuat Rasulullah ﷺ bersabda:
“Setiap anak dilahirkan dalam fitrah, orang tuanyalah yang menjadikannya…” (HR. Bukhari Muslim). Negara dalam Islam membantu orang tua menjaga fitrah itu, bukan merusaknya.
Teknologi boleh digunakan, tetapi tidak boleh mendominasi kehidupan. Negara dalam Islam wajib memblokir seluruh konten merusak seperti pornografi, judi, fitnah, dan konten immoralisme lain. Negara juga wajib melarang eksploitasi data pribadi dan tidak memberi ruang bagi bisnis yang mengandalkan adiksi.
Negara bertugas sebagai penjaga akidah, moral, dan keamanan informasi. Inilah keamanan digital dalam perspektif syariah—bukan sekadar firewall teknis, tetapi sistem politik yang menjadikan syariat sebagai penjaga peradaban.
Saatnya Menghentikan Mesin Perusak Ini
Kapitalisme digital sedang menciptakan generasi yang tidak kuat secara mental, tidak kokoh secara spiritual, dan tidak stabil secara moral. Jika umat terus berada di bawah dominasi sistem ini, maka generasi berikutnya akan tumbuh sebagai konsumen tanpa kesadaran, pekerja tanpa harga diri, dan manusia tanpa arah. Allah memperingatkan:
“Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka baginya kehidupan yang sempit.” (QS. Thaha: 124).
Kehidupan sempit itu kini hadir dalam bentuk kecemasan, depresi, adiksi digital, dan hancurnya jati diri. Satu-satunya jalan keluar bukan sekadar mengubah kebiasaan individu atau membuat aturan teknis, tetapi membebaskan diri dari sistem kapitalisme digital dan kembali pada sistem Islam yang menyeluruh.
Inilah saatnya umat bangkit, bukan hanya sebagai pengguna teknologi, tetapi sebagai subjek peradaban yang punya cara pandang sendiri. Dan selama syariat belum tegak secara total, kerusakan generasi akan terus berulang—dan semakin dalam. Karena untuk melawan mesin kapitalisme digital, kita memerlukan sistem yang lebih kuat: sistem Islam.