Aceh Selatan, Sabtu, 6 Desember — Keputusan Bupati Aceh Selatan tetap berangkat umrah di tengah status darurat banjir memicu kritik keras dari Pemuda Mahasiswa Sawang (PM-HIMMAS). Ribuan warga terdampak banjir masih berada di pengungsian dan kekurangan kebutuhan dasar, sementara kepala daerah justru meninggalkan wilayah saat penanganan krisis masih berjalan.
Ketua PM-HIMMAS, Riski, menilai langkah bupati sebagai bentuk “pelarian” dari tanggung jawab publik. Ia menyebut pemerintah daerah telah lebih dulu “mengibarkan bendera putih” dengan menyatakan tidak sanggup menangani bencana, dan keputusan bupati berangkat umrah mempertegas kegagalan tersebut.
“Ini bukan soal ibadah, ini soal tanggung jawab. Daerah darurat, rakyat menderita, tapi pemimpinnya menghilang,” kata Riski.
PM-HIMMAS menganggap absennya bupati pada fase kritis berdampak langsung terhadap efektivitas penanganan bencana. Menurut mereka, koordinasi evakuasi, distribusi bantuan, serta pemenuhan kebutuhan pengungsi membutuhkan kehadiran dan kendali langsung pemimpin daerah.
Riski juga menyinggung aspek moral dan keagamaan, dengan menyatakan bahwa bantuan terhadap korban bencana merupakan kewajiban yang mendesak, sementara ibadah umrah bersifat sunnah dan dapat ditunda. “Ketika pemimpin lebih mendahulukan ibadah pribadi ketimbang keselamatan rakyat, yang dipertaruhkan bukan hanya kebijakan, tetapi juga nurani,” ujarnya.
PM-HIMMAS menyebut peristiwa ini sebagai bukti krisis kepemimpinan di Aceh Selatan. Menurut mereka, amanah jabatan menuntut keberpihakan pada warga yang terdampak, terlebih pada saat situasi darurat.
“Rakyat Aceh Selatan tidak hanya dilanda banjir, tetapi juga ditinggalkan oleh pemimpinnya sendiri,” tutup Riski.(**)