Oleh: Sarah Ainun
Tak ada yang lebih ironis dari sebuah bangsa yang bangga dengan bonus demografi, tetapi justru menyaksikan generasinya semakin takut membangun keluarga. Fenomena ini bukan sekadar asumsi; berbagai survei nasional dan studi fenomenologis menunjukkan meningkatnya ketakutan generasi muda terhadap pernikahan.
Anak muda hari ini menilai stabilitas ekonomi sebagai syarat utama sebelum memasuki jenjang pernikahan. Lonjakan biaya hidup, sulitnya akses pekerjaan, dan tingginya biaya hunian menjadi faktor yang memperkuat kecenderungan tersebut.
Anehnya, mereka bukan takut zina, bukan takut rusaknya moral, bukan takut hilangnya masa depan—melainkan takut menikah, takut membangun rumah tangga, takut punya anak, takut miskin, takut biaya hidup dan takut kehilangan stabilitas yang bahkan sejak awal pun tidak pernah mereka miliki.
Dan yang paling ironis, ketakutan itu bukan lahir dari ketidakmampuan mereka mencintai atau enggan berkomitmen, tetapi dari luka ekonomi yang diciptakan oleh sistem yang dipuja dan dipertahankan negara: kapitalisme. Sebuah sistem yang setiap hari mengajarkan bahwa hidup adalah kompetisi tanpa henti, bahwa keamanan hanya milik mereka yang “cukup kaya”, dan bahwa pernikahan hanyalah tambahan beban finansial.
Sistem ini membuat hidup mahal, kerja langka, biaya hunian absurd, dan masa depan tak lebih dari surat undian. Fenomena ini seolah menjadi alarm keras bahwa ada yang salah—bukan pada anak muda, tetapi pada struktur yang menaungi hidup mereka.
Ketika biaya hidup terus melambung, peluang kerja menyempit, dan negara semakin absen dalam menjamin kesejahteraan, ketakutan yang awalnya hanya keresahan berubah menjadi keyakinan: hidup terasa mustahil ditanggung berdua, apalagi seorang diri.
Masalah ini tentu tidak muncul dari ruang hampa. Fenomena meningkatnya kebutuhan ekonomi sebagai “biaya masuk” menuju pernikahan hadir di tengah realitas hidup yang semakin tak manusiawi. Ketika harga rumah seukuran peti burung dipatok miliaran, ketika BBM–listrik–pangan naik tanpa ampun, ketika lowongan kerja disaring layaknya lomba panjat tebing, dan ketika seluruh beban hidup diserahkan kepada individu tanpa jaminan sosial yang memadai.
Maka wajar jika banyak anak muda memilih “bertahan hidup dulu” daripada menikah. Ini bukan soal generasi lemah; ini soal generasi yang terhimpit oleh sebuah sistem yang membuat masa depan terasa seperti kemewahan, bukan hak.
Fenomena ini bukan khas Indonesia. UNFPA (United Nations Population Fund) dalam laporan globalnya menyatakan bahwa generasi muda di banyak negara menunda pernikahan akibat kombinasi antara biaya hidup yang tinggi, ketidakstabilan pekerjaan, dan ketidakpastian masa depan., “economic precarity has become one of the strongest predictors of delayed marriage among young adults” (UNFPA, World Population Report, 2022).
Hal ini senada dengan Pew Research Center menemukan tren global bahwa generasi milenial dan Gen Z merasa belum siap menikah karena beban finansial, “Financial instability remains the leading cause for the postponement of marriage worldwide.” (Pew Research Center, Marriage and Family, 2021).
OECD bahkan memperingatkan bahwa generasi muda hari ini adalah generasi pertama yang berisiko hidup lebih miskin dari orang tua mereka (OECD, How’s Life? 2020). Artinya, ketakutan menikah bukan kegelisahan subjektif, tetapi gejala struktural global.
Dan di Indonesia, gejala ini membesar karena negara semakin menyerahkan hidup rakyat kepada mekanisme pasar.
Selain faktor objektif, narasi media turut memperkuat persepsi negatif terhadap pernikahan. Istilah “marriage is scary” muncul dalam berbagai platform digital, menggambarkan kekhawatiran terhadap beban finansial, konflik rumah tangga, dan ketidakstabilan ekonomi. Akumulasi faktor ini memunculkan fenomena marriage anxiety atau kecemasan terhadap pernikahan.
Akar Struktural dalam Sistem Kapitalisme
Fenomena ketakutan menikah tidak dapat dilepaskan dari struktur ekonomi-politik kapitalisme. Sistem ini menciptakan biaya hidup yang tinggi melalui liberalisasi harga dan komersialisasi kebutuhan dasar. Ketika pendidikan, kesehatan, pangan, dan hunian diposisikan sebagai komoditas, maka akses terhadap layanan tersebut menjadi terbatas dan sangat mahal.
Dalam sistem ini, hampir semua aspek kehidupan tunduk pada mekanisme pasar: harga pangan mengikuti spekulan, hunian ditentukan pengembang, pendidikan bergerak seiring lonjakan biaya, dan kesehatan bergantung pada kemampuan membayar. Tidak ada jaminan hidup yang pasti—semua dibeli, semua dipertaruhkan, semua berada di bawah logika untung rugi.
Konsekuensinya, pernikahan—yang semestinya menjadi ladang kebaikan—dipersepsikan sebagai risiko finansial baru. Padahal dalam pandangan Islam, konsep rezeki tidak ditentukan oleh pasar, tetapi oleh Allah SWT. Islam tidak pernah memosisikan pernikahan sebagai sebab kemiskinan, melainkan pintu pembuka karunia. Allah berfirman:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu… Jika mereka miskin, Allah akan menjadikan mereka kaya dengan karunia-Nya" (QS. An-Nūr [24]: 32).
Namun kapitalisme membalikkan prinsip ini. Sistem ini membuat manusia percaya bahwa rezeki bergantung pada stabilitas gaji, tabungan yang cukup, dan kemampuan bertahan dalam kompetisi. Inilah yang akhirnya membuat pernikahan terasa menakutkan—bukan karena ajaran agama, tetapi karena struktur ekonomi yang merampas rasa aman.
Sistem pasar tenaga kerja yang fleksibel menyebabkan ketidakpastian penghasilan. Perusahaan memiliki kebebasan melakukan efisiensi, sementara negara tidak menjadi penjamin kesejahteraan. Hal ini menimbulkan rasa tidak aman pada generasi muda.
Tidak hanya ekonomi, kapitalisme juga membentuk pola pikir generasi muda melalui pendidikan sekuler dan media liberal. Mereka didorong untuk mengejar gaya hidup individualis, materialis, dan hedonis. Ukuran kebahagiaan adalah barang yang dimiliki, tempat yang dikunjungi, dan pengalaman hidup yang dipamerkan.
Pernikahan, yang menuntut komitmen dan tanggung jawab, dipandang sebagai penghalang kebebasan. Narasi "self-love dulu, commitment belakangan" menjadi gaya hidup baru. Media dipenuhi kisah toxic marriage, kegagalan rumah tangga, dan ketidakselarasan pasangan, sementara nilai ibadah dalam pernikahan semakin kabur dari pandangan masyarakat.
Dalam pandangan Islam, pernikahan adalah institusi yang membangun ketenangan dan keberkahan. Allah SWT berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya" (QS. Ar-Rum [30]: 21).
Pernikahan bukan ancaman, melainkan tempat berteduh. Bukan beban, tetapi sumber kasih sayang dan ketenangan. Namun kapitalisme memelintir cara pandang masyarakat, menjadikan pernikahan sebatas perhitungan untung-rugi finansial.
Karena itu, persoalan generasi muda takut menikah tidak boleh dibaca sebagai kesalahan pribadi atau kelemahan mental. Ia harus dilihat sebagai gejala dari sistem yang rusak. Untuk mengobatinya, solusi yang dibutuhkan bukanlah sekadar imbauan moral atau seminar pranikah, melainkan perubahan paradigma dan sistem kehidupan.
Konstruksi Solusi dalam Sistem Islam
Islam menawarkan solusi yang menyentuh akar persoalan, bukan sekadar menenangkan gejala. Dalam sistem ekonomi Islam, negara wajib menjamin kebutuhan dasar rakyat: pangan, sandang, dan papan. Negara juga bertanggung jawab menyediakan layanan pendidikan dan kesehatan secara gratis atau sangat terjangkau. Dengan demikian, beban hidup tidak lagi sepenuhnya dipikul individu atau pasangan yang baru menikah.
Selain itu, Islam mengatur bahwa sumber daya alam (milkiyyah ‘ammah) harus dikelola negara dan hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat. Dalam realitas ini, sumber daya strategis seperti air, listrik, tambang, dan energi tidak boleh diprivatisasi. Ketika negara mengelola sumber daya publik secara benar, pendapatan negara menjadi stabil, biaya hidup rakyat menurun drastis, dan stabilitas ekonomi keluarga menjadi lebih terjamin.
Pendidikan berbasis aqidah Islam juga memiliki peran penting. Pendidikan yang menanamkan nilai ketakwaan akan membentuk generasi yang kuat secara spiritual dan bertanggung jawab secara moral. Mereka tidak terjebak dalam gaya hidup hedonistik, tidak menjadikan materi sebagai standar sukses, dan tidak memandang pernikahan sebagai ancaman. Mereka tumbuh sebagai generasi yang siap membangun keluarga, bukan takut menghadapinya.
Islam juga menguatkan institusi keluarga dengan menjadikan pernikahan sebagai ibadah. Dalam keluarga, tumbuh nilai kasih sayang, tanggung jawab, dan saling menguatkan. Pernikahan menjadi sarana melanjutkan keturunan dan membangun peradaban, bukan sekadar hubungan dua individu.
Dengan seperangkat aturan ekonomi, sosial, dan moral, Islam menghadirkan sistem yang memudahkan, bukan menakutkan. Maka ketika negara menerapkan sistem Islam secara menyeluruh, perekonomian stabil, pendidikan membentuk karakter, generasi tumbuh kuat, dan keluarga menjadi pusat peradaban.
Pada akhirnya, ketakutan generasi muda terhadap pernikahan bukanlah persoalan yang berdiri sendiri. Ia adalah refleksi dari kerusakan sistem kapitalisme yang gagal menyejahterakan manusia. Selama sistem ini bertahan, ketakutan itu akan terus tumbuh, dan pernikahan akan semakin dipandang sebagai risiko, bukan berkah.
Karena itu, solusi sejati hanya dapat lahir dari perubahan paradigma menuju sistem Islam—sistem yang menjamin kebutuhan rakyat, menata ekonomi berbasis keadilan, dan menempatkan keluarga sebagai pilar peradaban. Dalam sistem Islam, pernikahan kembali menjadi jalan ketenangan, bukan ketakutan; pintu rezeki, bukan kemiskinan; dan awal kebaikan, bukan beban hidup.