Oleh: Sarah Ainun
Di permukaan, generasi muda hari ini tampak begitu cerdas. Mereka lincah memainkan gawai, cepat menyerap tren, dan mahir berselancar di jagat digital. Namun, di balik kecakapan teknis itu, tersimpan kegelisahan yang jarang dibicarakan secara serius: mengapa di tengah banjir informasi, daya berpikir justru semakin dangkal? Mengapa generasi yang paling terhubung justru kerap kehilangan arah, mudah terombang-ambing opini, dan lemah dalam membangun pandangan hidup yang utuh?
Fenomena ini bukan sekadar kegagalan individu mengatur waktu layar. Ia adalah persoalan struktural yang menyentuh jantung peradaban: krisis kepemimpinan berpikir generasi digital. Dan bagi umat Islam, krisis ini memiliki implikasi jauh lebih besar—ia menentukan apakah generasi muda akan menjadi pelanjut kebangkitan Islam, atau sekadar menjadi penonton di tengah laju zaman.
Brain Rot dan Krisis Daya Pikir Generasi Z
Dalam beberapa tahun terakhir, muncul istilah brain rot untuk menggambarkan penurunan fungsi kognitif akibat konsumsi konten digital berlebihan. Istilah ini tidak lahir dari ruang spekulasi, melainkan dari temuan-temuan ilmiah yang mengkhawatirkan.
Beberapa studi ilmiah menunjukkan bahwa penggunaan intens video pendek seperti yang populer di platform media sosial mengalami korelasi negatif dengan kemampuan mempertahankan perhatian dan menjalankan tugas kognitif yang kompleks, yang semakin dipicu oleh context switching yang cepat dan desain konten yang dirancang untuk ketergantungan pengguna (ResearchGate. Oktober 2025).
Begitu pula, penelitian neurosains menunjukkan bahwa kebiasaan multitasking digital—seperti berpindah-pindah konten dan aplikasi—melemahkan kemampuan otak untuk fokus dan mengingat informasi, karena perhatian terus terpecah ke banyak rangsangan sekaligus. Temuan ini diperkuat oleh studi dari University of California yang mengungkapkan bahwa multitasking digital yang dilakukan secara kronis dapat melemahkan memori kerja, sehingga individu semakin kesulitan memilah informasi penting dari derasnya arus konten (UCSF. 11/04/2011)
Di Indonesia, laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat pengguna internet Indonesia pada awal 2024 mencapai lebih dari 221 juta jiwa atau sekitar 79,5% dari total populasi, dengan generasi muda seperti Gen Z menjadi kelompok paling dominan dalam penggunaan internet, dengan durasi penggunaan harian yang terus meningkat. Ironisnya, peningkatan waktu online ini tidak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas literasi, daya analisis, maupun kedalaman berpikir.
Akibatnya, generasi muda lebih terbiasa bereaksi daripada merenung, lebih cepat menyimpulkan daripada memahami, dan lebih tertarik pada sensasi dibanding substansi. Inilah yang disebut brain rot: pembusukan fungsi berpikir bukan karena ketiadaan informasi, melainkan karena kelebihan informasi yang tidak terarah.
Algoritma, Kapitalisme, dan Pembusukan Akal
Namun, menyederhanakan persoalan ini sebagai “kesalahan generasi muda” adalah bentuk pengaburan masalah. Kedangkalan berpikir generasi digital bukanlah fenomena alamiah, melainkan hasil desain sistemik.
Algoritma media sosial bekerja berdasarkan logika pasar: semakin lama pengguna bertahan, semakin besar keuntungan yang dihasilkan. Konten yang memicu emosi, kontroversi, dan hiburan instan akan selalu diunggulkan dibanding konten yang menuntut pemikiran mendalam.
Di sinilah kapitalisme sekuler bertemu dengan teknologi, menciptakan habitat digital yang memuja kecepatan di atas kebenaran, dan viralitas di atas nilai.
Dalam sistem seperti ini, tsaqofah Islam—yang menuntut tadabbur, tafakkur, dan kedalaman ilmu—menjadi asing. Padahal, Islam sejak awal menempatkan akal sebagai instrumen mulia. Wahyu pertama yang turun bukan perintah untuk menghibur diri, melainkan iqra’—bacalah.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan bahwa kerusakan umat bermula dari rusaknya cara berpikir. Ketika akal tidak lagi dibimbing oleh akidah, ia akan mudah terseret oleh hawa nafsu dan kepentingan duniawi. Dalam konteks hari ini, algoritma menjadi “hawa nafsu kolektif” yang membentuk selera, opini, bahkan arah hidup generasi muda.
Akibatnya, generasi digital tidak diposisikan sebagai subjek peradaban, melainkan sebagai objek pasar. Mereka dikonsumsi oleh sistem, bukan menjadi pengubah sistem.
Generasi Viral dan Hilangnya Kepemimpinan Berpikir
Budaya viral telah melahirkan generasi yang responsif, tetapi rapuh. Isu datang silih berganti, namun jarang dipahami secara mendalam. Opini dibentuk dalam hitungan detik, tanpa proses berpikir yang utuh. Dalam kondisi ini, kepemimpinan berpikir—kemampuan memandu diri dan masyarakat dengan visi ideologis—nyaris lenyap.
Padahal, kebangkitan Islam tidak pernah lahir dari generasi yang hanya reaktif. Rasulullah SAW membina para sahabatnya selama bertahun-tahun untuk membangun pola pikir dan pola sikap Islam sebelum mereka memimpin masyarakat. Mus’ab bin Umair tidak diutus ke Madinah karena popularitasnya, melainkan karena kedalaman pemahamannya terhadap Islam.
Tanpa kepemimpinan berpikir, generasi muda hanya akan menjadi pengikut arus. Mereka mungkin lantang bersuara, tetapi tidak tahu ke mana suara itu diarahkan. Mereka mungkin peduli isu umat, tetapi tidak memiliki peta jalan perubahan.
Islam dan Teknologi: Bukan Anti, Tapi Mengendalikan
Islam tidak pernah memusuhi teknologi. Yang ditolak Islam adalah dominasi teknologi yang lepas dari kendali nilai. Dalam Islam, setiap alat harus tunduk pada tujuan syariat. Kaidah al-wasâ’il lahâ hukm al-maqâshid menegaskan bahwa sarana mengikuti hukum tujuan.
Teknologi digital, dengan demikian, bukan untuk melalaikan akal, tetapi untuk menguatkannya. Bukan untuk membius umat, tetapi untuk membebaskannya. Generasi muda Muslim harus didorong untuk menguasai teknologi sebagai alat dakwah, pendidikan, dan perjuangan ideologis. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21).
Ayat ini menegaskan bahwa berpikir adalah ciri kaum beriman. Maka, membiarkan akal generasi Muslim tumpul oleh konten dangkal sejatinya adalah pengkhianatan terhadap amanah keimanan.
Literasi Ideologis sebagai Jalan Kebangkitan
Menghadapi krisis ini, solusi parsial tidak akan cukup. Kampanye “detoks digital” atau imbauan bijak bermedia hanyalah tambalan sementara. Yang dibutuhkan adalah pembinaan literasi ideologis—penanaman cara pandang Islam secara menyeluruh.
Pembinaan generasi tidak dapat dilakukan secara sporadis atau diserahkan pada kesadaran individu semata, melainkan harus dibangun secara sistematis dan berlapis. Fondasinya dimulai dari keluarga, sebagai ruang pertama pembentukan kepribadian, dengan menanamkan akidah sejak dini agar anak tumbuh dengan orientasi hidup yang jelas dan standar halal–haram yang kokoh.
Di sekolah, Islam tidak boleh direduksi menjadi sekadar mata pelajaran ritual atau formalitas kurikulum, tetapi harus hadir sebagai paradigma berpikir yang membentuk cara memahami ilmu, realitas sosial, dan tujuan hidup.
Pembinaan ini kemudian diperkuat di tingkat masyarakat melalui halaqah, majelis ilmu, dan ruang-ruang diskusi ideologis yang membiasakan generasi muda berpikir kritis, mendalam, dan bertanggung jawab terhadap arah umat.
Namun, seluruh upaya ini akan berjalan parsial dan rapuh tanpa peran negara. Sebagai pemegang otoritas tertinggi, negara memiliki kekuasaan untuk mengatur sistem pendidikan, media, dan teknologi agar selaras dengan nilai Islam, sekaligus melindungi akal generasi dari dominasi ideologi yang merusak. Dengan sinergi inilah pembinaan generasi dapat melahirkan kepemimpinan berpikir yang utuh dan berdaya ubah bagi kebangkitan Islam.
Sejarah Islam membuktikan bahwa generasi pemimpin lahir dari sistem yang benar. Negara Islam di masa lalu melahirkan ilmuwan, pemikir, dan pemimpin karena negara berfungsi sebagai penjaga akal umat, bukan sekadar regulator pasar.
Dari Kesadaran ke Perjuangan Terorganisir
Namun, kebangkitan berpikir saja tidak cukup. Kesadaran tanpa arah ideologis yang sahih justru rawan diselewengkan. Karena itu, pembinaan generasi harus berlandaskan ide Islam yang murni dan diperjuangkan secara kolektif.
Di sinilah peran partai politik Islam ideologis menjadi krusial. Perubahan peradaban tidak lahir dari gerakan sporadis, tetapi dari perjuangan terorganisir yang memiliki visi jelas dan metode yang benar. Tanpa itu, generasi muda hanya akan berhenti pada kritik, tanpa mampu mewujudkan perubahan nyata.
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menegaskan bahwa perubahan sosial membutuhkan kekuatan kolektif (ashabiyyah) yang disatukan oleh ide. Dalam Islam, ide itu adalah akidah, dan wadah perjuangannya harus terstruktur.
Memulihkan Akal untuk Menegakkan Peradaban
Krisis kepemimpinan berpikir generasi digital tidak akan selesai dengan imbauan moral atau kampanye literasi semata. Selama sistem pendidikan, media, dan teknologi tetap tunduk pada logika kapitalisme sekuler, selama negara absen dalam menjaga akal dan arah generasi muda, maka pembusukan berpikir akan terus diproduksi secara massal.
Karena itu, kebangkitan Islam menuntut lebih dari sekadar kesadaran individual; ia menuntut perjuangan politik ideologis yang terorganisir. Generasi muda Muslim harus melampaui posisi sebagai penonton dan pengkritik, lalu mengambil peran sebagai penggerak perubahan dengan ide Islam yang sahih.
Hanya dengan kekuatan politik yang berpijak pada akidah, teknologi dapat diarahkan untuk membangun peradaban, bukan menggerogotinya. Inilah medan perjuangan sejati generasi digital hari ini: memulihkan akal, merebut arah, dan menegakkan kembali Islam sebagai sistem yang memimpin zaman.