IDI — Ketegasan negara kembali terlihat setiap kali simbol bulan bintang dikibarkan. Aparat bergerak cepat, penertiban dilakukan tegas, bahkan tak jarang disertai tindakan represif. Namun wajah sigap itu seolah menghilang ketika bencana besar menghantam rakyat Aceh. Kamis (25 Desember 2025).
Banjir dahsyat yang melanda sejumlah wilayah di Aceh Timur lebih dari sebulan lalu menyisakan kerusakan luas. Permukiman warga luluh lantak, rumah roboh dan tertimbun lumpur, kebun serta sawah rusak, harta benda hanyut, bahkan korban jiwa berjatuhan. Akses jalan dan jembatan putus, menyebabkan beberapa wilayah terisolasi dan sulit dijangkau bantuan.
Hingga kini, proses pemulihan dinilai belum berjalan maksimal. Distribusi bantuan tersendat, sementara warga masih bertahan dalam keterbatasan air bersih, listrik, dan layanan kesehatan. Kehadiran negara lebih sering dirasakan melalui kunjungan singkat pejabat, bukan pemulihan nyata di lapangan.
Kekecewaan itu disampaikan salah seorang korban banjir di Pantee Bidari, Tgk Rabo.
Ia menilai respons negara terhadap penderitaan rakyat sangat kontras dengan ketegasan saat menghadapi persoalan simbol.
“Kalau soal bulan bintang, negara sangat cepat hadir. Aparat langsung datang. Tapi ketika banjir menghantam rakyat dan kami kehilangan segalanya, negara seperti pura-pura buta dan tuli,” ujar Tgk Rabo.
Menurutnya, bencana tersebut tidak semata-mata disebabkan faktor alam. Ia menuding pembukaan hutan secara masif yang dilakukan dengan izin negara sebagai salah satu pemicu utama banjir.
“Hutan digunduli, lalu kami yang menanggung akibatnya. Nyawa melayang, rumah hancur, kebun dan sawah rusak, jalan dan jembatan putus,” katanya.
Keluhan serupa disampaikan Juru Bicara Posko Bencana Aceh, Murtalamuddin. Ia mengungkapkan masih adanya wilayah yang terisolasi berminggu-minggu pascabencana akibat kerusakan infrastruktur dan belum optimalnya distribusi bantuan.
“Fakta di lapangan, hingga beberapa pekan setelah bencana, masih ada daerah yang sulit dijangkau bantuan,” kata Murtalamuddin.
Bagi warga Aceh, ketimpangan itu terasa nyata. Negara tampak gagah saat berhadapan dengan simbol, namun terlihat gagap ketika menghadapi penderitaan rakyatnya sendiri. Di tengah lumpur yang belum sepenuhnya kering, satu pertanyaan terus menggema untuk siapa sebenarnya negara ini hadir?
(R)