DLHK Aceh Dituding Biarkan Hutan Rusak Parah


author photo

25 Des 2025 - 18.32 WIB


Banda Aceh — Kerusakan hutan Aceh yang kian meluas kembali menuai sorotan tajam. Laskar Panglima Nanggroe (LPN) menuding Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh gagal menjalankan fungsi utamanya sebagai penjaga dan pelindung kawasan hutan, sehingga tambang dan perkebunan sawit terus menggerus benteng ekologis Aceh.

Secara normatif, DLHK memikul mandat strategis negara: menjaga kawasan hutan, mengawasi pemanfaatan sumber daya alam, menindak pelanggaran kehutanan, serta memastikan kelestarian lingkungan hidup. Untuk itu, dinas ini didukung ribuan aparat teknis, mulai dari penyuluh kehutanan, penjaga hutan, hingga Polisi Kehutanan (Polhut) yang memiliki kewenangan pengawasan dan penegakan hukum di lapangan.

Namun, menurut LPN, keberadaan struktur, personel, dan anggaran besar tersebut tidak tercermin dalam kondisi faktual hutan Aceh saat ini. Tutupan hutan terus menyusut, kawasan lindung berubah menjadi tambang terbuka dan kebun sawit, sementara banjir bandang dan longsor datang silih berganti menghantam permukiman warga.

Ketua LPN, Sulaiman Manaf, menilai persoalan ini tidak hanya soal lemahnya pengawasan, tetapi juga menyangkut sikap institusi yang dinilai tertutup dari pantauan publik.

“Selama ini DLHK terkesan tertutup dan mengendap. Kinerja dan sepak terjangnya tidak transparan, seolah dijauhkan dari pengawasan publik. Padahal, hutan Aceh adalah milik rakyat,” ujar Sulaiman Manaf, Kamis, 25 Desember 2025.

Pria yang akrab disapa Bos Manyak itu menegaskan, kerusakan hutan selalu berujung pada penderitaan rakyat. Saat kawasan hulu rusak, air tak lagi tertahan. Banjir bandang dan longsor menjadi konsekuensi yang tak terelakkan.

“Setiap banjir bandang, yang menderita itu rakyat. Rumah hanyut, sawah rusak, ekonomi lumpuh. Negara pula yang menanggung biaya rehabilitasi dan rekonstruksi. Ini kerugian besar yang terus berulang,” tegasnya.

Menurut LPN, kerugian akibat bencana ekologis sama sekali tidak sebanding dengan pendapatan dari sektor sawit dan tambang. Keuntungan dinikmati segelintir pihak, sementara rakyat menanggung risiko dan negara membayar ongkos sosial serta ekonomi yang mahal.

Bos Manyak mendesak Gubernur Aceh segera melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap pejabat DLHK Aceh dan DLHK kabupaten/kota. Ia menilai mustahil kerusakan hutan dalam skala luas terjadi tanpa pembiaran, bahkan membuka kemungkinan adanya dugaan kongkalikong. Jika ditemukan unsur pembiaran dan kelalaian, LPN meminta agar persoalan tersebut tidak berhenti pada sanksi administratif, melainkan diserahkan kepada aparat penegak hukum (APH) untuk diproses pidana.
Selain itu, LPN juga menuntut APH dan Polhut bersikap proaktif mengusut kejahatan kehutanan. Menurut mereka, aparat tidak boleh pasif menghadapi perusakan hutan yang dampaknya langsung mengancam keselamatan rakyat.

“APH jangan diam. Kalau terus diam, publik bisa menilai aparat ikut bermain dalam tambang dan sawit,” kata Bos Manyak.

Aceh sendiri dikenal sebagai salah satu provinsi dengan kawasan hutan terluas di Sumatra yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan, pengendali banjir, dan sumber air. Rusaknya kawasan hulu sungai disebut sebagai faktor utama meningkatnya frekuensi dan daya rusak banjir bandang di berbagai daerah.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada konfirmasi resmi dari DLHK Aceh terkait tudingan yang disampaikan Laskar Panglima Nanggroe. Redaksi masih berupaya meminta tanggapan guna memperoleh klarifikasi dan keberimbangan informasi. (R)
Bagikan:
KOMENTAR