Oleh: Sarah Ainun
Ruang digital hari ini telah menjadi ruang hidup kedua bagi anak-anak dan remaja Indonesia. Media sosial tak lagi sekadar sarana komunikasi, melainkan ekosistem yang membentuk cara berpikir, berperilaku, bahkan memandang diri dan dunia.
Di tengah derasnya arus konten, algoritma adiktif, dan budaya serba instan, kegelisahan publik atas masa depan generasi kian menguat. Negara pun merasa perlu hadir. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak—PP Tunas—pemerintah berencana membatasi penggunaan media sosial bagi anak usia 13 hingga 16 tahun mulai Maret 2026 (katadata.co.id. 16/12/2025
Kebijakan ini diklaim sebagai ikhtiar perlindungan, namun pertanyaan mendasarnya tetap mengemuka: sejauh mana pembatasan ini benar-benar menyentuh sumber masalah, atau justru berhenti pada solusi administratif yang tampak tegas di atas kertas?
Dalam Islam, menjaga akal dan jiwa adalah amanah yang tidak boleh ditawar. Ketika negara memilih menutup akun media sosial anak-anak atas nama perlindungan, tetapi membiarkan racun digital terus mengalir melalui algoritma adiktif dan industri hiburan yang tak tersentuh, pertanyaannya menjadi mendasar: sudahkah kebijakan ini benar-benar menutup jalan menuju kerusakan?
PP Tunas tampak seperti ikhtiar, namun tanpa menyentuh sumber mudarat, ia berisiko hanya memindahkan masalah—sementara generasi tetap tumbuh di bawah sistem yang merusak akal, moral, dan arah hidup mereka.
PP Tunas dan Ambisi Negara Melindungi Anak di Ruang Digital
PP Tunas mengatur pembatasan akses media sosial bagi anak usia 13–16 tahun berdasarkan tingkat risiko masing-masing platform. Artinya, tidak semua platform diperlakukan sama; negara menyerahkan sebagian penilaian risiko kepada penyelenggara sistem elektronik. Model ini mengikuti tren global. Australia, misalnya, juga menerapkan pembatasan serupa dengan dalih melindungi kesehatan mental anak.
Secara normatif, kebijakan ini tampak progresif. Negara mengakui bahwa media sosial tidak netral dan memiliki dampak serius terhadap perkembangan psikologis anak. Namun kebijakan yang baik tidak cukup dinilai dari niat, melainkan dari ketepatan diagnosa masalah dan efektivitas solusi yang ditawarkan.
Kebijakan yang Timpang: Medsos Dibatasi, Game Online Dikecualikan
Salah satu kritik paling keras terhadap PP Tunas adalah pengecualian game online dari pembatasan. Padahal, kecanduan game telah diakui secara resmi oleh World Health Organization (WHO) sebagai gangguan kesehatan mental.
Ironisnya, anak yang dilarang membuat akun media sosial masih bebas menghabiskan berjam-jam waktunya di dunia game daring yang sama-sama adiktif, bahkan sering kali lebih destruktif.
Di sisi lain, pembatasan berbasis akun juga mudah ditembus. Anak masih bisa mengakses media sosial tanpa akun pribadi—menggunakan akun palsu, akun orang tua, atau sekadar menjadi penonton pasif. Ini menunjukkan bahwa negara terlalu fokus pada aspek administratif, bukan pada ekosistem digital secara keseluruhan.
Masalahnya Bukan Sekadar Akses, tapi Sistem
Kebijakan pembatasan usia berangkat dari asumsi bahwa masalah utama terletak pada siapa yang mengakses media sosial. Padahal, persoalan sesungguhnya ada pada bagaimana media sosial dan game online dirancang.
Algoritma platform digital bekerja dengan logika kapitalistik: memaksimalkan waktu layar, memanen data, dan mengejar keuntungan. Dalam sistem ini, pengguna—termasuk anak-anak—bukan subjek yang dilindungi, melainkan komoditas yang dieksploitasi.
Selama anak tetap berada dalam ekosistem yang sama, pembatasan usia hanyalah pagar rendah yang mudah dilompati. Negara terlihat sibuk mengatur perilaku individu, tetapi enggan—atau tidak berdaya—mengendalikan industri digital itu sendiri.
Hegemoni Digital Kapitalisme Global
Media sosial dan game online global berada di bawah kendali segelintir korporasi raksasa negara adidaya kapitalis. Mereka bukan hanya menguasai teknologi, tetapi juga narasi, data, dan arah peradaban digital. Negara-negara berkembang seperti Indonesia lebih sering menjadi pasar, bukan penentu arah.
Dalam situasi ini, regulasi domestik sering kali bersifat reaktif dan kompromistis. Negara berupaya menambal dampak, tanpa menyentuh akar hegemoni digital. Akibatnya, kebijakan seperti pembatasan medsos berisiko menjadi ilusi perlindungan—terlihat tegas, tetapi tidak menyentuh sumber kerusakan.
Islam dan Prinsip Perlindungan Akal serta Jiwa
Islam memandang akal dan jiwa sebagai amanah agung yang wajib dijaga. Penjagaan akal (hifzh al-‘aql) bahkan menjadi salah satu tujuan utama syariat (maqāṣid al-syarī‘ah). Allah Swt. berfirman:
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” (QS. Al-Baqarah: 195).
Ayat ini menjadi landasan bahwa segala sesuatu yang membawa kerusakan serius terhadap jiwa dan akal wajib dicegah oleh individu maupun negara. Rasulullah saw. juga menegaskan prinsip tanggung jawab kepemimpinan:
“Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menegaskan bahwa negara tidak boleh bersikap netral atau pasif ketika generasi terancam oleh sistem yang merusak. Dalam kaidah fikih dikenal prinsip saddudz dzarī‘ah, yakni menutup segala jalan yang mengantarkan pada kerusakan. Prinsip ini menuntut negara tidak berhenti pada larangan parsial atau administratif, tetapi membangun sistem perlindungan yang menyeluruh, preventif, dan menyentuh akar masalah.
Kedaulatan Digital dalam Sistem Islam
Untuk benar-benar melindungi generasi dari hegemoni digital, negara harus memiliki kedaulatan digital. Dalam sistem Khilafah, kedaulatan ini memungkinkan negara mengendalikan arah pengembangan teknologi, mengatur konten, dan memastikan bahwa ruang digital berjalan sesuai nilai Islam, bukan kepentingan korporasi global.
Teknologi tidak diposisikan sebagai alat eksploitasi, melainkan sarana pelayanan dan dakwah. Negara tidak tunduk pada tekanan pasar, tetapi bertindak sebagai pelindung akal dan moral umat.
Perlindungan Generasi secara Menyeluruh
Penerapan syariat Islam secara kaffah tidak dibebankan pada satu pihak saja, melainkan melibatkan seluruh elemen kehidupan. Orang tua berperan menanamkan akidah dan adab sejak dini, sehingga anak memiliki kompas moral sebelum bersentuhan dengan dunia digital.
Sekolah tidak hanya mengejar prestasi akademik, tetapi mendidik dengan visi peradaban—membentuk cara berpikir, sikap, dan tujuan hidup yang benar. Masyarakat pun menjalankan fungsi kontrol sosial dengan saling menasihati dalam kebaikan, sementara negara bertindak tegas menjaga arah kehidupan publik agar tidak dikuasai nilai-nilai yang merusak.
Dengan fondasi seperti ini, literasi digital tidak berhenti pada kemampuan menggunakan gawai atau memilah informasi, tetapi menumbuhkan kesadaran moral tentang apa yang pantas dan tidak pantas dikonsumsi. Anak tidak sekadar dibatasi oleh aturan, melainkan dibentuk menjadi pribadi bertakwa yang mampu mengendalikan diri dan menempatkan teknologi secara proporsional—sebagai sarana kebaikan, bukan penentu arah hidup.
Dari Regulasi Setengah Hati Menuju Solusi Hakiki
Pembatasan media sosial melalui PP Tunas menunjukkan adanya kegelisahan negara terhadap masa depan generasi. Namun tanpa perubahan paradigma dan sistem, kebijakan ini berisiko menjadi solusi setengah hati. Melindungi anak tidak cukup dengan menutup akun atau membatasi akses, tetapi menuntut keberanian menata ulang arah peradaban dengan membongkar hegemoni digital yang merusak.
Dalam Islam, generasi adalah amanah terbesar umat, dan setiap amanah akan dimintai pertanggungjawaban. Karena itu, tanpa perubahan sistemik, kebijakan apa pun hanya akan menjadi pagar rapuh di tengah arus kerusakan.
Islam menawarkan solusi menyeluruh—bukan tambalan kebijakan—melalui penerapan syariat secara kaffah, agar perlindungan akal dan jiwa tidak berhenti sebagai wacana, melainkan melahirkan khairu ummah: generasi beriman, berilmu, dan berakhlak, yang tidak larut dalam racun zaman, tetapi bangkit memimpin peradaban dengan cahaya petunjuk Allah.