Fakta Miris: Ayah yang "Ada" tapi "Tiada"
Fenomena fatherless --- ketiadaan peran ayah secara fisik dan psikologis---di Indonesia telah memasuki fase darurat. Data menunjukkan sekitar 15,9 juta anak Indonesia tumbuh tanpa kehadiran ayah secara utuh. Jika dibedah lebih dalam, angka ini menyimpan fakta yang lebih menyedihkan: 11,5 juta anak di antaranya sebenarnya memiliki ayah secara fisik, namun sang ayah bekerja lebih dari 60 jam per minggu. Data menunjukkan jutaan anak tumbuh tanpa keterlibatan ayah yang memadai, baik dalam aspek pengasuhan, pembinaan karakter, maupun pemberian rasa aman. Kondisi ini bukan sekadar masalah keluarga, tetapi telah menjadi persoalan sosial yang berimbas pada kualitas generasi mendatang.
Artinya, jutaan ayah di Indonesia terjebak dalam tuntutan ekonomi yang luar biasa tinggi, sehingga mereka nyaris tak punya energi dan waktu untuk terlibat dalam keseharian anak. Ayah menjadi sosok asing di rumah sendiri. Secara psikologis, ketiadaan peran ayah sebagai pemimpin, pendidik, dan pelindung membuat pembentukan karakter anak menjadi pincang dan tidak sempurna.
Akar Masalah: Cengkeraman Kapitalisme Sekuler
Masalah ini tidak lahir tiba-tiba. Ia adalah buah dari sistem hidup kapitalistik-sekuler yang menjauhkan manusia dari fitrahnya. Dalam sistem ini, nilai hidup diukur dari materi. Para ayah dipacu bekerja tanpa henti demi memenuhi tuntutan ekonomi. Hari-hari mereka habis di jalan dan kantor, sementara anak-anak tumbuh dalam layar, diasuh oleh gawai dan dunia digital. Sistem ini menjadikan manusia sekadar roda ekonomi, bukan pribadi utuh yang punya peran fitrah dalam keluarga.
Padahal dalam neurosains, kehadiran ayah dan ibu sangat penting bagi pembentukan citra diri anak. Ibu menumbuhkan perasaan “aku dicintai”, menjadi dasar rasa aman dan harga diri. Sedangkan ayah membentuk cara anak memandang dunia, apakah dunia aman untuk ditempuh, adil untuk diperjuangkan, dan pantas diperjuangkan dengan keberanian.
Ketika salah satu peran ini hilang, anak tumbuh dengan kebutuhan validasi yang tak terpenuhi. Akibatnya, mereka mencarinya di luar rumah di media sosial, pertemanan semu, atau relasi yang tidak sehat.
Kebutuhan akan validasi ini sejatinya adalah kebutuhan jiwa yang fitrah, ingin dilihat, didengar, dan dihargai. Tapi di tengah sistem sekuler yang menekan ayah dan ibu dengan beban ekonomi dan ritme hidup cepat, banyak anak kehilangan ruang aman itu. Fitrah ayah untuk menuntun dan mencintai mati pelan-pelan. Tidak ada lagi cinta pertama yang utuh dari seorang ayah untuk anak perempuannya. Tidak ada lagi figur maskulinitas yang kokoh bagi anak laki-laki untuk belajar menjadi pemimpin.
Dalam sistem sekuler, nilai qawwam, kepemimpinan dan tanggung jawab ayah tereduksi menjadi sekadar pencari nafkah. Padahal Islam memandang ayah sebagai pelindung, pendidik, dan penuntun arah hidup anak. Lukman dalam Al-Qur’an menjadi teladan bagaimana ayah menanamkan tauhid dan adab pada anaknya. Islam tidak memisahkan kasih sayang dari kepemimpinan. Seorang ayah adalah teladan moral, bukan sekadar sumber materi.
Ketika fitrah ayah mati, anak-anak tumbuh rapuh. Mereka belajar cinta dari layar, mencari jati diri dari konten, dan mengukur harga dirinya dari jumlah likes. Padahal sejatinya, validasi yang menumbuhkan itu seharusnya datang dari rumah dari tatapan penuh cinta ayah, dari pelukan lembut ibu, dari kalimat yang meneguhkan: “Kamu berharga, Nak, karena Allah menciptakanmu dengan tujuan.”
Kita harus jujur melihat bahwa fenomena ini bukan sekadar masalah "kurangnya kesadaran" individu ayah. Ini adalah persoalan struktural akibat sistem kehidupan yang kapitalistik sekuler.
Dalam sistem ini, nilai manusia seringkali diukur dari produktivitas materinya. Ayah dipaksa menjadi sekadar "mesin pencari nafkah" demi memenuhi kebutuhan hidup yang kian mahal. Beban kerja yang eksploitatif tidak hanya menciptakan fenomena fatherless, tapi juga motherless karena para ibu pun terpaksa keluar rumah membantu ekonomi keluarga.
Negara yang mengadopsi sistem ini cenderung berlepas tangan dari jaminan kesejahteraan rakyatnya, sehingga beban tersebut sepenuhnya beralih ke pundak orang tua. Akibatnya, waktu berkualitas untuk mendidik anak habis terbakar untuk mengejar kebutuhan perut. Maka, imbauan "ambil rapor" hanyalah obat pereda nyeri (P3K) yang tidak menyentuh akar penyakitnya.
Islam: Membangun Ketahanan Keluarga dengan Sistem Kokoh
Islam hadir sebagai ideologi yang memberikan solusi menyeluruh (kaffah) untuk melejitkan kembali peran ayah. Islam juga menawarkan sistem yang menumbuhkan kembali fitrah keluarga. Ayah dan ibu punya peran saling melengkapi. Negara dalam sistem Islam akan mendukung keduanya dengan kebijakan yang adil, membuka lapangan kerja layak, menata jam kerja manusiawi, dan menjamin kebutuhan dasar keluarga. Dengan begitu, ayah tak harus kehilangan waktu berharga demi bertahan hidup.
Sistem Islam juga memiliki mekanisme perwalian, menjamin setiap anak memiliki figur ayah yang melindungi dan menuntun. Tak ada anak yang dibiarkan tanpa bimbingan.
Fenomena fatherless seharusnya menjadi alarm bagi kita. Jika ayah kehilangan peran qawwamnya, ibu kehilangan penopang, dan anak kehilangan pelindung, maka masa depan generasi ikut terancam. Kita perlu mengembalikan kehidupan pada sistem yang menjaga fitrah manusia agar lahir kembali cinta yang utuh di rumah, keberanian yang kokoh dalam diri anak laki-laki, dan rasa aman yang hangat bagi anak perempuan.
Sebab, dari rumah yang sehat lahir generasi yang kuat. Dari ayah yang beriman dan berilmu lahir peradaban yang beradab. Maka mengakhiri fatherless bukan sekadar mengembalikan sosok ayah, tapi menghidupkan kembali sistem yang menumbuhkan cinta, tanggung jawab, dan makna sistem Islam.
Dalam Islam, kualitas generasi bukan hanya beban individu, melainkan tanggung jawab bersama yang didukung oleh sistem negara yang kuat.
Ayah sebagai Qawwam (Pemimpin): Islam menempatkan ayah bukan hanya sebagai pencari nafkah, tapi sebagai penanggung jawab utama pendidikan dan perlindungan keluarga. Ia adalah pintu gerbang ketahanan keluarga yang memastikan kebutuhan fisik, naluri, dan akal anggota keluarganya terpenuhi.
Sistem Pendukung yang Manusiawi: Dalam sistem Islam, negara (Khilafah) wajib menjamin kesejahteraan rakyat melalui kebijakan ekonomi yang adil. Negara memastikan lapangan kerja tersedia dengan upah yang layak tanpa harus memaksa ayah bekerja melampaui batas kemanusiaannya. Dengan begitu, ayah memiliki waktu dan energi yang cukup untuk mendidik anak-anaknya.
Sinergi Ibu dan Ayah: Islam menguatkan peran ibu sebagai mitra ayah dalam mendidik generasi. Ibu tidak dibebani kewajiban mencari nafkah sehingga bisa fokus menjadi madrasah pertama bagi anak, sementara negara menjamin kebutuhan pokok mereka melalui peran sang ayah atau jaminan negara jika ayah tidak mampu.
Khatimah
Kebijakan GEMAR di Samarinda adalah langkah awal untuk menyadarkan publik, namun kita tidak boleh berhenti di sana. Tanpa perubahan sistemik yang mendukung peran ayah, gerakan ini hanya akan menjadi seremoni tahunan tanpa dampak jangka panjang.
Sudah saatnya kita kembali pada tatanan Islam yang menempatkan peran masyarakat dan negara sebagai supporting system utama. Hanya dengan penerapan Islam secara menyeluruh (kaffah), kita bisa melahirkan kembali generasi pelopor perubahan penerus risalah islam dan tokoh/ulama besar, sebagaimana sejarah Islam telah membuktikannya selama berabad-abad.
Wallahualam bis showab.