Gemulai dan Krisis Fitrah: Mengapa Islam Perlu Hadir dalam Kebijakan Negara


author photo

3 Des 2025 - 10.54 WIB



Oleh: Annisa Fitriyani, S.Pd

Adanya rencana pendataan terhadap siswa laki-laki yang dianggap berperilaku seperti perempuan atau gemulai kembali menjadi perbincangan publik. Pemerintah menegaskan bahwa pendataan tersebut tidak dimaksudkan memberi stigma, melainkan sebagai bentuk perhatian khusus bagi siswa yang dinilai membutuhkan arahan kembali pada perilaku yang sesuai karakter pemuda menuju generasi emas 2045.

Namun rencana ini justru menimbulkan beragam reaksi, terutama dari kalangan pemuda yang menilai pendekatan pemerintah harus lebih hati-hati. Duta Pemuda Kutim 2025 misalnya, mengatakan bahwa karakter gemulai tidak selalu berarti penyimpangan, apalagi langsung disamakan dengan istilah “boti”. Menurutnya, sifat feminin dominan pada sebagian laki-laki tidak selalu mencerminkan orientasi atau perilaku menyimpang. (https://katakaltim.com/soal-siswa-gemulai-duta-pemuda-kutim-sebut-feminin-tak-berarti-penyimpangan)

Fenomena laki-laki bergaya feminin atau “boti” memang semakin merebak bahkan memasuki dunia pendidikan. Hal ini memicu keresahan sebagian masyarakat hingga mendorong pemerintah mengusulkan pendataan dan program pembinaan bagi siswa-siswa tersebut agar kembali normal. Namun, langkah ini tidak sepenuhnya mendapat dukungan karena sebagian pihak menilai pendataan berpotensi memberi stigma, terlebih jika tidak dibarengi pemahaman yang utuh terhadap latar belakang fenomena ini.

Di sisi lain, banyak guru, orang tua, dan lembaga pendidikan memang tidak memiliki pedoman jelas menghadapi fenomena ini. Hal ini terjadi karena sistem pendidikan berjalan di atas paradigma sekuler yang memisahkan agama dari berbagai aspek kehidupan. Agama dianggap hanya mengatur ibadah ritual, sementara pendidikan, sosial, hiburan, dan budaya berjalan tanpa nilai agama sebagai fondasi. Padahal faktor-faktor tersebut justru memberi pengaruh terbesar terhadap pembentukan karakter remaja.
Akibatnya:
• Tidak ada standar moral berbasis agama yang mengatur batas ekspresi gender.
• Sekolah tidak memiliki pedoman yang tegas untuk menanamkan identitas berbasis fitrah.
• Perilaku dianggap sebagai “hak individu” tanpa ukuran benar–salah menurut syariat.

Sistem sekuler yang mendewakan kebebasan juga membatasi peran negara dalam mengatur persoalan moral dan sosial. Negara hanya dapat bertindak ketika ada pelanggaran hukum positif, bukan ketika terjadi pelanggaran moral menurut agama. Padahal ajaran Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah, tetapi juga hubungan manusia dengan sesama dan dengan lingkungan. Ketika agama dipisahkan dari kehidupan, maka tidak ada mekanisme pembinaan baik oleh sekolah maupun negara yang berbasis akidah.

Islam sendiri memiliki pandangan yang jelas tentang identitas laki-laki dan perempuan. Nabi SAW melarang laki-laki menyerupai perempuan dan perempuan menyerupai laki-laki (HR. Bukhari). Ini menunjukkan bahwa Islam menjaga fitrah gender secara tegas. Namun, larangan tersebut tidak diarahkan untuk membenci individu, melainkan untuk mencegah kerusakan fitrah dan kekacauan peran dalam masyarakat.

Dalam pembinaan fitrah, keluarga memiliki peran utama: menanamkan identitas sejak dini, mengarahkan pergaulan anak, dan mengawasi konsumsi konten digital yang mendorong feminisasi laki-laki. Masyarakat pun harus menciptakan lingkungan yang mendukung pembinaan, bukan sebaliknya memberikan panggung pada perilaku yang menyimpang dari fitrah.

Peran negara sangat menentukan. Negara harus mengatur arus budaya, memblokir konten yang mempromosikan feminisasi, cross-gender humor, atau gaya hidup hedonis, serta mendorong konten yang membangun akhlak. Kurikulum pendidikan perlu dibangun di atas akidah, dan hukum harus memberikan efek jera bagi pelaku penyimpangan yang enggan berubah.
Namun semua ini mustahil terwujud selama sistem yang digunakan adalah sistem sekuler. Sistem ini membatasi negara hanya sebagai pengurus administrasi, bukan penjaga moral masyarakat. Tidak ada kewajiban bagi negara untuk menanamkan akidah, menegakkan akhlak, atau menjaga fitrah generasi.

Fenomena cowok gemulai hanyalah satu dari sekian banyak dampak dari sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Selama negara tidak memiliki dasar nilai yang tegas, setiap kebijakan akan berputar antara “kebebasan” dan “kekhawatiran”, tanpa arah yang jelas.

Islam menawarkan solusi yang utuh bukan hanya pada level keluarga dan masyarakat, tetapi juga pada level negara.
Hanya dengan negara yang menjadikan akidah Islam sebagai dasar pengaturan, pembinaan fitrah bisa dilakukan secara sistematis:
• pendidikan berbasis akidah dan akhlak,
• regulasi budaya yang menjaga moral,
• pengendalian media dan konten,
• serta sanksi yang menertibkan perilaku menyimpang.

Tanpa negara yang berlandaskan Islam, pembinaan remaja hanyalah upaya kecil di tengah arus budaya besar yang bertentangan dengan fitrah. Karena itu, solusi Islam tidak hanya berbicara tentang larangan dan nasihat, melainkan membangun sistem yang menjaga fitrah manusia secara menyeluruh.

Dengan sistem seperti itulah generasi muda dapat tumbuh sebagai generasi yang kuat, berakhlak, dan selaras dengan fitrah yang Allah tetapkan. Wallahu’alam
Bagikan:
KOMENTAR