Generasi Muda Takut Nikah : Luka Ekonomi Kapitalisme


author photo

7 Des 2025 - 14.47 WIB



Oleh: Yulia Ekawati, S.Pd. (Aktivis Dakwah Kampus)

Pernikahan seharusnya menjadi suatu hal yang ditunggu tunggu bahkan dinantikan oleh kaum muda, meminang pujaan hati merupakan suatu impian agar dapat memilikinya sepenuhnya. Bahkan pernikahan menjadi jalan untuk membangun keluarga impian memiliki keturunan. Namun, pernihakan hari ini ditakuti oleh kaum Generasi Muda.

Dunia yang kiat gemerlap mengakibatkan tingginya biaya hidup sehingga membuat kaum muda merasa tertekan karena membiayai diri sendiri sulit apatahlagi untuk membangun keluarga. Bahkan generasi mudah sekarang memilih lebih baik tidak menikah dari pada hidup miskin.

Media sosial juga menjadi peran utama masalah ini, viralnya tagar "marriage is scary" membuat banyak kaum muda menganggu pernikahan menjadi sesuatu hal yang menakutkan, tingginya angka perceraian, perselingkuhan, KDRT juga menjadi alasan yang dipertimbangkan oleh generasi muda untuk meminang pujaan hati.

Angka pernikahan di Indonesia turun drastis sejak 2023. Pakar Psikologi Pemberdayaan Masyarakat Fakultas Psikologi Unair, Dr Ike Herdiana MPsi Psikolog pada 2024 lalu menuturkan bahwa menurunnya angka pernikahan disebabkan faktor yang pertama yakni meningkatnya pemberdayaan perempuan. Faktor kedua ialah kemiskinan dan finansial. "Faktor kemiskinan juga menjadi penghalang, sebab banyak pasangan menunda pernikahan karena kesulitan memenuhi kebutuhan hidup,” tuturnya, dikutip dari situs Unair. 
Lebih lanjut, faktor ketiga menurut Dr Ike adalah ketidaksiapan fisik, mental dan finansial. Ia mengatakan, generasi muda saat ini cenderung ingin mencapai stabilitas finansial dan kematangan emosional sebelum memutuskan untuk menikah. (Kompas /22/11/2025)

Maka memang ada kaitannya antara ketakutan pada kemiskinan dan pernikahan.

Tetapi, dari sekian banyaknya hal yang menjadi alasan takutnya generasi muda untuk menikah sebenarnya hanya satu akar permasalahan yang menyebabkan hal ini terjadi. Akar masalah tersebut adalah sistem kapitalisme yang diterapkan dalam sistem negara ini. Lantas mengapa demikian?

Sistem kapitalisme ini menyebabkan segala hal berlandaskan pada asas manfaat sehingga pemilik modal yang memegang kekuasaan. Sistem ini juga menyebabkan biaya hidup tinggi, persaingan lapangan yang ketat, dan upah kerja yang rendah. Ditambah biaya hunian saat ini juga mahalnya luar biasa jadi untuk menikah sudah tidak terpikirkan lagi.

Lebih parahnya lagi sistem kapilatisme menyebabkan negara yang harusnya menjadi regulator cenderung lepas tangan dalam menjamin kesejahteraan rakyat sehingga beban hidup dipikul individu. 

Sistem kapitalisme ini juga bergandengan dengan sistem sekuler - liberal yang memisahkan agama dari kehidupan, sehingga gaya hidul materialistis dan hedon tumbuhan dari pendidikan sekuler. Media hari ini pun mudah menyajikan konten yang tidak bermanfaat sehingga mudah mempengaruhi generasi muda mengikuti tanpa memandang baik dan buruknya termasuk gaya hidup materialistik tadi.

Selain dari itu pernikahan hari ini dianggap sebagai beban, bagaimana tidak dipikiran generasi muda kaum adam merasa kesulitan untuk menghidupi seorang istri apalagi punya anak, pikiran awalnya pasti bagaimana cara memberi makan dan menghidupinya. Selain dari kaum adam sendiri, kaum hawa pun begitu, untuk menikah nantinya harus mengurus suami tidak bisa bebas lagi lebih lebih jika sudah memiliki anak, harus mengurus anak, jadi hal itu menjadi beban pikiran. Padahal pernikahan adalah ladang kebaikan dan jalan melanjutkan keturunan.

Dan ketika Pertanyaan " takut menikah atau hidup miskin?"maka mereka akan menjawab "takut miskin" bakhwan ada yg menjawab "takut keduanya" 

Sebagaimana pendapat Daffar, 24 tahun asal Banten yang merantau di Jakarta mengaku takut akan dua-duanya. Namun ia merasa lebih takut miskin. "Kalau saya miskin saya enggak bisa ngapa-ngapain, hidup ajaa susah, gimana saya mau bahagia," ucap Daffa lewat pesan singkat.
Menurutnya pengaruh kehidupan finansial dan pernikanan sangat berhubungan erat.
"Itu jelas (berpengaruh). Jadi cowok miskin, siapa yang mau nikah sama saya," ungkap Daffa. Menurutnya keinginan menikah itu ada tetapi bagi pria perekonomian menjadi hal sensitif untuk melangkah ke jenjang pernikahan.

Sedangkan kalau dari kaum hawa, "Karena kalau enggak nikah, kita masih bisa self-reward atau masih bisa nyenangin keluarga, apalagi masih ada orang tua sebagai keluarga terdekat. Kalau miskin tapi nikah, enggak mikir aja sih karena belum stabil diri sendiri udah nambah tanggungan," jelasnya. dari sudut pandang sebagai wanita, Tiara (25) asal Jakarta juga lebih takut miskin. Kondisi ekonomi yang tidak baik berisiko menghancurkan rumah tangga menurutnya. (Kompas/22/11/2025).

Lalu bagaimana seharusnya mengatasi problem tersebut, tentu,satu satunya cara adalah membasmi akarnya lebih dulu. Yaitu sistem yang diterapkan di negara ini, yaitu mengganti sistem kapitalisme sekuler menjadi sistem yang nyatanya bisa menyejahterahkan masyarakatnya.

Apalagi kalau bukan sistem yang berasal dari sang pencipta, sistem yang menerapkan islam dalam linimasa kehidupan. Sistem yang mampu menyejahterahkan seluruh masyaraktnya yang menjadi rahmat untuk seluruh manusia

Sistem islam akan mengontruksi semua kebijakan yang ada,demi kepentingan masyarakatnya dengan begitu negara bisa menjamin kebutuhan dasar rakyat dan membuka lapangan kerja yang luas melalui penerapan sistem ekonomi Islam.

Lantas bagaimana sistem ekonomi islam bisa mewujudkan itu, hal ini akan diawali dengan pengelolaan milkiyyah ammah (Kepemilikan Umum) seperti air, energi (listrik, gas), dan hasil hutan, dikelola oleh negara, bukan swasta/asing seperti hari ini, sehingga jika dikelola oleh negara sendiri hasilnya kembali untuk kesejahteraan masyarakat dan mampu menekan biaya hidup.

Selain dari sistem ekonominya, sistem yang menerapkan islam mampu menghadirkan pendidikan berbasis aqidah membentuk generasi berkarakter, tidak terjebak hedonisme dan materialisme. Mereka justru menjadi penyelamat umat. Dalam pendidikan islam siswa siswinya akan dibentuk agar memiliki kepribadian islam, sehingga kaum adam akan dipersiapan menjadi pemimpin dan kaum hawa dipersiapkan sebagai madrasatul ula. Sehingga ketidaksiapan mental dalam menghadapi pernikahan itu tidak ada lagi.

Dalam sistem islam juga akan dihadirkan penguatan institusi keluarga, dengan mendorong pernikahan sebagai ibadah dan penjagaan keturunan. Jadi pernikahan tidak hanya sebagai ajang meminang pujaan hati semata namun merupakan ibadah terpanjang dalam hidup. Sehingga jika ditimpa musibah pernikahan itu bisa kokoh dan pasangan mampu mencari solusi bersama,bukannya menjadikan perceraian sebagai solusi satu-satunya. 

Dimana lagi kita bisa mewujudkan semua kebijakan itu jika bukan melalui sistem dari sang pencipta. Hanya sistem islamlah yang mampu menciptakan generasi kokoh yang tidak perlu risau masalah ekonomi dan yang siap mental membangun keluarga sakinah mawaddah warohmah dalam lingkup pernikahan.

Wallahua'lam bissawwab
Bagikan:
KOMENTAR