Generasi yang Diretas: Konten Merusak Mengambil Alih


author photo

4 Des 2025 - 20.54 WIB




Oleh: Sarah Ainun
.
Ruang digital Indonesia hari ini ibarat samudera luas tanpa mercusuar. Remaja kita berlayar dengan kapal ringkih, sementara badai konten merusak datang dari segala penjuru. 

Di saat para orang tua sibuk bekerja dan para pendidik kewalahan oleh tuntutan kurikulum, kita bukan lagi menghadapi masalah moral; ini adalah krisis peradaban generasi yang berlangsung secara senyap, sistematis, tetapi sangat mematikan.

Serbuan Konten Merusak dan Generasi yang Semakin Rapuh

Data menunjukkan bahwa generasi muda kita kini berada dalam titik paling rentan sepanjang sejarah. Indonesia kini menempati posisi mengkhawatirkan sebagai salah satu konsumen konten pornografi terbesar di dunia. 

Laporan internasional SimilarWeb (2024) mencatat bahwa Indonesia masuk dalam 10 negara dengan trafik pornografi tertinggi. Sementara itu, Kominfo melaporkan lebih dari 1,3 juta konten pornografi telah diblokir sepanjang 2023–2024, namun paparan terhadap masyarakat—terutama remaja—tetap tidak berhenti. 

Bahkan, riset APJII (2023) menunjukkan bahwa 79 persen remaja Indonesia pernah terpapar konten pornografi, dan sebagian besar paparan tersebut terjadi tanpa disengaja. Fakta ini menunjukkan satu hal yang mencengangkan: algoritma digital lebih cepat menemukan anak-anak kita dibandingkan upaya orang tua melindungi mereka.

Begitu pula judi online kini menjerat remaja Indonesia secara masif dan sistematis. Data PPATK (2024) mencatat bahwa perputaran uang judi online mencapai Rp 327 triliun dalam setahun, melibatkan lebih dari 4 juta warga, termasuk pelajar tingkat SMP hingga SMA. 

Temuan Puslitbang Kominfo (2024) juga mengungkap bahwa banyak pelajar mulai terlibat judi online sejak usia 13–15 tahun, umumnya akibat terpancing oleh iklan agresif, influencer, dan promosi yang disisipkan dalam game online.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana industri judi digital secara sengaja menyasar kelompok usia muda yang rentan dan mudah terpengaruh.

Tidak kalah mengkhawatirkan, krisis kesehatan mental di kalangan remaja kian mengkhawatirkan. Laporan Kemenkes 2024 menunjukkan bahwa satu dari tiga remaja kini mengalami gejala gangguan mental yang berkaitan langsung dengan paparan media sosial dan tekanan algoritmik yang terus-menerus membentuk cara mereka melihat diri dan dunia. 

Situasi ini diperparah oleh temuan WHO pada 2023, yang menempatkan Indonesia dalam kategori darurat self-harm (perilaku menyakiti diri sendiri) remaja—sebuah peringatan keras bahwa generasi muda kita sedang menghadapi tekanan psikologis yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Yang paling berbahaya adalah moderasi beragama yang dipromosikan tanpa fondasi akidah yang kokoh. Program ini perlahan menciptakan generasi muslim dengan “split personality”. Riset PPIM UIN Jakarta (2023) menunjukkan bahwa remaja muslim Indonesia semakin longgar dalam memegang nilai moral, namun pada saat yang sama tetap merasa dirinya religius.

Mereka mungkin tetap berpuasa, tetap mengaku muslim, bahkan rutin membagikan ayat Al-Qur’an di media sosial. Namun cara pandang keagamaannya mulai tercerabut dari akar akidah. Agama dilihat hanya sebagai urusan pribadi, sementara kehidupan publik dipahami melalui kacamata sekuler yang bebas nilai.

Dari sini muncul pola berpikir yang menilai syariat dengan standar liberal: zina dianggap “pilihan”, hijab “opsional”, dan hukum Allah dipandang tidak relevan bagi negara modern. Fenomena inilah yang oleh banyak pakar disebut sebagai split personality—tampak religius secara simbolik, namun sekuler dalam cara pandang.


Akhirnya lahir generasi yang terlihat Islami di feed Instagram, tetapi rapuh secara akidah; generasi yang hidup dalam dua wajah—menampilkan simbol agama, namun berpikir dengan paradigma sekuler. Kerusakan identitas semacam ini sejatinya telah diperingatkan dalam Al-Qur’an: 

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia...” (QS. Ar-Rum: 41). 

Dan kerusakan itu kini termanifestasi bukan hanya di darat dan laut, tetapi juga di layar kecil yang kita genggam setiap hari.

Negara Sekuler Gagal Menjadi Penjaga Generasi

Teknologi kini berkembang jauh lebih cepat daripada moral dan regulasi yang seharusnya mengawalnya. Kemajuan digital memang sebuah kepastian sejarah, tetapi ketika ia melaju tanpa kontrol, teknologi berubah menjadi alat kolonisasi mental. 

Algoritma diciptakan bukan untuk mendidik, melainkan untuk memaksimalkan adiksi. Para ahli—seperti Shoshana Zuboff dalam Surveillance Capitalism—menegaskan bahwa dunia digital dibangun di atas logika eksploitasi, termasuk eksploitasi terhadap remaja. Ketika remaja menghabiskan 6–9 jam sehari di dunia digital (APJII 2024), tetapi hanya sekitar 30 menit berdialog dengan orang tua, muncul pertanyaan besar: siapa yang sebenarnya sedang membesarkan mereka? 

Jawabannya jelas—bukan keluarga, bukan sekolah—melainkan software, algoritma, dan industri kapitalistik global yang mengatur pola konsumsi, perhatian, bahkan cara berpikir mereka.

Negara yang beroperasi dengan paradigma sekuler, yang memisahkan agama dari ruang-ruang kehidupan menyisakan lubang raksasa dalam perlindungan digital bagi generasi muda. Ruang digital diperlakukan semata sebagai ruang ekonomi, bukan ruang moral, sehingga platform digital dibiarkan bergerak bebas selama menghasilkan pemasukan pajak. 

Pemblokiran konten dilakukan secara sporadis, bukan sistemik, dan perlindungan terhadap generasi tidak pernah menjadi prioritas kebijakan. Ironisnya, moderasi beragama justru menjadi program yang disponsori negara, semakin mengaburkan batas antara iman dan kufur.

Lebih celaka lagi, sebagian pejabat menimpakan kesalahan kepada keluarga atau sekolah, seakan-akan kerusakan ini bersifat individual, padahal akar masalahnya jelas struktural. Dalam konteks absennya negara menjaga umat dari kerusakan moral, Rasulullah telah mengingatkan bahwa setiap pemimpin adalah penjaga dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.

“Seorang imam (khalifah) adalah perisai; umat berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya” (HR. Muslim).

Tetapi dalam negara sekuler, perisai itu hilang. Yang tersisa justru celah yang mengundang bahaya. Rangkaian riset menunjukkan bahwa kita sedang mencetak generasi yang rentan—bukan generasi pemimpin. 

Temuan McKinsey (2023) mengungkap bahwa generasi yang tumbuh dengan paparan konten negatif secara intens mengalami penurunan kualitas kognitif dan emosional secara signifikan: mereka lebih sulit berkonsentrasi, lebih mudah cemas, kehilangan arah moral, serta memiliki tingkat resiliensi hidup yang paling rendah dalam sejarah modern.

Jika kondisi ini berlanjut, bagaimana mungkin mereka disiapkan menjadi generasi kebangkitan umat? Bagaimana mungkin mereka tumbuh menjadi ulama, pemimpin, atau penjaga agama jika sejak kecil dibesarkan bukan oleh keluarga dan masyarakat, tetapi oleh aplikasi hiburan yang digerakkan algoritma kapitalistik? 

Situasi ini menegaskan urgensi kembali kepada sistem Islam sebagai perisai digital dan penyelamat generasi—satu-satunya sistem yang menempatkan akidah, moral, dan perlindungan umat sebagai poros utama.

Sistem Islam sebagai Perisai Digital dan Penyelamat Generasi

Masalah yang bersifat sistemik tidak mungkin diselesaikan dengan solusi permukaan seperti seminar parenting, kampanye literasi digital, atau ajakan agar orang tua “mengawasi anak lebih ketat”. Itu semua penting, tetapi tidak cukup. 

Kerusakan yang bersumber dari sistem harus diatasi dengan solusi yang setingkat sistem. Dibutuhkan perubahan yang menyentuh akar, bukan sekadar menambal gejala.

Pertama, Sistem Islam hadir sebagai rā’in (pengurus) dan junnah (perisai) bagi umat. Negara tidak bersikap netral secara moral, melainkan berdiri di atas wahyu sebagai standar. Dalam kerangka itu, negara berfungsi melindungi akidah masyarakat, menjaga moral publik, dan memastikan teknologi digunakan sebagai alat kebaikan—bukan alat destruksi yang merusak generasi. Negara bukan sekadar regulator ekonomi digital, tetapi penjaga akhlak dan peradaban.

Kedua, penyaringan konten dilakukan secara total, sistemik, dan berbasis teknologi tinggi. Sistem Islam tidak akan sekadar memblokir link demi link, tetapi memutus mata rantai industri digital yang merusak. Dengan penerapan firewall syar’i tingkat negara, blokir global terhadap server pornografi dan judi, kerja sama internasional berbasis politik independen, serta filter konten bertenaga AI, negara memastikan bahwa racun moral tidak pernah sampai ke tangan rakyat. Konten negatif dihentikan di hulu, bukan dikejar-diir sebagai pengecualian di hilir.

Ketiga, ruang digital justru diubah menjadi sarana pendidikan dan dakwah. Alih-alih menjadi lahan subur kerusakan moral, Sistem Islam menjadikan dunia digital sebagai taman ilmu: kanal pendidikan Islam, dakwah global, pembelajaran sains dan teknologi, literasi Al-Qur’an dan hadis, hingga konten motivasi berbasis iman. Ruang digital bukan lagi zona gelap tanpa kontrol, tetapi bagian dari ekosistem pembinaan umat yang terpadu.

Keempat, penegakan syariat Islam secara kaffah akan menghilangkan seluruh sumber kerusakan di tingkat struktural. Dalam syariat, industri pornografi dilarang total, judi dan riba diberantas dari akarnya, dan penyimpangan moral tidak dinormalisasi sebagai “pilihan pribadi”. 

Sistem pendidikan dibangun untuk membentuk kepribadian Islam, dengan kurikulum yang berlandaskan akidah sehingga melahirkan generasi beraqliyah Islam dan nafsyiah Islam. Pada saat yang sama, negara berfungsi menjaga akidah umat dari setiap infiltrasi pemikiran yang merusak. Dengan penerapan syariat, generasi bukan hanya terlindungi, tetapi juga dipersiapkan untuk tampil sebagai pemimpin peradaban.

Menyelamatkan Generasi adalah Pertaruhan Masa Depan Umat

Jika tidak ada perubahan fundamental, ruang digital akan terus mencabik generasi kita. Negara sekuler telah membuktikan kegagalannya. Sistem yang membiarkan moral diperdagangkan seperti komoditas tidak mungkin melahirkan generasi tangguh.

Kita butuh sistem yang menyatukan teknologi dengan moral. Kita butuh negara yang benar-benar menjadi perisai. Kita butuh syariat yang tidak hanya membimbing individu, tetapi mengatur masyarakat dan negara. Allah berjanji:

“Jika kalian menolong agama Allah, Allah akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian” (QS. Muhammad: 7).

Maka memperjuangkan tegaknya syariat Islam secara kaffah adalah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan generasi dan masa depan umat.
Bagikan:
KOMENTAR