Judol dan Pinjol Mengorbankan Generasi


author photo

15 Des 2025 - 20.07 WIB



Oleh : Jihan Fadhilah S.T (Pemerhati Kebijakan Publik)

Bagi Gen Z yang lahir dan tumbuh di tengah derasnya arus internet, urusan keuangan kini tak lagi rumit. Hanya dengan beberapa klik di ponsel, mereka bisa meminjam uang, membeli barang, atau bahkan membayar gaya hidup. Tak perlu datang ke bank, tak perlu jaminan. Semua serba cepat, mudah, dan instan. Namun di balik kemudahan itu, tersembunyi jebakan halus, yaitu budaya hidup dengan utang digital. Banyak anak muda kini hidup di atas tumpukan tagihan yang tak mereka sadari besarnya. Mereka merasa mampu karena bisa “bayar nanti”, padahal sebenarnya sedang mencicil masa depan.

Fenomena ini bukan sekadar soal ekonomi, tapi soal mentalitas generasi, yaitu generasi yang hidup dalam tekanan sosial, impulsif dalam mengambil keputusan, dan haus validasi digital. Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Agustus 2025, lebih dari 60 persen pengguna pinjaman daring berusia antara 19 hingga 34 tahun.(money.kompas, 16/10/2025)

Judol didesain untuk membuat pelakunya ketagihan, bahkan kecanduan. Mereka terdorong untuk terus mencoba menang. Padahal, sistem judol juga di-setting agar pemain kalah, meski pada awalnya mereka sempat diberi kesempatan menang oleh bandar. Setelah ketagihan, mereka sulit untuk berhenti.

Akibatnya, permasalahan tidak berhenti pada judol. Setelah mengakses situs judol, anak akan butuh uang untuk melakukan deposit/top up. Ketika tidak ada uang, cara paling cepat adalah mengajukan pinjol. Proses pengajuan pinjol yang sangat mudah pun menjadikan anak leluasa mendapatkan uang dari pinjol. Setelah itu, uang dari pinjol akan didepositkan ke judol. Ketika anak kalah judol, ia akan mengambil pinjol lagi agar bisa main terus. Begitu seterusnya hingga berulang-ulang.

Lingkaran setan ini terus berlangsung hingga anak bisa melakukan tindakan kriminal seperti pencurian, penipuan, hingga bunuh diri. Artinya, begitu anak nyemplung ke judol, mereka sulit untuk keluar darinya. Bahkan, anak yang sudah telanjur kecanduan judol, butuh terapi khusus untuk menyembuhkannya

Maraknya anak muda terbuai jerat pinjol dan judol mengonfirmasi bahwa negara gagal memberikan pendidikan karakter dan ideologis. Ditambah gaya hidup materialistis akibat penerapan sistem kapitalisme menjamur di tengah kalangan muda. Materialistis merupakan sikap seseorang yang memandang kebahagiaan atau pencapaian dari sisi materi semata.

Di tengah industri gaya hidup yang begitu masif, stimulus untuk mencoba pinjaman online begitu menggoda. Sementara itu, atmosfer kemudahan berbelanja dengan kemajuan teknologi memudahkan siapa pun untuk bertransaksi dalam sekali klik.

Hal ini karena sistem sekuler kapitalisme menjadikan keuntungan materi sebagai tujuan utama, sedangkan halal/haram (aturan agama) diabaikan. Selama sistem kapitalisme ini masih diterapkan, judol dan pinjol akan terus merajalela dan generasi menjadi korbannya. Saat ini sejatinya masa depan bangsa dan negara sedang dipertaruhkan. Jika tidak segera mengganti kapitalisme dengan sistem yang sahih, yaitu Islam, nasib generasi dan negara akan porak-poranda.

Selain menindak tegas pelaku ribawi, negara juga berkewajiban memenuhi seluruh kebutuhan hidup warganya. Negara akan sangat perhatian kepada rakyat miskin yang membutuhkan pertolongan dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka, yang bisa diakses seluruh warga.

Dengan sistem pendidikan Islam akan terwujud anak-anak (generasi muda) yang bertakwa kepada Allah Taala sehingga terhindar dari kemaksiatan, termasuk judol dan pinjol. Selain pendidikan di sekolah, anak-anak juga mendapatkan pendidikan dari orang tuanya di rumah. Orang tua bertanggung jawab menanamkan akidah, ketakwaan, dan akhlak mulia pada anak-anaknya.

Khilafah juga melindungi generasi muda dari jeratan judol dan pinjol dengan memutus total akses konten pinjol dan judol ke wilayah Khilafah. Jika ada platform digital yang terafiliasi atau memberi ruang pada judol dan pinjol, negara akan menutupnya total. Platform tersebut baru boleh beroperasi jika taat pada syariat.

Infrastruktur digital dalam Khilafah dibangun di atas paradigma Islam, sehingga mampu melindungi generasi dari konten merusak, normalisasi maksiat, dan kriminalitas. Islam telah menerangkan bahwa perjudian, apa pun bentuknya, adalah haram. Dengan berbekal landasan ini, negara dalam sistem Islam tidak akan menoleransi segala kegiatan yang berbau judi. Allah Taala berfirman,

“Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (TQS Al-Maidah: 90).

Dalam Islam, kehidupan hanyalah bekal untuk amal akhirat. Standar perbuatan seorang muslim terikat dengan aturan Allah Taala. Ketakwaan dibangun secara komunal, bukan sekadar individual. Negara menerapkan aturan Islam kafah, baik pada aspek politik, ekonomi, pendidikan, sosial, maupun hankam. Islam harus menjadi jalan hidup seorang muslim. Setiap perilakunya harus sesuai tuntunan syariat.

Negara akan melakukan langkah hukum yang menjerakan terhadap bandar judol, pemilik usaha pinjol (legal maupun ilegal), serta aparat negara yang terlihat judol dan pinjol. Masyarakat yang terlibat juga akan diberi sanksi tegas. Dengan demikian akan terwujud rasa jera. Sanksi bagi pelaku dan bandar judi adalah takzir. Syekh ‘Abdurrahmān al-Mālikī menjelaskan secara khusus jenis sanksi takzir yang terkait judi, baik bagi pemain maupun bandar judi, yaitu,

“Setiap orang yang memiliki harta dengan satu akad dari berbagai akad yang batil, sedangkan ia mengetahui maka dia dihukum dengan hukuman cambuk (maksimal sepuluh kali cambukan) dan dipenjara hingga 2 (dua) tahun.” (‘Abdurrahmān Al-Mālikī, Nizhām al-‘Uqūbāt, hlm. 99).

Demikianlah Khilafah memberi solusi holistik sistemis untuk melindungi generasi dari jeratan judol dan pinjol. Dengan demikian, negara akan memiliki generasi calon pemimpin yang cemerlang. Wallahualam bissawab.
Bagikan:
KOMENTAR