Oleh: Rahmi Surainah, M.Pd alumni Pascasarjana Unlam Banjarmasin
Kasus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) di Balikpapan meningkat dan menunjukkan tren mengkhawatirkan pada akhir 2025. Di Kaltim korban kekerasan didominasi anak-anak.
Data Dinas Sosial Balikpapan mencatat, hanya dalam periode September–Oktober 2025, jumlah anak yang terlibat perkara hukum menembus lebih dari 100 orang, dengan tindak asusila dan pelecehan menjadi kasus paling dominan. Anak-anak yang menjalani hukuman sementara sekitar tiga bulan akan mendapatkan pelatihan dan pembinaan agar dapat kembali diterima di lingkungan sosial serta memiliki bekal memperbaiki masa depan.
Dalam proses pendampingan, Dinas Sosial melibatkan tenaga profesional untuk memastikan hak dan kondisi psikologis anak tetap terjaga selama penanganan perkara berlangsung. Kasusnya merata hampir di semua kecamatan di Balikpapan.
Seriusnya persoalan ini membuat Kementerian Sosial turut melakukan pengawasan langsung di Balikpapan. Kepala Dinas Sosial Kota Balikpapan, Edy Gunawan mengungkapkan penanganan kasus seperti ini bisa berpengaruh terhadap penilaian sebagai Kota Layak Anak sehingga perlu kehati-hatian dan pengawasan ketat.
ABH Akibat Salah Sistem
Kasus ABH tidak dapat dipandang sebagai kesalahan individu atau keluarga semata. Anak-anak hidup dalam lingkungan yang minim nilai agama dan moral. Pergaulan yang liberal/ bebas, masyarakat yang cuek, tekanan ekonomi, hingga paparan konten digital yang sarat kekerasan dan penyimpangan menjadi faktor saling terkait. Dalam situasi ini, peran orang tua, khususnya ibu atau keluarga menjadi sangat berat, terlebih ketika tidak didukung kebijakan negara yang berpihak pada perlindungan generasi.
Sayangnya, negara lebih banyak bersikap reaktif dalam menangani persoalan ABH. Penanganan sering kali berhenti pada pelaporan dan pendampingan demi menyandang predikat Kota Layak Anak. Sementara itu, akar masalah tidak disentuh. Pelaku tidak mendapatkan sanksi yang memberi efek jera dengan alasan masih anak-anak, padahal korban butuh keadilan.
Kondisi tersebut menunjukkan kegagalan sistem sekuler demokrasi kapitalisme neoliberal yang diterapkan hari ini. Sistem ini memisahkan agama dari kehidupan, menjunjung tinggi kebebasan dan menjadikan kebahagiaan diukur dari capaian materi. Akibatnya, standar bahagia capaian di dunia. Benar dan salah menjadi kabur, akhirat pun dilupakan.
Demikianlah sistem kehidupan saat ini bukannya menyelematkan generasi justru membuat kasus ABH meningkat. Saatnya selamatkan generasi dengan Islam. Harapan masa depan peradaban mulia.
Islam Selamatkan dari ABH
Islam dalam mengatasi kasus ABH tidak mencukupkan pada pendampingan saat telah terjadi. Lebih dari itu, Islam menganjurkan adanya pengawasan dan perlindungan hukum bagi anak secara sistemis dan komprehensif.
Masyarakat yang terikat pada pemikiran, perasaan, dan aturan yang sama akan menjadi pengontrol sosial pada setiap individu termasuk anak. Aktivitas amar makruf nahi mungkar akan menghiasi kehidupan sosial masyarakat.
Anak-anak akan tumbuh dalam sistem yang mendukung terbentuknya ketakwaan. Sementara itu, negara berperan dalam menjamin kebutuhan anak. Negara harus menciptakan mekanisme yang mendukung terpenuhinya kebutuhan ekonomi, pendidikan, kesehatan, pergaulan, termasuk sistem hukum bagi anak. Inilah wujud peran negara sebagai pengurus rakyat, khususnya kepada anak-anak.
Di sisi lain, negara berperan dalam memberikan perlindungan kepada anak dengan membentengi anak dari paparan pemikiran negatif. Negara akan memastikan anak hanya mengonsumsi informasi bersih dan sehat dalam tumbuh kembang mereka, serta mengaruskan edukasi yang mendukung fase perkembangan melalui media yang mendukung pola asuh orang tua.
Negara juga berperan menjalankan sistem hukum sesuai syariat. Di sini, negara berperan dalam melakukan edukasi syariat yang berkaitan dengan hukum perbuatan seorang hamba. Walhasil, anak akan tumbuh menjadi individu bertakwa dengan dukungan masyarakat dan negara.