Oleh : Siti Nur Ainun Ajijah (Pemerhati Urusan Umat)
Lonjakan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kalimantan Timur sepanjang tahun 2025 membuat isu pengasuhan keluarga kembali menjadi sorotan serius. Kepala DKP3A, Data DP3A Kaltim mencatat, per September 2025 kasusnya 1.020 lalu naik menjadi 1.110 di bulan Oktober 2025 kasus kekerasan yang terjadi di Kaltim. Artinya ada penambahan 90 kasus hanya dalam waktu satu bulan atau rata-rata 3-4 kasus setiap hari.
Melihat data tersebut, Pemerintah Provinsi Kaltim memperkuat layanan Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) sebagai uapaya pencegahan berbasis keluarga. Kepala DKP3A, Noryani Sorayalota, mengatakan bahwa layanan Puspaga semakin relevan ketika data menunjukan peningkatan kekerasan yang cukup signifikan dalam dua bulan terakhir. Data ini menunjukan bahwa persoalan kekerasan tidak lagi hanya terjadi pada keluarga beresiko tinggi, tetapi juga rumah tangga yang secara sosial terlihat baik-baik saja.
Dalam merespon kondisi itu, Pemprof Kaltim juga menggelar seminar parenting bertema “Sinergi Ayah Ibu: Membangun Pola Asuh Setara dan Komunikasi Efektif di Keluarga”. Selain itu Puspaga juga digencarkan sebagai sarana edukasi, konseling, dan pencegahan kekerasan berbasis keluarga. Tujuannya dengan adanya layanan Puspaga ini menjadi pusat aduan, konseling, sekaligus edukasi bagi keluarga dan masyarakat yang mengalami masalah keluarga bisa mendapat bantuan tanpa harus takut atau malu. https://infosatu.co/oktober-2025-kasus-kekerasan-di-kaltim-1-110-puspaga-diperkuat-untuk-tekan-lonjakan/
Data Kaltim di atas sejatinya mencerminkan tren nasional. Setiap tahun, Komnas perempuan dan KPAI juga merilis kenaikan kekerasan fisik psikis, maupun seksual terkhusus pada perempuan dan anak. Artinya persoalan ini bukan sekedar problem individu, melainkan fenomena sistemik yang terjadi hampir di seluruh negeri.
Di atas kertas, Indonesia sudah memiliki berbagai regulasi perlindungan keluarga, mulai dari UU No. 52/2009 tentang perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, hingga Perda Kaltim No. 2/2022 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Ketahanan Keluarga. Namun, keberadaan aturan tidak otomatis menyelesaikan persoalan. Angka kekerasan justru terus menaik.
Kegagalan regulasi ini bukan sekedar persoalan teknis pelaksanaan. Akar masalahnya jauh lebih dalam, kerangka berfikir (ruh) yang digunakan dalam merumuskan kebijakan. UU dan program pembangunan keluarga lahir dari paradigma sekularisme kapitalisme, yang memisahkan agama dari kehidupan dan mengatur manusia hanya berdasarkan asas manfaat.
Paradigma tersebut tidak menyentuh akar persoalan kekerasan keluarga yang bersumber dari, tekanan ekonomi, emosi yang tidak terkendali, lemahnya moral, minimnya pemahaman agama, hilangnya peran ayah dan ibu sebagai pengasuh utama, kerusakan lingkungan sosial akibat media, pergaulan, konten berbahaya, ditambah lagi sikap masyarakat hari ini yang cenderung individualisme yang membuat masyarakat tidak peduli satu sama lain.
Dalam sistem kapitalisme sekuler, keluarga kehilangan pondasi utama yaitu ketakwaan dan kepemimpinan orang tua akibatnya hari ini orang tua menjadi kebingungan mengasuh, beban ekonomi menekan, ruang sosial toxic, media yang menjadi salah satu pemicu kekerasan. Walhasil rumah tak lagi menjadi tempat perlindungan, dan masyarakat tidak berfungsi sebagai kontrol sosial.
Program seperti seminar parenting dan layanan puspaga tentu bermanfaat secara teknis, tetapi tidak akan mampu menyelesaikan masalah yang sifatnya struktural ideologis. Persoalan kekerasan keluarga hanya bisa diatasi jika akar masalahnya ditangani.
Berbeda dengan sistem sekuler, Islam memandang keluarga sebagai pilar utama pembentuk masyarakat. Solusi Islam tidak terbatas pada penyuluhan, tetapi mencakup transformasi menyeluruh. Pertama keluarga sebagai pelindung sebab dalam Islam, keluarga mempunyai fungsi utama yaitu melindungi anggota keluarganya, mulai dari menanamkan akhlak dan kepribadian Islam, membentuk keimanan dan ketakwaan sejak dini.
Ayah sebagai qawwam (pemimpin) bertanggung-jawab penuh atas perlindungan, nafkah, dan pendidikam keluarganya. Sementara ibu madrasah pertama berperan mendidik anak dengan kasih sayang dan ilmu. Sinergi ini bukan konsep kesetaraan ala barat, tetapi kerjasama harmonis sesuai fitrah dan syariat.
Negara dalam sistem Islam tidak hanya akan memberi seminar sesekali tetapi negara akan bertanggung-jawab penuh atas pendidikan dan menguatkan peran keluarga. Seperti mengintegrasikan edukasi keluarga dalam kurikulum pendidikan, kemudian menggunakan media nasiaonal sebagai sarana edukasi moral, memastikan lingkungan sosial bersih dari konten merusak, memberi jaminan kebutuhan dasar sehingga masyarakat terbebas dari tekanan ekonomi, ditambah lagi dengan memebrikan sanksi yang tegas kepada siapapun yang melakukan tindak kekerasan, disamping menciptakan iklim sosial yang penuh kepedulian.
Di bawah naungan sistem Islam keluarga tidak akan dibiarkan berjuang sendiri. Negara akan menjadi mitra pelindung bagi setiap rumah, bukan hanya tempat aduan. Daulah Islam juga akan menciptakan masyarakat yang peduli, saling menasehati, dan menjadi penjaga moral satu sama lain. Dengan demikian, peluang terjadi kekerasan semakin kecil karena lingkungan menjaga dan mengawasi.
Sinergi ayah ibu memeng penting. Puspaga juga bermanfaat, namun semua itu hanya menyentuh permukaan masalah tanpa mengubah sistem yang melahirkan tekanan ekonomi, kerusakan moral, dan individualisme, kekerasan dalam keluarga tidak akan berhenti.
Islam hadir dengan solusi komprehensif, membangun keluarga berdasarkan aqidah Islam, negara yang mendidik dan menjaga, hukum yang melindungi, serta masyarakat yang peduli. Dengan penerapan Islam secara kaffah, ketahanan keluarga dapat diwujudkan, dan kekerasan dapat ditekan secara nyata dan berkelanjutan. Wallahu a’lambishawab