Oleh : Alga Biru
Isu soal brain rot sepertinya tidak terlalu menakutkan. Tentu saja, lebih banyak alasan untuk kita membuka gawai dan melakukan ragam rupa aktivitas. Sangat naif rasanya untuk berlepas diri dari sistem serba digital yang efisien seperti sekarang. Ini bukan hanya tentang mendengarkan lagu pada telepon pintar sembari mengirim lamaran pekerjaan, tetapi juga memindai dompet digital di depan peron kereta cepat hingga mengatur janji temu dokter di platform rumah sakit.
Omon-omon soal distraksi, pada dasarnya ini bukanlah sebuah fenomena baru. Bukankah dengan bangga kita memperkenalkan keahlian multitasking? Yakni kemampuan mengerjakan dua-tiga hingga lima pekerjaan sekaligus. Pepatah bijak berkata, sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Kita menyangka, itulah multitasking, itulah life hack pengendali waktu dan pekerjaan dengan sekali tepuk. Penelitian yang dilakukan Profesor Earl Miller di bidang ilmu saraf mengungkap hasil temuan yang bertolak belakang, sama sekali tidak merekomendasikan manusia bermultitasking. “Kita adalah makhluk dengan kemampuan berpikir tunggal”, ungkapnya,”otak manusia tidak didesain melakukan banyak pekerjaan sekaligus”. Yang kita lakukan selama ini semacam juggling. Bergonta-ganti dan beralih kegiatan dari satu hal ke hal berikutnya. Meskipun secara praktis itu berlangsung dalam hitungan menit atau sepersekian detiknya, manusia rentan mengalami apa yang disebut switch cost effect, kinerja otak yang menurun dari waktu ke waktu akibat peralihan fokus. Kita bakal cepat tua, pelupa, plonga plogo dan kehilangan daya kritis. Itu ngeri loh!
Tayangan video berdurasi singkat sudah jadi makanan kita sehari-hari. Short, reels, snaps, dan semisalnya. Bahkan kita diajarkan bagaimana membuat hook alias pengait konten supaya kita berhenti scroll dan bertahan menonton lebih lama. Akhirnya, otak kita kelebihan beban fokus dan digulung informasi. Setelah berjam-jam larut dalam samudera distraksi dan perasan video pendek, kita kelelahan dan kehilangan gairah. Kita kenyang tanpa mendapatkan apa-apa. Ya, disitulah masalahnya! Kita kehilangan daya tarik, ketangguhan menekuni satu topik tertentu dan merasa gabut tanpa bisa dijelaskan alasannya. Kita sulit berpikir jernih dan mengharapkan keinstanan hidup. Tiba-tiba saja kita merasa gatal ingin mengecek gawai meski suara notifikasi tidak terdengar, atau sebaliknya, notifikasi terus berbunyi tanpa henti hingga kita sulit membedakan mana pesan yang benar-benar penting dan segera ditanggapi. Bayangkan, hal sekecil ini menghilangkan profesionalitas dan kinerja kita secara massal!
Pengembang teknologi sudah memikirkan dampak buruk teknologi dengan distraksinya secara seksama. Mustahil mereka tidak tahu potensi kerusakan dari revolusi digital yang mereka jual ke pasaran. Masalahnya, kepentingan keselamatan dan kemanusiaan berhadapan dengan perusahaan layanan iklan dengan pertaruhan cuan senilai milyaran dolar. Pikiran hipokrit kita dipaksa untuk memahami paradoks antara kebodohan pemakai teknologi dan keserakahan para pengembang dan investornya. “Tidak ada yang memaksa kalian untuk menggunakan smartphone, iya kan?”.
Distraksi adalah pengalaman manusia yang paling primitif, seumpama adam dan hawa yang teralihkan pandangannya pada buah kuldi yang sekonyong-konyong mengeluarkan keduanya dari ranah surgawi. Maka, untuk ke sekian kali, kita pun memakan kuldi itu dengan senang hati dan menyerahkan satu hal yang terpenting dari diri kita yakni akal sehat. Kita tidak gila karena distraksi, tetapi keputusan kita seolah cukup gila untuk disandingkan dengan kawarasan.
Distraksi digital hanya bagian kecil dari rantai panjang yang mencuri perhatian kita, atau dengan kata lain membuat otak membusuk bahkan secara harfiah. Jangan lupa, masih ada isu mikro plastik, keracunan timbal, percobaan vaksinasi yang memicu reaksi tumor dan kanker, makanan yang merusak otak, tontonan sampah, keputusan politik, dan lainnya sebagai alat penghancur kemampuan berpikir kita. Ini bukan tentang berpuasa gawai sementara waktu, tetapi bahkan sekelas undang-undang negara pun takluk di hadapan penguasa teknologi yang menggenggam atensi hari ini. “Lu dapat atensi, lu punya kuasa, lu terdistraksi, maka lu kelar bos!”
Akhir kata, jika kita belum menemukan jalan keluar, kita mengurai satu persatu masalahnya. []