Bencana tidak hanya meninggalkan lumpur, puing, dan duka. Ia juga menguji satu hal yang paling rapuh dalam kehidupan bersama: kepercayaan. Ketika banjir bandang datang, longsor menutup akses, listrik padam berhari-hari, air bersih sulit didapat, dan bahan bakar langka, masyarakat tidak sekadar menunggu bantuan. Mereka menunggu kepastian—bahwa ada pihak yang benar-benar hadir mengurus, melindungi, dan menenangkan.
Namun yang sering dirasakan justru sebaliknya.
Negeri ini sejatinya bukan negeri kecil dengan kemampuan terbatas. Ia memiliki wilayah luas, sumber daya alam melimpah, serta manusia-manusia terdidik yang tidak sedikit. Dalam kondisi normal, kekuatan ini seharusnya menjadikan negara tangguh menghadapi krisis. Namun di hadapan bencana, yang dirasakan rakyat justru seolah negara kekurangan daya, kekurangan solusi, bahkan kekurangan ketegasan untuk bertindak cepat dan tepat.
Di banyak sudut negeri, termasuk Aceh, rakyat terus memilih berharap dan bersabar. Kontras antara potensi besar dan kenyataan yang dirasakan ini melahirkan pertanyaan sunyi di tengah masyarakat. Bukan tentang ada atau tidaknya kemampuan, melainkan tentang bagaimana kemampuan itu dikelola. Ketika potensi besar tidak berbuah perlindungan nyata, negara tampak miskin di hadapan bencana—bukan karena tak punya sumber, tetapi karena salah arah dalam pengurusan. Mereka menahan kecewa, menunda marah, dan tetap percaya bahwa keadaan akan segera dibenahi. Kesabaran itu bukan karena beban yang ringan, melainkan karena keyakinan bahwa negara seharusnya hadir. Namun ketika waktu berlalu dan perubahan tak kunjung nyata, muncul kesan pembiaran—bukan karena negara tidak mampu, tetapi karena seolah menunggu hingga batas kesabaran itu sendiri yang runtuh. Di tengah keadaan darurat, koordinasi lambat, kebijakan saling tumpang tindih, dan solusi terasa parsial. Negara tampak hadir lewat pernyataan, tetapi absen dalam pengurusan nyata. Di titik inilah kepercayaan mulai runtuh. Bukan karena rakyat menuntut berlebihan, melainkan karena kebutuhan paling dasar tidak terpenuhi saat paling dibutuhkan.
Runtuhnya kepercayaan melahirkan konsekuensi sosial yang panjang. Ketika kesabaran diuji terlalu lama tanpa kepastian, situasi ini menyerupai bom waktu sosial: tenang di permukaan, rapuh di dalam. Masyarakat bertahan bukan karena aman, tetapi karena terbiasa menahan. Kondisi seperti ini berbahaya jika dibiarkan, sebab ia menggerus ikatan kepercayaan secara perlahan namun pasti. Masyarakat belajar bertahan sendiri, menutup diri, bahkan saling mencurigai. Solidaritas melemah, empati menipis, dan ruang publik mudah dipenuhi narasi emosional. Ketika pengurusan tak memberi rasa aman, masyarakat mencari pegangan lain—apa pun yang mampu memberi kepastian, meski sementara.
Situasi ini menunjukkan bahwa krisis sesungguhnya bukan hanya krisis bencana, melainkan krisis pengurusan. Bencana bersifat alamiah, tetapi dampaknya menjadi berkepanjangan ketika tidak ditangani dengan sistem yang jelas dan bertanggung jawab. Tanpa kerangka yang utuh, kebijakan berubah menjadi reaksi sesaat, bukan perlindungan berkelanjutan.
Islam memandang pengurusan rakyat sebagai amanah yang tidak boleh terputus, terlebih saat krisis. Al-Qur’an menegaskan bahwa kekuasaan adalah tanggung jawab besar: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kamu menetapkannya dengan adil” (QS. An-Nisa: 58). Ayat ini menegaskan bahwa pengurusan rakyat bukan pilihan kebijakan, melainkan kewajiban amanah. Kebutuhan dasar—keamanan, pangan, air, energi—bukan fasilitas tambahan, melainkan hak yang wajib dijaga. Penguasa tidak cukup hadir sebagai pengatur, tetapi sebagai penanggung jawab penuh atas terpenuhinya kebutuhan tersebut.
Prinsip ini menempatkan kepercayaan publik sebagai hasil dari keadilan yang dirasakan. Rasulullah ﷺ bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menegaskan bahwa kelalaian dalam pengurusan bukan perkara sepele, melainkan tanggung jawab yang kelak dipertanyakan. Ketika kebijakan lahir dari amanah dan dijalankan secara konsisten, masyarakat tidak perlu cemas menghadapi masa sulit. Negara menjadi tempat bersandar, bukan sekadar alamat keluhan.
Di sinilah pentingnya menimbang kembali arah pengurusan kehidupan bersama. Sistem yang hanya mengandalkan tambalan kebijakan akan terus memproduksi kekecewaan. Sebaliknya, pengurusan yang bertumpu pada nilai-nilai Islam—yang menegaskan tanggung jawab, keadilan, dan perlindungan menyeluruh—memberi ruang bagi kepercayaan untuk pulih.
Pada akhirnya, bencana mengajarkan satu pelajaran penting: kehadiran negara diukur bukan dari banyaknya pernyataan, tetapi dari seberapa jauh ia menjaga rakyatnya. Islam mengingatkan bahwa kezaliman—termasuk pembiaran terhadap penderitaan—tidak akan melahirkan ketenteraman. “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka” (QS. Hud: 113). Ayat ini menjadi peringatan bahwa membiarkan ketidakadilan berlangsung adalah bahaya bagi kehidupan bersama. Ketika kepercayaan runtuh, masyarakat berhak mencari sistem yang mampu mengembalikannya. Dan di sanalah, Islam hadir sebagai pilihan pengurusan yang memberi kepastian, ketenangan, dan harapan yang layak dijadikan tempat pulang.