Oleh : Ns. Rizqa Fadlilah, S. Kep
Beredar wacana Pemerintah Kabupaten Kutai Timur (Kutim) akan melakukan pendataan siswa gemulai di sekolah-sekolah. Wakil Bupati Kutim, Mahyunadi mengatakan pendataan tersebut tidak bermaksud memberikan stigma, melainkan bentuk perhatian kepada siswa yang dianggap perlu untuk diarahkan kembali pada perilaku sesuai dengan karakter.
Menurutnya, langkah ini merupakan upaya pembinaan karakter generasi muda agar tumbuh menjadi pemuda yang kuat dan pemberani. Juga sebagai langkah menuju generasi emas 2045 (katakaltim.com, 09/11/2025).
Rencana tersebut menimbulkan berbagai reaksi, terutama dari kalangan pemuda. Diantaranya Duta Pemuda Kutim 2025, Marsyah berpendapat pendataan harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan dampak sosial negatif.
Menurutnya pendekatan edukatif dan solutif akan lebih efektif dibanding sekedar pelabelan atau penilaian moral. Ia juga menambahkan pembinaan yang dilakukan pemerintah sebaiknya menyentuh semua lapisan dan tidak bersifat diskriminatif. Karena menurut Marsyah fenomena lelaki gemulai tidak hanya terjadi di kalangan pelajar tapi juga masyarakat umum (kaltimpost.id, 10/11/2025).
Duta Pemuda Putra Kutim, Riswan juga turut menanggapi wacana ini. Ia berpendapat bahwa karakter gemulai tidak perlu ditanggapi secara berlebihan apalagi sampai mendapat diskriminasi dari masyarakat. Menurutnya sifat gemulai bukanlah suatu penyimpangan, namun semata sifat feminim yang dominan pada diri seseorang. Dimana sifat feminim tersebut bisa dipengaruhi banyak faktor, termasuk lingkungan (katakaltim.com, 09/11/2025).
*Kebebasan yang Kebablasan*
Banyaknya siswa gemulai telah membuat resah. Jika dulu pria gemulai dianggap aneh, saat ini justru menjadi tren. Mereka tidak lagi malu, sebaliknya semakin bangga menunjukkan dirinya yang berbeda. Hingga pemerintah berencana mendata dan membantu mereka agar kembali kepada fitrahnya.
Namun upaya pemerintah tersebut mendapat berbagai respon negatif. Banyak dukungan datang untuk siswa gemulai, baik dari komunitas maupun perorangan, yang pada akhirnya menjadi benteng bagi mereka. Sehingga mereka semakin berani dan percaya diri menampakkan perbedaan.
Lembaga pendidikan, para guru, maupun orang tua tidak memiliki pedoman jelas untuk menghadapi fenomena ini karena tidak ada aturan yang tegas. Fenomena ini berkaitan erat dengan cara pandang sekuler-yaitu paham pemisahan agama dari kehidupan- yang memandang agama hanya untuk ibadah ritual saja. Sementara dalam aspek kehidupan umum seperti pendidikan, sosial budaya, hiburan dan lain-lain berjalan tanpa nilai agama.
Salah satu dampak sosial yang muncul dari paham ini adalah tidak ada standar moral yang mengatur batas ekspresi gender. Sehingga wajar jika saat ini kita temui banyak siswa dengan orientasi seksual yang berbeda atau perilaku yang menyimpang dari fitrah.
Sekolah-sekolah pun tidak menggunakan pedoman berbasis agama. Sebaliknya justru mendukung paham kebebasan. Perilaku dianggap hak individu tanpa ada kriteria benar atau salah sesuai aturan agama. Selama tidak merugikan atau membahayakan orang lain, maka tidak boleh dilarang.
Hal demikian merupakan suatu keniscayaan, sebab dalam sistem sekuler yang saat ini mencengkeram, kebebasan dimuliakan termasuk kebebasan berekspresi, kebebasan identitas, serta kebebasan berperilaku di ruang publik.
Sistem ini juga membatasi peran negara. Paham sekuler membatasi peran negara untuk tidak ikut campur mengatur moral atau perilaku sosial. Negara hanya turun tangan ketika ada pelanggaran hukum fisik atau ketika ada yang merasa dirugikan.
Karena itu tidak ada aturan ataupun pembinaan bagi komunitas atau gaya hidup yang menyimpang untuk mengembalikan fitrah mereka. Lembaga pendidikan pun tidak mendapatkan instruksi kurikulum sesuai dengan aturan agama. Sehingga tidak ada sanksi tegas bagi para pelaku penyimpangan karakter atau perilaku yang merusak fitrah.
*Islam Menjaga Fitrah Manusia*
Islam memandang fitrah laki-laki dan perempuan berbeda secara jelas. Dalam Islam, identitas gender adalah fitrah yang harus dijaga. Rasulullah SAW bersabda _"Dan tidaklah laki-laki menyerupai perempuan, dan tidak pula perempuan menyerupai laki-laki."_ (HR. Bukhari)
Artinya, Islam tidak memperbolehkan perilaku laki-laki menyerupai perempuan, ataupun sebaliknya perilaku perempuan menyerupai laki-laki. Karena yang demikian dapat merusak fitrah dan peran yang Allah tetapkan.
Namun, bukan berarti Islam membenci orang-orang yang berperilaku menyalahi fitrahnya. Islam melarang perbuatannya tapi tidak membenci individunya. Oleh sebab itu, Islam akan menjaga individu-individu muslim dari perilaku menyimpang tersebut.
Dalam Islam keluarga memiliki peran membangun keteguhan identitas dan fitrah pada diri remaja. Penguatan fitrah dilakukan sejak dini, keluarga mengarahkan remaja agar memilih circle pertemanan yang baik. Bukan pertemanan yang mendorong perilaku gemulai atau gaya hidup menyimpang. Keluarga juga mengarahkan serta membiasakan anak untuk menyalurkan energi pada hal-hal positif. Seperti mengikuti organisasi atau komunitas yang bergerak dalam hal kebaikan, mengikuti kegiatan masjid, ataupun olahraga. Dengan menyibukkan diri dalam hal positif, diharapkan dapat mengurangi waktu konsumsi konten yang mengarahkan pada kemaksiatan dan perilaku menyimpang.
Selain keluarga, masyarakat dalam Islam juga memiliki peran menciptakan lingkungan sosial yang menjaga fitrah. Dengan cara memberikan ruang aman bagi remaja untuk mencari jati diri, tentunya dengan standar aturan agama. Masyarakat juga memastikan agar tidak ada panggung yang mempromosikan perilaku menyimpang. Juga tidak menormalisasi atau membiasakan diri untuk menertawakan atau meromantisasi perilaku gemulai atau konten yang memuat perilaku menyimpang. Respon demikian justru dapat memperkuat perilaku menyimpang karena pelaku menganggap perbuatannya tidak salah dan disukai orang lain.
Negara dalam Islam juga memiliki peran besar dalam menjaga fitrah. Negara berperan mengendalikan paparan informasi dan budaya dengan cara memblokir tontonan yang mempromosikan perilaku menyimpang. Seperti feminisasi laki-laki, cros-gender humor, LGBT, inces, dan lain-lain. Kemudian mendorong penyebaran konten positif. Dalam bidang pendidikan negara mengatur kurikulum pendidikan berbasis akidah dan akhlak. Di bidang hukum, negara akan memberikan sanksi tegas kepada pelaku penyimpangan yang tidak mau bertaubat.
Dengan penjagaan mulai dari institusi terkecil keluarga hingga institusi besar negara, maka fitrah manusia akan terjaga dengan baik. Namun, penjagaan yang demikian hanya bisa dilakukan jika negara menerapkan syari'at Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahu a'lam