Membangun Generasi Tangguh di Tengah Gempuran Digital


author photo

24 Des 2025 - 22.15 WIB



Oleh: Sarah Ainun

Di satu sisi, generasi muda hari ini adalah generasi paling terdidik secara teknologis dalam sejarah manusia. Mereka akrab dengan gawai sejak dini, cepat beradaptasi dengan perubahan, dan memiliki akses informasi yang nyaris tak terbatas. 

Namun di sisi lain, mereka juga generasi yang paling rentan kehilangan arah. Arus informasi yang deras, algoritma media sosial yang manipulatif, serta dominasi nilai-nilai sekuler-liberal menjadikan generasi muda berada di persimpangan serius: menjadi subjek perubahan peradaban, atau justru korban paling awal dari kerusakannya.

Masalah generasi sejatinya bukan sekadar persoalan akhlak individual, kecanduan gawai, atau tingginya screen time. Ia adalah persoalan sistemik tentang siapa yang membentuk cara berpikir generasi, nilai apa yang ditanamkan, dan arah hidup apa yang ditawarkan kepada mereka. 

Karena itu, solusi parsial—seperti pembatasan teknis penggunaan media sosial—tidak akan pernah cukup. Yang dibutuhkan adalah sinergi seluruh elemen umat untuk melahirkan generasi yang bukan hanya cakap secara teknologis, tetapi juga bertakwa dan tangguh secara ideologis.

Generasi Muda di Tengah Arus Deras Dunia Digital

Tidak dapat dimungkiri, dunia digital telah menjadi ruang hidup utama generasi muda. Media sosial bukan lagi sekadar sarana komunikasi, tetapi menjadi ruang pembentukan identitas, opini, dan bahkan orientasi hidup. Setiap hari, generasi muda dijejali konten tanpa henti—hiburan, opini politik, gaya hidup, hingga narasi tentang makna kebahagiaan dan kesuksesan.

Tingginya screen time bukan hanya soal durasi menatap layar, tetapi tentang bagaimana perhatian dan kesadaran mereka terus-menerus ditarik menjauh dari kehidupan nyata. Interaksi sosial digantikan “likes” dan “views”. Kepedulian sosial sering berhenti pada unggahan dan tagar. Pada titik tertentu, dunia virtual menjadi lebih nyata daripada realitas itu sendiri.

Lebih berbahaya lagi, dunia maya bekerja dengan algoritma yang tidak netral. Algoritma dirancang untuk mempertahankan atensi, bukan untuk membimbing pada kebenaran. Akibatnya, generasi muda sering terperangkap dalam echo chamber—ruang sempit yang terus mengulang satu sudut pandang, memperkuat emosi, dan mematikan daya kritis yang jernih.

Namun di tengah situasi ini, muncul pula satu fenomena yang patut dicatat: semakin banyak anak muda yang bersuara kritis terhadap kezaliman penguasa, ketimpangan sosial, dan ketidakadilan sistemik. Ini adalah indikasi baik. Akan tetapi, tanpa arah ideologis yang benar, kritik tersebut rawan menjadi reaktif, emosional, dan kehilangan tujuan perubahan yang hakiki.

Generasi sebagai Pasar dan Objek Rekayasa Pikiran

Dalam sistem kapitalisme global, generasi muda tidak dipandang sebagai amanah, melainkan sebagai pasar potensial. Atensi mereka adalah komoditas bernilai tinggi. Setiap klik, tontonan, dan interaksi digital dikonversi menjadi keuntungan ekonomi dan pengaruh politik. Di sinilah bahaya laten itu bekerja.

Konten digital yang dikonsumsi generasi muda hari ini sejatinya adalah “tabungan informasi” yang akan membentuk cara berpikir mereka di masa depan. Sayangnya, tabungan ini sebagian besar diisi oleh nilai-nilai sekuler dan liberal: kebebasan tanpa batas, relativisme moral, pemisahan agama dari kehidupan, serta glorifikasi kesuksesan material.

Pemikir Muslim, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, menegaskan bahwa ide (fikrah) adalah fondasi peradaban. Peradaban akan tegak atau runtuh sesuai dengan ide yang mendominasi cara berpikir masyarakatnya. 

Ketika generasi muda mengadopsi ide sekuler sebagai cara pandang hidup, maka sejatinya mereka sedang disiapkan untuk menjadi pelestari sistem kapitalisme, meski dengan label religius.

Inilah mengapa banyak aktivis muda terlihat lantang mengkritik ketidakadilan, tetapi tetap mengambil solusi-solusi parsial yang tidak menyentuh akar masalah. Mereka rindu perubahan, tetapi masih menggunakan kacamata sistem yang rusak. 

Akibatnya, lahirlah aktivis prematur—mudah lelah, mudah kecewa, dan pada akhirnya mudah tergiur jabatan serta kompromi. Islam mengingatkan bahaya ini sejak awal. Allah SWT berfirman:

“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka”(QS. Hud: 113).

Kecenderungan ini tidak selalu berbentuk dukungan terang-terangan, tetapi bisa berupa penerimaan cara berpikir dan solusi yang ditawarkan sistem zalim itu sendiri.

Benteng Ideologis: Cara Pandang Hidup yang Sahih

Menghadapi gempuran ide dan informasi, generasi muda membutuhkan benteng pertama dan utama: cara pandang hidup yang sahih. Cara pandang yang bersumber dari Sang Khalik, bukan dari logika pasar atau selera mayoritas. 

Islam tidak hadir sebagai sekadar identitas spiritual, tetapi sebagai ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Allah SWT menegaskan:

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui” (QS. Al-Jatsiyah: 18).

Ayat ini menegaskan bahwa umat Islam, termasuk generasi mudanya, harus mengambil arah hidup berdasarkan syariat, bukan sekadar mengikuti arus zaman. Tanpa fondasi ini, kritik terhadap kezaliman hanya akan berhenti pada permukaan, bahkan bisa diseret untuk mempercantik wajah sistem yang rusak.

Karena itu, menduplikasi pola aktivisme liberal—meski dibungkus simbol Islam—bukanlah solusi. Aktivisme semacam ini pada akhirnya hanya berfungsi sebagai bemper kapitalisme, meredam kemarahan publik tanpa benar-benar mengubah struktur ketidakadilan.

Manusia, Generasi, dan Lingkungan Pembentuknya

Islam memandang manusia sebagai makhluk Allah yang memiliki potensi unik: garizah (naluri), hajatul udhawiyah (kebutuhan jasmani), dan akal. Akal inilah yang menjadikan manusia mampu berpikir, menilai, dan memilih. Namun akal tidak pernah netral; ia selalu bekerja berdasarkan cara pandang yang dianut.

Karena itu, generasi muda tidak cukup hanya “dinasihati”. Mereka membutuhkan lingkungan kondusif yang menumbuhkan keimanan dan keberanian berpikir. Rasulullah SAW bersabda:

“Seseorang itu tergantung agama temannya, maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat dengan siapa ia berteman.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Sinergi Elemen Umat: Dari Keluarga hingga Negara
Melahirkan generasi bertakwa dan tangguh tidak mungkin dibebankan pada satu pihak saja. Ia membutuhkan sinergi seluruh elemen umat secara komprehensif dan sistemis.

Keluarga adalah fondasi pertama dalam menanamkan akidah dan membentuk kepribadian Islam pada anak. Di rumah, anak pertama kali belajar tentang benar dan salah, batas halal dan haram, serta makna tanggung jawab. Namun fondasi ini kerap runtuh ketika anak keluar rumah dan justru disuguhi lingkungan yang bertolak belakang.

Karena itu, masyarakat memegang peran penting dalam menormalkan nilai-nilai kebenaran—menjadikan kebaikan sebagai sesuatu yang wajar dan kemungkaran sebagai sesuatu yang tidak layak dipertontonkan, apalagi dibenarkan.

Di atas semuanya, negara memiliki peran strategis untuk memastikan arah pendidikan, regulasi media, dan kebijakan publik tidak bertentangan dengan nilai moral dan akidah Islam, tetapi justru melindungi dan menguatkannya demi masa depan generasi.

Di sinilah peran partai politik Islam ideologis menjadi krusial. Bukan sebagai sekadar kendaraan elektoral, tetapi sebagai tulang punggung pembinaan umat secara menyeluruh. Parpol ideologis menjalankan fungsi muhasabah lil hukam—mengoreksi penguasa—sekaligus mencerdaskan umat dan memberi ruang aman bagi suara kritis generasi muda.

Sejarah Islam mencatat, generasi muda selalu menjadi motor perubahan ketika mereka dibina dalam visi ideologis yang jelas. Mush’ab bin Umair, misalnya, adalah sosok muda yang mengubah arah Madinah dengan dakwah ideologis, bukan dengan kompromi pragmatis.

Pada akhirnya, persoalan generasi bukan soal bagaimana menjauhkan mereka dari teknologi, tetapi bagaimana memastikan teknologi tidak menjauhkan mereka dari tujuan penciptaannya. Generasi bertakwa dan tangguh tidak lahir dari pagar rapuh kebijakan teknis, tetapi dari sinergi umat yang memiliki visi peradaban yang jelas.

Tanpa perubahan cara pandang dan sistem, generasi muda akan terus menjadi korban paling awal dari kerusakan zaman. Namun dengan ideologi Islam sebagai fondasi, serta kolaborasi keluarga, masyarakat, dan negara, generasi muda bukan hanya mampu bertahan—mereka akan tampil dan bangkit sebagai pelaku sejarah, mengembalikan arah hidup manusia pada tujuan penciptaannya.
Bagikan:
KOMENTAR