Narkoba Merajalela, Sistem Islam Memberikan Efek


author photo

3 Des 2025 - 18.53 WIB



Oleh: Ferdina Kurniawati 
Aktivis Dakwah Muslimah 

Satuan Reserse Narkoba (Satresnarkoba) Polresta Balikpapan mencatat tren peningkatan kasus narkotika sepanjang Januari hingga Oktober 2025.
Berdasarkan data resmi, jumlah kasus yang diungkap mencapai 286 kasus, naik dibandingkan periode yang sama tahun 2024 yang tercatat 281 kasus.
Kasat Resnarkoba Polresta Balikpapan AKP Yoshimata JS Manggala menjelaskan, peningkatan tersebut menunjukkan bahwa peredaran narkoba di wilayah hukum Balikpapan masih menjadi ancaman serius.
“Dibanding tahun sebelumnya, jumlah kasus naik lima perkara. Namun yang lebih signifikan adalah lonjakan jumlah barang bukti yang berhasil diamankan, terutama sabu,” ungkap Yoshimata ketika konfrensi pers di lobby Mako Polresta Balikpapan, Kamis (06/11/2025).
Dari data yang diterima, total barang bukti sabu yang disita sepanjang Januari–Oktober 2025 mencapai 2.667,46 gram, meningkat drastis dibanding tahun 2024 yang hanya 1.124,67 gram.
Sementara ganja justru menurun dari 26,72 gram di tahun 2024 menjadi 24,61 gram di tahun 2025, dan obat keras juga mengalami penurunan tajam dari 13.702 butir menjadi 1.037 butir.
Sebenarnya pemerintah melalui Polri dan lembaga terkait seperti BNN, dan intelijen sudah melakukan upaya pencegahan agar narkoba tidak beredar luas. Namun, realitasnya peredaran narkoba terus meluas bahkan menyasar anak-anak. Banyaknya anak yang terlibat kasus narkoba menunjukkan bahwa ini bukan sekadar persoalan hukum atau lemahnya ketakwaan individu, tetapi merupakan kegagalan sistemis dalam upaya melindungi generasi muda dari jeratan narkoba.
Kegagalan itu disebabkan banyak faktor. Di antaranya, pertama, dalam sistem kapitalisme, narkoba dianggap sebagai barang ekonomi, bukan barang haram. Narkoba menjadi bisnis yang menggiurkan. Sebagaimana prinsip penawaran dan permintaan, ketika permintaan barang meningkat, pengadaan stok barang akan meningkat pula.
Alhasil, bisnis haram narkoba pun tumbuh subur karena prinsip ekonomi yang menghalalkan segala cara demi keuntungan materi. Transaksi gelap narkoba akan terus berlangsung selama permintaan terhadap narkoba meningkat. Peningkatan ini akan selalu berkorelasi dengan jumlah pengguna, pengedar, kurir, dan bandar narkoba.
Kedua, sistem pendidikan sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan telah mencabut nilai-nilai agama dari peserta didik sehingga melahirkan generasi hedonistik dan lemah ketakwaan. Fokus pendidikan hanya pada pencapaian nilai-nilai akademik, tetapi abai pada pembinaan kepribadian peserta didik. Hasilnya, kepribadian mulia warga negara tidak terbentuk sehingga mudah terjerumus tindak maksiat, termasuk narkoba.
Sistem pendidikan sekuler berdampak pada kehidupan sekuler yang tujuan hidupnya hanya berporos pada kebahagiaan materi. Ketika ingin meraih kesenangan dan kebahagiaan materi, segala cara dilakukan demi tujuan tersebut meski dengan cara haram. Di sisi lain, gaya hidup liberal membuat seseorang merasa bebas melakukan apa saja, termasuk mencari materi dan kesenangan melalui jalan yang salah dengan menjadi pengguna, pengedar, kurir, bahkan produsen barang haram semisal narkoba.
Ketiga, kemiskinan struktural mendorong seseorang untuk mengambil jalan pintas dengan iming-iming uang yang besar, seperti yang sering ditawarkan oleh bandar narkoba. Terlebih menjadi kurir narkoba memang sangat menggiurkan, puluhan juta dijanjikan hanya untuk sekali antar.
Tidak aneh jika setiap tahun banyak bermunculan wajah baru pecandu dan pengedar narkoba. Ini bisa kita saksikan dari para pelaku kejahatan narkoba yang berasal dari berbagai kalangan, mulai dari rakyat hingga pejabat, ibu rumah tangga, pelajar, remaja, artis, selebgram, hingga aparat. Anak-anak yang seharusnya menjadi generasi pembangun peradaban mulia, justru hancur dalam pelukan narkoba. Ini jelas berbahaya!
Negara Hanya Regulator
Misi Asta Cita yang salah satunya adalah pencegahan dan pemberantasan narkoba nyatanya belum bisa terwujud. Ini karena negara dalam sistem kapitalisme hanya berperan sebagai regulator. Kebijakan yang dibuat hanya bersifat administratif dan reaktif daripada menyolusi atau mencegah.
Sebagai contoh, Kepala BNN menyatakan semua pengguna narkoba tidak akan ditangkap dan diproses hukum, melainkan dibawa ke tempat rehabilitasi dengan alasan pengguna narkoba hanya korban dari bandar. Rehabilitasi ini diatur dalam UU 35/2009 tentang Narkotika. Pasal 54 menyebutkan, ”Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial.”
Jika pelaku kejahatan narkoba adalah anak di bawah umur, Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) lebih mengedepankan unsur diversi atau pengalihan hukuman pemidanaan pada tingkat pemeriksaan, penuntutan, hingga peradilan bagi si tersangka. Artinya bila tersangka kasus narkoba merupakan anak di bawah umur, dimungkinkan ia akan mendapat sanksi yang berbeda karena berlaku UU SPPA terhadapnya.
Dalam hukum sekuler, anak atau anak di bawah umur adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Definisi ini terkadang menjadi tameng bagi remaja pelaku kriminal dan orang tuanya untuk melindungi anak mereka yang melakukan kejahatan. Ini akan menyebabkan remaja kurang bertanggung jawab terhadap tindakannya, padahal secara usia sudah akil balig.
Di sisi lain, penjara sebagai tempat pelaksanaan hukuman sering kali menjadi ladang baru peredaran narkoba. Tidak jarang oknum aparat terlibat dalam jaringan narkoba. Jika peraturannya saja begini, perang melawan narkoba hanya akan menjadi slogan kosong tanpa arti.
Persoalan narkoba tidak akan tuntas selama negara masih memandang urusan rakyat sebatas bidang yang diatur, bukan dijaga dan diurus secara menyeluruh berdasarkan hukum yang menjanjikan perlindungan. Semua ini menunjukkan bahwa akar persoalan narkoba bukan sekadar lemahnya penegakan hukum, tetapi juga gagalnya sistem sekuler dalam menjaga moral dan melindungi akal manusia sebagai fitrah yang seharusnya dijaga.

Khilafah Melindungi Rakyat dari Jeratan Narkoba
Para ulama sepakat keharaman mengonsumsi narkoba. Rasulullah saw. bersabda, “Setiap yang memabukkan itu khamar dan setiap khamar itu haram.” (HR Muslim). Ibnu Taimiyah berkata, “Narkoba sama halnya dengan zat yang memabukkan, diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama. Bahkan, setiap zat yang dapat menghilangkan akal, haram untuk dikonsumsi walau tidak memabukkan.” (Majmu’ Al Fatawa, 34: 204).
Oleh karena itu dalam pandangan Islam narkoba bukan barang yang bernilai sehingga tidak boleh diperjualbelikan. Segala bentuk aktivitas yang berkaitan dengan narkoba, baik mengonsumsi, memperdagangkan, maupun memfasilitasi peredarannya dihukumi haram.
Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Rasulullah saw. melaknat tentang khamar sepuluh golongan: yang memerasnya, yang minta diperaskannya, yang meminumnya, yang mengantarkannya, yang minta diantarinya, yang menuangkannya, yang menjualnya, yang makan harganya, yang membelinya, dan yang minta dibelikannya.” (HR. Tirmidzi juz 2, hlm. 380, no. 1313).
Islam mewajibkan negara Khilafah(Sistem Islam) untuk membangun ketakwaan komunal dengan menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Sistem pendidikan Islam akan membentuk pola pikir dan pola sikap yang sesuai dengan syariat Islam sehingga akan terwujud ketakwaan dan kesadaran untuk taat kepada Allah Swt. Dengan ketakwaan inilah individu akan menjauhi segala hal yang dilarang dalam Islam, termasuk narkoba.
Khilafah memiliki tanggung jawab penuh melindungi generasi dengan menjaga akal dari bahaya narkoba melalui pencegahan total terhadap produksi, distribusi, dan konsumsi barang haram tersebut. Tidak ada toleransi bagi siapa pun yang terlibat, bahkan jika pelakunya adalah aparat negara. Khilafah akan menegakkan sanksi hukum Islam bagi para pelanggar dan pelaku kejahatan tanpa pandang bulu. Rasulullah saw bersabda, “Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Islam memang mengakui adanya rehabilitasi bagi pengguna narkoba, tetapi bukan berarti para pengguna bebas dari sanksi pidana. Negara akan menerapkan sanksi kepada pemakai, penjual, pengedar, dan semua pihak yang terlibat dengan kejahatan narkoba berupa hukum Islam yang memberikan efek jera bagi pelaku. Pemakai dan pelaku yang sudah balig, meski belum berusia 18 tahun, akan dikenai takzir sesuai kadar kejahatannya dengan tujuan memberi efek jera bagi pelaku, menghapus dosanya, hingga menjaga kesucian masyarakat dari kemaksiatan.
Takzir adalah sanksi-sanksi atas berbagai macam kemaksiatan yang kadar sanksinya tidak ditetapkan oleh Asy-Syari’ dan menyerahkan sepenuhnya hak penetapan kadar sanksi kemaksiatan tersebut kepada kadi. Atas dasar ini, kadi akan mempertimbangkan kemaksiatan tersebut dengan sifatnya sebagai wakil Khalifah dalam masalah peradilan. Ini berarti, sesungguhnya Asy-Syari‘ telah menyerahkan hal itu kepada khalifah dan lebih utama lagitelah menyerahkan urusan tersebut kepada kadi (Syekh Abdurrahman al-Maliki, Nizham al-Uqubat wa Ahkam al-Bayyinat hlm. 230).

Sanksi Islam bagi yang Terlibat Narkoba
Syekh Abdurrahman al-Maliki dalam Nizham al-Uqubat wa Ahkam al-Bayyinat hlm. 272 menjelaskan garis besar sanksi bagi produsen, pengedar, dan pembeli barang haram seperti narkotika.
Pertama, setiap orang yang memperdagangkan narkotika, semisal ganja (hashis), heroin, dan sejenisnya dianggap sebagai tindak kejahatan. Pelakunya akan dikenakan sanksi jilid dan penjara sampai 15 tahun, ditambah denda yang akan ditetapkan oleh kadi.
Kedua, setiap orang yang menjual, membeli, meracik, mengedarkan, dan menyimpan narkotika akan dikenakan sanksi jilid dan dipenjara sampai 5 tahun, ditambah dengan denda yang nilainya ringan.
Ketiga, setiap orang yang menjual anggur, gandum, atau apa pun yang darinya bisa dibuat khamar, sedangkan ia tahu bahwa bahan-bahan tersebut digunakan untuk membuat khamar, baik menjualnya secara langsung atau dengan perantara, ia akan dikenakan sanksi jilid dan penjara mulai dari 6 bulan hingga 3 tahun. Dalam hal ini dikecualikan bagi warga negara Khilafah yang nonmuslim yang memang dalam agamanya dibolehkan mengonsumsi narkotika.
Keempat, setiap orang yang membuka tempat tersembunyi (terselubung) atau terang-terangan untuk memperdagangkan narkotika (obat bius) maka ia akan dikenakan sanksi jilid dan penjara hingga 15 tahun.
Kelima, setiap orang yang membuka tempat untuk menjual barang-barang yang memabukkan, baik dengan cara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, akan dikenakan sanksi jilid dan penjara sampai lima tahun lamanya.
Keenam, tidak diterima pernyataan pembelaan (perkataan) orang yang menyatakan bahwa ia menjual khamar untuk pengobatan, kecuali jika dibuat dengan cara pembuatan medis dan menjualnya layaknya apoteker dan lain-lain. Namun, jika ia bisa membuktikan bahwa ia menjualnya untuk pengobatan, buktinya didengarkan.
Dalam aspek ekonomi, Khilafah akan menjamin kesejahteraan setiap individu dengan mekanisme distribusi yang adil. Dengan jaminan ini, tidak ada alasan ekonomi yang mendorong seseorang terjerumus dalam peredaran atau penyalahgunaan narkoba.
Para pejabat dan penegak hukum dalam sistem Islam adalah pribadi yang amanah dan sadar bahwa jabatan adalah amanah besar yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dengan penerapan hukum Islam secara kafah di bawah naungan Khilafah, generasi dan masyarakat tidak hanya terlindungi dari bahaya narkoba secara fisik, tetapi juga dibentengi dengan ketakwaan, sistem ekonomi yang adil, dan kepemimpinan yang amanah.
Semua ini menjadikan generasi hidup bersih, bermartabat, dan selamat dari kehancuran moral yang kini banyak menimpa dunia di bawah sistem kapitalisme. Oleh karena itu, memberantas narkoba harus dimulai dengan menghilangkan paradigma sekuler kapitalisme yang menjadi akar masalahnya, dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh.
Wallahu'alam
Bagikan:
KOMENTAR