Oleh: Fina Siliyya, S.TPn.
Bencana alam yang melanda Aceh dan beberapa wilayah di Sumatra membawa dampak serius terhadap dunia pendidikan. Ribuan sekolah terdampak, ribuan ruang kelas rusak, dan ratusan ribu siswa kehilangan akses belajar. Banyak sekolah tidak dapat digunakan karena kerusakan parah, akses jalan terputus, atau dialihfungsikan menjadi tempat pengungsian, sehingga kegiatan belajar mengajar terhenti.
Ironisnya, kondisi ini tidak sepenuhnya sejalan dengan pernyataan pemerintah pusat yang menyebut keadaan pasca bencana dalam kondisi baik. Di lapangan, pemulihan pendidikan masih berjalan lamban. Perbaikan sekolah dan penyediaan fasilitas belajar belum menunjukkan langkah cepat, padahal pendidikan adalah kebutuhan mendasar bagi generasi yang terdampak bencana.
Lambannya pemulihan ini menimbulkan pertanyaan tentang keberpihakan negara. Hingga kini, peran aktif di lapangan justru lebih banyak dilakukan oleh lembaga kemanusiaan, NGO, dan para relawan yang mendirikan sekolah darurat serta membantu kebutuhan belajar anak-anak. Sementara itu, kehadiran negara masih belum terasa kuat dalam menjamin kelangsungan pendidikan.
Dalam pandangan Islam, pemimpin adalah pelayan dan pengurus rakyat. Negara memiliki kewajiban untuk sigap menghadapi bencana dan memastikan kebutuhan dasar rakyat terpenuhi, termasuk pendidikan. Pemulihan sekolah seharusnya dilakukan secara cepat melalui koordinasi dengan pemerintah daerah, mobilisasi tenaga pendidik, dan penyediaan sarana belajar sementara bagi siswa terdampak.
Sejarah Islam menunjukkan bahwa negara mampu bertindak cepat dalam menangani bencana dengan dukungan baitul mal untuk menjamin kehidupan dan pendidikan rakyat. Kondisi ini berbeda dengan sistem saat ini yang sering terhambat birokrasi dan pengelolaan anggaran. Nasib pendidikan Aceh–Sumatra pasca bencana seharusnya menjadi perhatian utama negara, karena menyangkut masa depan generasi yang tidak boleh dikorbankan.
