Normalisasi Perayaan Nataru, Antara Toleransi Dan Pengikisan Akidah


author photo

31 Des 2025 - 13.58 WIB




Oleh : Siti Rima Sarinah
 
Euforia bulan Desember sangat erat kaitannya dengan perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru). Perayaan Nataru merupakan perayaan umat Nasrani sebagai bagian perayaan agama mereka. Seiring berjalannya waktu, perayaan Nataru bukan hanya dilakukan oleh umat Nasrani, melainkan juga dirayakan oleh sebagian kaum muslim dengan dalil toleransi. Ide toleransi beragama bukanlah ide baru yang menjasad dalam benak kaum muslim sebagai agama terbesar di negeri ini. Ide ini terus diopinikan untuk mencegah isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan) di negeri yang plural ini.

Indonesia, memang terkenal sebagai negeri yang memiliki kemajemukan suku, agama dan ras. Sehingga pluralitas menjadi corak keragaman budaya di Indonesia yang tidak dimiliki oleh negeri yang lain. Kota hujan Bogor adalah bagian wilayah di Indonesia yang memiliki masyarakat yang plural. Untuk menjaga keberagaman SARA, mengajak masyarakat untuk merawat nilai toleransi dengan saling menghargai dan hidup berdampingan secara harmonis. Hal ini menjadi fondasi utama untuk mewujudkan kerukunan beragama di Kota hujan Bogor. Terbukti, dalam hasil Survei Indeks Kerukunan Umat Beragama (IKUB) tahun 2025, yang dilakukan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, menunjukkan tingkat toleransi antar umat beragama di Kota Bogor sangat tinggi (radarbogor, 27/12/2025)

Makna Toleransi Salah Kaprah

Tidak ada yang salah dengan toleransi, namun kita harus memaknai toleransi dengan makna yang benar. Pasalnya, makna toleransi yang saat ini menjasad kuat dalam benak masyarakat notabene beragama Islam adalah ikut merayakan perayaan Nataru sebagai bukti toleransi beragama. Kemajemukan masyarakat adalalah sebuah anugerah dalam sebuah tatanan masyarakat, namun bukan berarti masyarakat yang beragama Islam digiring untuk memaknai toleransi yang salah kaprah.

Tanpa sadar umat muslim pun telah terbiasa dengan perayaan Nataru dan menjadi bagian “ritual wajib” yang mereka lakukan di setiap bulan Desember. Ide toleransi ini semakin berkembang pesat dikarenakan negara menerapkan demokrasi yang berasakan kebebasan sebagai sistem aturan kehidupan dalam masyarakat. Sehingga, kebebasan berekspresi dengan ikut memeriahkan perayaan Nataru yang lekat dengan kembang api dan ornamen Nataru lainnya. Dampak toleransi kebablasan ini mengakibatkan perilaku kaum muslim tak ada  bedanya dengan umat Nasrani.

Pluralisme Bentuk Pengikisan Akidah

Toleransi yang terjadi pada faktanya merupakan praktik pluralisme yang bertentangan dengan syariat Islam. Sebab, pluralisme adalah sebuah paham yang menanggap semua agama adalah sama. Hal ini tentu berbahaya bagi kaum muslim, karena Islam memiliki seperangkat aturan mana yang boleh dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan. Merayakan perayaan agama lain tentu bentuk penyimpangan terhadap syariat Islam. Sehingga haram hukumnya bagi kaum muslim untuk ikut berpartisipasi dalam perayaan agama lain dalam bentuk apapun.

Allah swt telah menegaskan hal ini dalam firmannya yang artinya”Barang siapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima agama itu darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS Ali Imran :85). Hal senada juga disampikan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya,”Bukan termasuk golongan kamis siapa saja yang menyerupai selain kami”(HR Tirmidzi)

Seharusnya kaum muslim bukan hanya dihimbau untuk tidak ikut-ikutan dalam perayaan Nataru yang bukan perayaan agam Islam. Tetapi negara pun wajib menjaga akidah umat Islam dari berbagai hal yang mengantarkan pada pengikisan akidah dan menjauhkan kaum muslim dari pluralisme sebagai paham yang menyesatkan. Inilah makna toleransi yang salah kaprah yang difasilitasi oleh sistem demokrasi atas nama kebebasan. Maka kita perlu meluruskan kembali makna toleransi yang benar yaitu sikap menghargai, menghormat dan tidak mengganggu ibdaha atau perayaan agama lain yang menjadi keyakinan mereka. Bukan malah menormalisasi perayaan Nataru sebagai bentuk toleransi adalah sebuah paradigma berfikir yang salah dan membahayakan akidah umat Islam.

Isu SARA Muncul Buah Kesalahan Sistem

Demokrasi dengan ide toleransi beragama digadang-gadang sebagi solusipamungkas menyelesaikan konflik SARA yang terjadi. Padahal jelas, kemunculan konflik muncul diakibatkan penerapan sistem demokrasi yang menjadi pemicunya. Karena,dalam sejarah Islam telah terbukti mampu mewujudkan kerukunan umat beragama beratus-ratus bahkan berabad-abad lamanya.

Rasulullah saw mampu mewujudkan kehidupan harmonis antara kaum muslim dan non muslim berdampingan aman dan sejahtera. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penerapan sistem yang benar konflik SARA tidak akan pernah terjadi. Karena Islam memiliki kesempurnaan aturan yang bukan hanya mengatur urusan kaum muslim saja, melainkan juga mengatur urusan non muslim yang tidak diatur dalam agama mereka. Sedangkan untuk urusan ibadah dan berbagai perayaan agama, mereka diberikan hak untuk merayakan dilingkungan tempat tinggal mereka sendiri atau pun di rumah ibadah agama mereka.

Dengan aturan demikian maka tidak akan pernah konflik SARA terjadi, karena sikap saling menghargai, menghormati dan membiarkan agama lain menunaikan ibadah atau perayaan agama sesuai kepercayaan mereka. Inilah makna toleransi yang sebenarnya dan seharusnya terwujud dalam sistem aturan kehidupan kita hari ini. Agar ketenangan dan kenyamanan dalam kemajemukan masyarakat yang plural bukan menjadi benih perpecahan melainkan untuk persatuan, tentu dengan batas yang tidak melanggar prinsip akidah kaum muslim.
 
 
Bagikan:
KOMENTAR