Potensi Generasi Muda Hingga Peran strategis Ibu yang Dirampas dalam Sistem Kapitalisme-Sekuler


author photo

25 Des 2025 - 22.39 WIB



(Oleh : Juliana Najma, Pegiat Literasi)

Bicara soal pemuda adalah berbicara soal titik paling kritis dalam rentang usia manusia. Dia menjadi kekuatan diantara dua kelemahan— yakni masa anak-anak dan masa tua. Pemuda menjadi fase dimana seluruh potensi manusia sedang berada pada kondisi terbaiknya.

Ini mengapa pemuda disebut game changer bagi peradaban. Dalam sejarah Islam, pemuda Muslim memiliki peran vital sebagai penerus generasi, penggerak ilmu dan teknologi, pembawa akhlak mulia, pelopor perubahan sosial, dan pemimpin masa depan. Berbagai peristiwa besar di Indonesia maupun dunia diprakarsai oleh para pemuda.

Keberadaan pemuda sebagai generasi penerus tentu tidak bisa dipisahkan dari peran seorang ibu —posisi mulia yang sangat prestisius, demi menyempurnakan jalan hidup sebagai hamba Allah Ta’ala. Peran ini sangat strategis bagi lahirnya generasi tangguh bermental pemimpin. Generasi yang akan melanjutkan proyek pembangunan peradaban Islam mulia. Ketika suatu bangsa atau negara ingin mengambil posisi sebagai pemimpin peradaban dunia, ia harus memberi perhatian besar dan serius terhadap peran seorang ibu.

Saat ini, keduanya —peran generasi muda Muslim dan peran strategis ibu dalam keluarga Muslim, telah digerus dan dibajak oleh pihak yang berkepentingan melalui sekulerisasi. Sekulerisasi merupakan upaya untuk membawa kehidupan ke arah yang tidak didasarkan pada ajaran agama. Ini adalah serangan halus yang sering tidak disadari oleh kaum Muslim. Namun tujuannya jelas : membentuk umat yang menempatkan nilai duniawi di atas nilai agama. 


Generasi yang Dilemahkan dalam Belenggu Sekulerisme 

Geliat kebangkitan umat agaknya menjadi mimpi buruk yang tak pernah ingin dilihat oleh Barat —yang notabene membenci tegaknya Islam. Mereka tidak ingin generasi muslim paham hakikat kebangkitan dan cara meraihnya. Melalui culture strike atau serangan budaya, Barat telah mengampanyekan 7F: food, fun, fashion, film, free thinking, free sex, dan friction. Serangan ini hampir seluruhnya dibungkus dalam kesenangan dan hiburan. Setiap hari dikonsumsi dan dinikmati generasi muda hingga perlahan-lahan menggerus identitasnya sebagai hamba Allah dan pelopor perubahan.

Ajaran agama dianggap kuno dan tidak relevan. Pandangan generasi muda muslim telah berkiblat ke peradaban Barat. Ini tampak jelas dari sikap permisif terhadap gaya hidup yang serba bebas, normalisasi terhadap pelanggaran syariat, munculnya kompromistis —ketika generasi membebek pada semua pemikiran, standar, dan arah peradaban Barat. Bahkan para pemuda dijadikan sebagai penentang penerapan Islam . Mereka juga sangat “toleran“ hingga menoleransi kekufuran dan kemaksiatan atas nama kebebasan individu dan menghormati perbedaan.

Dunia digital juga menjadi tantangan lain bagi generasi muda yang diharapkan menjadi penggerak perubahan. Mayoritas pemuda Muslim saat ini terjebak dalam realitas dunia buatan yang menawan sekaligus menyesatkan. Di bawah hegemoni sistem batil —kapitalisme, digitalisasi tidak hanya bertujuan meraup margin bisnis dengan mendorong konsumsi tak terbatas atas perhatian dan waktu manusia. Tetapi juga menyebarkan ideologi kufur yang menjauhkan umat dari pemikiran Islam.

Padahal dengan segala potensi yang dimilikinya, pemuda dapat menjadi generasi penggerak, penakluk, dan penentu arah peradaban. Penerapan sistem batil kapitalisme-sekuler lah yang telah membajak semua potensi itu, mencabut identitas mereka sebagai hamba Allah Ta’ala dan Khalifah di muka bumi. Lalu menginstal program-program pemikiran sekuler-liberal di benak generasi. Sungguh mereka tidak lemah, namun dilemahkan secara sistemik.


Saat Ibu Menjadi Tumbal Ketamakan para Kapital

Sementara para generasi muda Muslim dirusak oleh sistem Kapitalisme-sekuler dengan berbagai tsaqofah asing. Kondisi kaum ibu tak kalah memprihatinkan, terlihat dari degradasi peran mereka sebagai ummun wa rabbatul bayt dan pendidik generasi, bahkan mereka menjadi pihak yang ditumbalkan demi menggerakkan roda bisnis para elit kapital.

Dalam Islam ibu adalah benteng pertama yang menentukan arah umat, dari rumah tangga hingga peran publik, membangun masyarakat yang beradab dan beriman kuat. Menjadi Ibu bukan sekadar peran domestik biasa. Peran strategis ibu dalam peradaban Islam sangat fundamental sebagai pendidik pertama (ummu madrasatul ūlā) yang menanamkan nilai iman dan akhlak. Keteladanan ibu akan membentuk karakter generasi penerus. 

Namun hari ini peran mulia tersebut telah dikerdilkan demi mencapai tujuan bisnis para pemilik modal. Sistem kapitalisme menjadikan semua objek —termasuk perempuan, sebagai aset yang harus diberdayakan secara ekonomi. Bagi para elite kapital peran ibu dianggap beban jika tidak mampu menghasilkan uang. 
 
Sementara corak kehidupan sekuler yang berjalan di negeri ini, telah melemahkan pemahaman masyarakat tentang standar perbuatan halal-haram dalam Islam, serta menggeser makna kebahagiaan hidupnya. Dari tujuan utama meraih rida Allah, bergeser menjadi bahagia ala kapitalisme-sekuler yang hanya diukur berdasarkan materi dan kesenangan duniawi belaka. Walhasil, banyak orang yang tidak bahagia ketika hidupnya belum memenuhi standar kekayaan tertentu dalam sistem kapitalisme-sekuler.

Akibatnya para ibu ikut terjun untuk bekerja di luar rumah dan cenderung abai pada tugas utamanya sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. Anak-anak pun dititipkan pada ART, ke lembaga penitipan anak, atau pada neneknya. Akibatnya anak sulit dekat dengan orang tua. Dampaknya kemudian : munculnya berbagai masalah perilaku dan gangguan perkembangan emosional anak. Secara bersamaan situasi ini, membuat para ibu rentan mengalami stres dan kelelahan berlebihan ketika tidak bisa memenuhi tuntutan karir dan rumah tangga secara maksimal.

Kondisi tersebut diperparah oleh tingginya beban ekonomi dan tekanan hidup. Akibat dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang menciptakan jurang ketimpangan yang begitu dalam antara si kaya dan si miskin. Para pengusaha bermodal besar selalu mendapatkan kemudahan untuk menguasai kekayaan di negeri ini dan mengeksploitasinya secara brutal atas nama investasi dan pembangunan. Sementara mayoritas rakyat biasa hanya bertahan hidup dari pekerjaan kasar dan upah yang rendah.

Ironisnya, di negeri ini praktek tersebut legal karena dibenarkan oleh berbagai produk undang-undang yang diketok palu melalui mekanisme legislasi dalam sistem demokrasi yang berlaku. Walhasil, karena kemiskinan sistemik tersebut, sebagian keluarga harus merelakan para ibu bekerja bahkan menjadi TKW dan terpaksa meninggalkan anak-anak mereka. Kondisi ini tentu makin melemahkan fungsi strategis ibu sebagai pendidik dan pencetak generasi pemimpin yang tangguh.

Menyelamatkan Potensi Generasi dan Peran Strategis Ibu bagi Kebangkitan Islam 

Sudah saatnya kaum muslimah berbenah diri, mencurahkan segenap kemampuan untuk menyiapkan generasi khairu ummah yang berjuang demi Islam. Generasi muda muslim yang menyadari hakikat kebangkitan sejati akan menjadi kekuatan luar biasa bagi kemajuan umat Islam. Generasi muslim yang paham akan agamanya, lurus akidahnya, sekaligus terikat dengan syariat, merupakan aset berharga yang akan mengantarkan Islam kembali pada kejayaannya. 

Di tengah gempuran sistem Kapitalisme-Sekuler yang diadopsi oleh negera ini. Para ibu harus membekali diri setidaknya dengan dua Kekuatan. Kekuatan ini juga harus ditransfer kepada generasi muda yang saat ini menghadapi era ketidakpastian dan krisis multidimensi.

Pertama, kesadaran yang utuh bahwa rahmat Allah Ta’ala itu teramat luas dan keyakinan akan pertolongan Allah seharusnya menjadi pusat kesadaran para ibu dan generasi muda. Inilah kekuatan iman, kekuatan paling mendasar yang harus selalu diaktivasi agar kita tidak mudah terpengaruh dengan realitas hidup yang berat dan gelap.

Kedua, kekuatan tsaqofah islamiyah yang berfungsi sebagai pengurai masalah, karena itu seseorang yang bercita-cita melakukan perubahan Masyarakat dan kebangkitan umat harus mampu memberi nyawa pada setiap tsaqafah yang dikajinya, agar tidak sekadar menjadi tumpukan tsaqafah atau perpustakaan berjalan.

Teladan para Ibu Generasi Terbaik Islam 

Sejarah mencatat kontribusi para ibu Muslim dalam mencetak generasi terbaik bagi peradaban Islam. Mereka ialah Al-Khairiyah Fatimah binti Abdul Malik, yang mendidik Umar bin Abdul Aziz kecil dengan ilmu, ketakwaan, dan anti kemewahan. Ia memilih guru terbaik —yakni Saalih bin Kaysan, yang sangat ketat mengajarkan disiplin. Ia menghindarkan Umar dari gaya hidup istana yang berlebihan, menumbuhkan rasa takut hanya kepada Allah dan cinta keadilan. Inilah yang membuat Umar tumbuh sebagai pemimpin sangat adil dan zuhud.

Umar bin Abdul Aziz kemudian menjadi khalifah yang sangat adil, sering disamakan dengan kakeknya, Umar bin Khattab. Di masa kepemimpinannya yang singkat, kurang dari 3 tahun, Umar telah menghapus kemiskinan, hingga tak dijumpai mustahik zakat di negerinya. Kesejahteraan dan kemaslahatan umat menjadi prioritas dalam kepemimpinannya.

Ada pula seorang ibu yang sangat cerdas, kuat, punya pengaruh politik luas, dermawan dan dekat dengan para ulama yaitu Al-Khizran binti ‘Atā’ atau Al-Khayzurān —ibunda Harun Al-Rasyid. Ia membentuk karakter kuat dalam diri anaknya. Ia mendatangkan pengajar sastra, fikih, militer, dan strategi pemerintahan, bahkan mengajarkan adab, bagi puteranya. Harun Al-Rasyid tumbuh menghormati ilmu dan orang salih. Ia dikenal sebagai khalifah yang menangis saat mendengarkan nasihat ulama.

Sejak kecil, Harun hadir dalam majelis ayahnya, mengamati cara memimpin dan bertanggung jawab serta kedisiplinan ibadah, sehingga Harun tumbuh sebagai pemimpin yang taat, terbiasa salat malam, hafal hadits, dan sangat takut kepada Allah.

Ibunya mengajari keberanian dan ketegasan, sehingga kelak Harun Al-Rasyid menjadi simbol kejayaan Abbasiyah. Di masa kepemimpinannya, Daulah Abbasiyah mencapai puncak kejayaan (Golden Age), baik ekonomi, ilmu, maupun stabilitas politik.

Peran Jamaah Dakwah Islam Kaffah 

kehadiran jamaah dakwah Islam ideologis menjadi sangat urgen untuk membina ibu dan generasi muda agar memiliki kepribadian Islam dan siap memperjuangkan kebangkitan Islam.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam Qur'an Surat Al-Imran Ayat 104, yang artinya "dan hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung."

Sebagaimana yang diteladankan oleh Rasulullah ﷺ, jamaah dakwah ini membina umat —termasuk ibu dan generasi muda, dengan Islam ideologis, menyiapkan mereka menjadi pelopor peradaban yang membela dan mengemban Islam kaffah.
Bagikan:
KOMENTAR