Oleh Farida, ST (Pemerhati Sosial, SDAE dan Lingkungan)
Kasus pembunuhan seorang ibu berinisial IF (42) di Medan yang diduga dilakukan oleh putri bungsunya sendiri, AI (12), menjadi peristiwa yang mengguncang nurani publik. Setelah melalui pemeriksaan panjang yang melibatkan berbagai ahli, kepolisian akhirnya mengungkap kronologi tragis tersebut. Fakta demi fakta membuka tabir bahwa tragedi ini bukan peristiwa spontan, melainkan akumulasi luka, kekerasan, dan dendam yang dipendam seorang anak dalam diam.
Menurut keterangan resmi kepolisian, AI tumbuh dalam lingkungan rumah yang penuh ketegangan. Ia dan kakaknya kerap mengalami kekerasan fisik dan verbal dari sang ibu, mulai dari dipukul menggunakan sapu dan ikat pinggang hingga ancaman dengan pisau. Ayah yang tidak lagi harmonis dengan istrinya memilih berjarak secara emosional dan fisik, tinggal di rumah yang sama namun terpisah ruang dan peran. Rumah yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi anak justru berubah menjadi ruang yang menakutkan.
Puncak konflik terjadi saat sang ibu menghapus gim dan tontonan kesukaan AI. Luka lama yang terpendam, ditambah inspirasi dari tontonan dan permainan digital bernuansa kekerasan, membentuk keberanian semu pada diri anak tersebut. Dendam yang tak pernah tersampaikan, emosi yang tak pernah dipeluk, akhirnya meledak dalam peristiwa yang tak pernah terbayangkan oleh siapa pun.
Tragedi ini menyadarkan kita bahwa kekerasan pada anak—baik fisik, verbal, maupun emosional—tidak pernah benar-benar hilang. Ia bisa berubah wujud menjadi trauma, kebencian, bahkan kehancuran akhlak. Inilah potret rusaknya fungsi keluarga ketika kasih sayang, keteladanan, dan pengasuhan berbasis iman tidak lagi menjadi fondasi.
⸻
Solusi Syariat Islam: Peran Parenting Orang Tua Agar Anak Tak Tumbuh dengan Dendam
Pertama, Islam menempatkan orang tua sebagai pendidik jiwa sebelum pendisiplin perilaku.
Rasulullah ﷺ tidak pernah mendidik dengan kekerasan. Islam memerintahkan orang tua untuk membina anak dengan rahmah (kasih sayang), bukan dengan amarah. Anak yang dibesarkan dengan bentakan dan ancaman akan belajar bahwa kekuatan adalah cara menyelesaikan masalah.
Kedua, larangan keras kekerasan dalam mendidik anak.
Dalam Islam, memukul bukan metode pendidikan utama. Apalagi memukul karena emosi, apalagi menggunakan ancaman senjata. Rasulullah ﷺ bersabda, “Bukanlah orang kuat itu yang pandai bergulat, tetapi yang mampu menahan amarahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Orang tua wajib mengelola emosinya sebelum menuntut anak mengelola emosinya.
Ketiga, membangun komunikasi ruhiyah dan emosional.
Islam mengajarkan dialog, nasihat lembut, dan pendekatan hati. Anak perlu didengar, bukan hanya diperintah. Ketika anak merasa aman untuk bercerita, dendam tidak akan tumbuh. Sebaliknya, dendam lahir dari perasaan tak dianggap dan tak dicintai.
Keempat, pengawasan konten dan lingkungan sebagai kewajiban syar’i.
Orang tua bertanggung jawab penuh atas apa yang dikonsumsi anak—baik tontonan, gim, maupun pergaulan. Dalam Islam, menjaga akal dan jiwa adalah kewajiban. Membiarkan anak menyerap konten brutal tanpa filter sama saja menyerahkan jiwanya pada kerusakan.
Kelima, peran ayah sebagai qawwam tidak boleh absen.
Ayah bukan sekadar pencari nafkah, tetapi pelindung, penengah, dan penentu arah keluarga. Ketika ayah absen secara emosional, ibu kelelahan, anak kehilangan figur aman, dan rumah menjadi rapuh. Islam menegaskan tanggung jawab kepemimpinan ayah dalam menjaga ketenteraman rumah tangga.
Keenam, menjadikan rumah sebagai madrasah iman.
Anak yang dibiasakan mengenal Allah, takut berbuat zalim, dan memahami halal-haram sejak dini akan memiliki kontrol diri. Iman adalah benteng paling kuat yang mencegah dendam berubah menjadi tindakan destruktif.
Ketujuh, negara dan masyarakat wajib mendukung keluarga.
Islam tidak menyerahkan beban pengasuhan hanya kepada ibu dan ayah. Negara berkewajiban menciptakan sistem pendidikan, media, dan lingkungan yang bersih dari kekerasan dan kerusakan moral agar keluarga tidak berjuang sendirian.
⸻
Penutup
Tragedi di Medan ini bukan sekadar kisah kriminal, tetapi cermin keras bagi kita semua. Anak tidak dilahirkan sebagai pelaku kejahatan. Mereka dibentuk—oleh rumah, oleh luka, oleh sistem nilai yang mereka hirup setiap hari. Islam hadir bukan untuk menghakimi, tetapi untuk mencegah. Dengan parenting berbasis iman, kasih sayang, dan tanggung jawab syariat, dendam tidak akan tumbuh, dan rumah akan kembali menjadi tempat paling aman bagi anak-anak kita.
Wallahu a’lam bish-shawab.