Satu Bulan Bencana, Kehadiran Negara Masih Dipertanyakan


author photo

31 Des 2025 - 14.03 WIB




Lebih dari seratus massa yang tergabung dalam aliansi Gerakan Aceh Menggugat (GAM) menggelar aksi solidaritas di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya). Pada aksi tersebut, massa mengibarkan bendera putih sebagai bentuk solidaritas terhadap korban bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Fenomena bendera putih yang dikibarkan warga ini juga dianggap sebagai simbol desakan kepada pemerintah yang sampai saat ini belum juga menetapkan musibah ini sebagai bencana nasional. Rakyat mendorong kehadiran negara secara nyata dalam menangani dampak bencana yang dirasakan langsung oleh masyarakat.


Satu bulan pasca bencana ternyata kondisi darurat belum benar-benar pulih. Akses vital warga masih bergantung pada jembatan darurat yang rawan. Jumlah korban bencana bahkan sudah mencapai 1.138 jiwa, 163 orang masih dinyatakan hilang, ratusan ribu orang masih tinggal di pengungsian. Bahkan, muncul kembali bendera bulan bintang sebagai simbol perjuangan GAM di beberapa titik yang berpotensi melebar ketika negara dianggap absen dan lamban dalam menangani situasi dan kondisi yang menimpa rakyatnya.
Kondisi ini tentu memunculkan pertanyaan serius, mengapa pemerintah belum juga menetapkan musibah ini sebagai bencana nasional dan apakah anggaran penanganan bencana benar-benar mencukupi dan tepat sasaran?

Maka menjadi suatu hal yang wajar jika rakyat menganggap bahwa negara gagal menjamin anggaran yang benar-benar mencukupi untuk pemulihan pasca bencana. Realita di lapangan menunjukkan bahwa tidak sedikit bantuan yang diterima korban bencana justru berasal dari penggalangan dana masyarakat yang peduli pada kondisi saudaranya. 

Kelemahan implementasi UU Kebencanaan, yang seharusnya menjamin respon cepat, terpadu, dan berkeadilan bagi korban nyatanya lemah. Negara masih belum bisa meninggalkan pola kerja reaktif. Kesiapsiagaan masih sangat minim, penyaluran bansos yang tidak tepat sasaran ditambah birokrasi yang kaku yang bisa berpotensi menghambat kinerja.

Dalam sistem Kapitalisme, pengambilan kebijakan sering didasarkan pada kalkulasi ekonomi dan efisiensi anggaran. Padahal, di tengah bencana darurat, yang dibutuhkan rakyat adalah aksi yang cepat dan sesegera mungkin agar penderitaan yang mereka alami bisa segera selesai. Jika efisiensi anggaran yang jadi hambatan pemerintah untuk bergerak tanggap, maka justru potensi meningkatnya kemiskinan dan kelaparan akibat bencana akan terjadi.

Sistem Demokrasi-Kapitalisme jelas memungkinkan lahirnya penguasa yang abai terhadap urusan rakyatnya. Mereka menjadikan kekuasaan bukan sebagai jalan untuk mensejahterakan rakyat tapi justru membuat sengsara. Kepentingan pribadi dan kelompok menjadi yang utama. Rakyat akhirnya yang harus berkorban dan menanggung akibat dari kerusakan yang mereka timbulkan.

Dalam Islam, pemimpin adalah raa’in (pengurus) yang wajib memastikan keselamatan rakyat secara menyeluruh. Dia yang harusnya menjadi perisai terdepan membela kepentingan rakyat. Ketika rakyatnya dilanda bencana atau musibah, dia rela mengorbankan kepentingan pribadinya dan terjun langsung menyelesaikan permasalahan mereka.

Penanganan bencana seharusnya dilakukan cepat, terpusat, dan terkoordinasi karena setiap keterlambatan dipandang sebagai kelalaian amanah yang akan dipertanggungjawabkan. Negara wajib bertanggung jawab penuh, tanpa kompromi kepentingan ekonomi dari pihak manapun.

Islam mewajibkan negara menjamin kebutuhan dasar korban bencana—makanan, tempat tinggal, kesehatan, dan keamanan—tanpa terikat logika untung-rugi. Bagaimana negara bisa mensejahterakan rakyat jika yang dipertimbangkan adalah keuntungan atau kerugian pribadi. Negara juga berkewajiban mencegah bencana melalui pengelolaan alam yang adil dan berkelanjutan demi kemaslahatan umat. Tentunya semua ini hanya bisa terealisasi jika aturan Islam sebagai aturan yang sempurna dijadikan acuan dalam pelaksanaan kebijakan negara.

Fauziya (Bogor)
Bagikan:
KOMENTAR