Sumatra Darurat Ekologi Kapitalis


author photo

7 Des 2025 - 14.48 WIB



Oleh: Fina Siliyya, S.TPn.

Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang bertubi-tubi di Sumatra, mencakup Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, bukanlah insiden alamiah yang dipicu curah hujan ekstrem. Musibah ini adalah akumulasi dari krisis ekologis terstruktur yang disebabkan oleh erosi daya dukung lingkungan secara masif. Parahnya dampak bencana menguak fakta bahwa kerusakan alam telah mencapai titik kritis, didorong oleh kebijakan-kebijakan yang secara sengaja melegitimasi eksploitasi. Kebijakan seperti obral izin konsesi lahan, perluasan area perkebunan sawit, serta deregulasi melalui UU Cipta Kerja dan UU Minerba, telah menjadi instrumen legalisasi kejahatan lingkungan demi kepentingan korporasi, mengabaikan keselamatan dan masa depan rakyat.

Inti permasalahan ini berakar pada sistem sekuler demokrasi kapitalisme. Sistem yang mendewakan keuntungan (profit) ini secara fundamental memandang alam sebagai sumber daya tak terbatas yang harus dieksploitasi, bukan sebagai entitas yang harus dijaga. Kondisi ini menciptakan simbiosis mutualisme yang koruptif antara penguasa dan pengusaha. Atas nama percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, kepentingan oligarki ditempatkan jauh di atas kelestarian ekosistem dan kesejahteraan publik. Rakyat menanggung beban penderitaan dan kerugian, sementara keuntungan dari penjarahan sumber daya alam dinikmati oleh segelintir elite, memperlihatkan betapa rapuhnya perlindungan lingkungan di bawah sistem yang tidak berpihak pada keadilan ekologis.

Al-Qur'an telah memberikan peringatan tegas bahwa kerusakan di daratan dan lautan adalah akibat dari ulah tangan manusia (QS Ar-Rum: 41). Bencana di Sumatra adalah panggilan moral dan spiritual untuk menghentikan kerusakan ini. Pemulihan tidak bisa dicapai hanya melalui alokasi dana darurat pasca-bencana, melainkan membutuhkan transformasi sistemik yang mengembalikan hukum Tuhan sebagai pedoman pengelolaan alam. Dengan berpegangan pada ajaran agama, menjaga lingkungan menjadi sebuah kewajiban suci dan wujud ketaatan, bukan sekadar komitmen politik yang temporer.

Satu-satunya solusi berkelanjutan adalah melalui Pemerintahan yang berlandaskan aturan Sang Pencipta, di mana negara menggunakan pedoman Ilahi untuk mengurus seluruh aspek kehidupan, termasuk konservasi dan pengelolaan sumber daya alam. Pemimpin negara, sebagai pemegang amanah, akan merumuskan cetak biru tata ruang komprehensif yang menghormati fungsi alamiah wilayah, menetapkan zona lindung, dan menghentikan eksploitasi merusak. Negara akan memprioritaskan pencegahan bencana dan keselamatan umat dari dharar (bahaya). Hanya dengan sistem yang berorientasi pada tanggung jawab Ilahi ini, kita dapat menggantikan kerusakan kapitalisme dengan perlindungan ekologis yang hakiki, meminimalisir musibah, dan menjamin keberlangsungan hidup bagi generasi mendatang.
Bagikan:
KOMENTAR