Kelahiran Manusia Agung, Hari Raya Terbesar bagi Penduduk Tarim


author photo

8 Nov 2020 - 14.21 WIB



(Oleh: Nanda Saryulis, mahasiswa tingkat empat di Universitas Al-Ahgaff)

"Girang jiwa terbang melanglang buana, seraya terbang melewati atmosfer cinta. Ribuan hati merekahkan perasaannya, menyambut bulan kelahiran sang pemilik cinta."

Kedatangan bulan Rabiulawal merupakan hadiah terbesar dari Allah SWT untuk hamba-Nya. Jutaan jiwa bergembira atas kelahiran sang junjungan alam. Dari seluruh penjuru timur dan barat menyambutnya dengan berbagai cara, sebagai bentuk implementasi cinta yang bersemayam di dalam sanubari.

Tak terkecuali salah satu kota mungil yang terletak di Republik Yaman bagian selatan, sebut saja kota Tarim. 

Di Tarim, suasana sangat berbeda saat bulan Rabiulawal tiba. Atmosfer kota ini seakan tiba-tiba berubah drastis. Malamnya yang syahdu terasa begitu hidup dengan gema majelis-majelis yang senantiasa menghidupkan kecintaan terhadap Rasulullah SAW. Para penduduknya berlomba-lomba mengungkapkan rasa cintanya terhadap Baginda Rasulullah SAW dalam berbagai bentuk dan ungkapan. Di jalan, pasar, masjid, dan setiap tempat tak luput dari selawat dan pujian kepada Baginda Rasul SAW.

Hari-hari masyarakat Tarim pada bulan yang mulia ini pun dipenuhi oleh majelis-majelis maulid, diawali dari masuknya Rabiulawal, berlanjut hingga seterusnya.

Memasuki awal malam ke 12 Rabiulawal, ribuan penduduk dari dan luar kota Tarim berkumpul di Masjid Ba'lawi untuk membacakan maulid dan bait-bait qasidah yang dilaksanakan setelah salat Isya berjamaah. Gema qasidah Hadhrami dari sang munsyid menambah syahdu hati yang tenggelam dalam samudra mahabbah. Maulid  yang dilaksanakan di masjid Ba'lawi merupakan tartib maulid tahunan yang turun-temurun dilaksanakan oleh salafuna salih, mulai dari Sayyidina Faqih Muqaddam.

Pada hari ke 12 Rabiulawal menjelang fajar, suasana kota Tarim begitu indah, bahkan tak ternilai indahnya. Menjelang fajar ketika tarkhim Tarimiyah menggema, jalanan mulai memperlihatkan ramainya aktivitas, padahal langit masih sangat gelap, cuaca musim dingin sangat menggigit hingga suhu 16 derjat celcius. Namun, hati para perindu syafaat Baginda bergerak dengan sendirinya demi satu tujuan mulia. Antusias yang sangat kuat membuat masyarakat berbondong-bondong untuk hadir melaksanakan salat Subuh berjama'ah dan kemudian pembacaan maulid yang dilaksanakan di salah satu masjid tersohor dengan menara ajaibnya, masjid Al-Muhdhar. 

Kala itu, ribuan manusia membeludak, hingga menutupi jalan dan sebagian pemukiman. Pembacaan maulid dan qasidah dari sang munsyid sembari mengalir menumbuhkan benih cinta di dalam hati, menjadi penghangat di pagi yang sejuk nan tentram tersebut. Wajah-wajah nan sakral terlihat tak bergeming, seakan disekap dan tenggelam dalam lautan kerinduan. Pembacaan maulid berakhir hingga sang mentari menampakkan wujudnya, yakni waktu isyrak. Begitulah seterusnya maulid-maulid yang dilaksanakan di masjid-masjid, ribat-ribat, lembaga dan majelis yang ada di kota Tarim, yang dilaksanakan terus-menerus setiap harinya hingga sebulan penuh.

Suasana yang seperti ini tidak pernah dijumpai di tempat-tempat lain, seperti di Indonesia, kecuali saat perayaan hari besar Idul fitri dan Idul Adha atau semacamnya. Tapi bagi masyakat Tarim khususnya, tidak ada hari raya paling besar selain hari kelahiran Rasulullah SAW. Bagi mereka, hari maulid merupakan hari yang paling agung dibandingkan hari-hari besar Islam lainnya. 

Selama sebulan penuh, hari-hari mereka habiskan untuk meraih cinta Rasulullah SAW. Hal itulah yang tergambar dari akhlak dan kehidupan keseharian mereka.

Sayyidil Habib Ali Masyhur bin Hafizd di dalam salah satu tausyiahnya saat ziarah Zanbal mingguan berkata:
أعظم العيد هو يوم الميلاد رسول الله صلى الله عليه وسلم
"Hari raya yang paling agung adalah hari lahirnya Baginda Rasulullah SAW."

Beruntunglah jiwa yang sanubarinya dipenuhi dengan cinta tersebut. Ia merupakan anugerah yang teramat mulia. Kalau kita berfikir bagaimana mungkin jutaan jiwa dapat berkumpul dengan satu tujuan cinta yang murni tanpa mengharap imbalan apapun. Bagaimana mungkin kisah 1.400 tahun yang lalu masih terjaga secara utuh kalau bukan karena satu nama "Muhammad SAW". Ialah sebenar-benarnya sang punggawa cinta. Ialah "Cahaya dari Madinah". Kala itu, cahayanya hanya menembus belasan hati. Kini, cahaya itu menembus jutaan bahkan milyaran sanubari. Dan akan terus berlanjut hingga janji sang Maha cinta menjumpai, karena cintanya masih tetap murni dan bersemi walau sudah 1.400 tahun berlalu. Sekian!
Bagikan:
KOMENTAR