Glorifikasi Pelaku Kekerasan Seksual, Sistem Rusak Merusak Akal Sehat


author photo

12 Sep 2021 - 21.29 WIB


Oleh: Fadilah Rahmi, S.Pd
(Aktivis Dakwah)

Kekerasan seksual marak terjadi di Indonesia. Kekerasan seksual juga tak memandang gender ataupun  hubungan antara pelaku dengan korban. Artinya, kekerasan seksual tidak hanya menimpa perempuan, namun juga kerap terjadi kepada laki-laki. Bahkan, tak jarang pelaku kekerasan seksual adalah orang-orang terdekat seperti keluarga, teman kerja, lingkungan sekolah dan lingkungan tempat tinggal.

Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) 2020 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan diperoleh data, tercatat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terdiri dari 421.752 kasus bersumber dari data kasus / perkara yang ditangani Pengadilan Agama, 14.719 kasus yang melibatkan lembaga mitra pengadal layanan yang tersebar di provinsi di Indonesia dan 1419 kasus dari Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR), unit yang yang sengaja diangkat oleh Komnas Perempuan untuk menerima pengaduan korban yang datang langsung juga dipanggil ke Komnas Perempuan. Dari 1419 pengaduan tersebut, 1.277 merupakan kasus berbasis gender dan tidak berdasarkan jenis kelamin 142 kasus. Data pertahanan yang meningkat pesat selama lima tahun terakhir. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat bahwa adanya peningkatan kasus kekerasan seksual di Indonesia (news.unair.ac.id)

Namun, anehnya meskipun data menunjukkan kekerasan seksual masih begitu tinggi, kekerasan seksual nampaknya tidak terlalu di tanggapi serius oleh lembaga pemerintah maupun oleh pihak-pihak tertentu.

Seperti diketahui, Saipul Jamil telah resmi bebas murni pada Kamis (2/9/2021). Kebebasan Saipul Jamil dari Lapas Cipinang, Jakarta Timur disambut dengan meriah. Karena hal tersebut, kebebasan Saipul Jamil justru menuai kontroversi. Apalagi mengingat kembali kasus asusila Saipul Jamil terhadap anak di bawah umur yang membuatnya masuk penjara (Tribunnews.com).

Selain disambut meriah, Saipul Jamil juga masih bebas wara-wiri menerima job di televisi. Netizen banyak yang mempertanyakan kemana Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) hingga membiarkan SJ tampil di televisi. Agung Suprio selaku ketua KPI menyebutkan jika dirinya dan KPI tak melarang pedangdut Saipul Jamil untuk tampil di televisi. Hal tersebut berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM), mengingat Saipul Jamil memang merupakan pencari nafkah di dunia hiburan. Ia juga menyebutkan bahwa Saipul Jamil hanya bisa menghadiri undangan sebagai narasumber untuk kepentingan edukasi bahaya predator (indozone.id)

Ini adalah alasan yang klise, bagaimana mungkin pelaku kekerasan seksual dapat memberikan edukasi tentang bahaya predator seksual sementara ia adalah pelakunya. Apakah tidak ada ahli lain yang mampu mengedukasi masyarakat hingga pelaku kekerasan seksual yang harus di tampilkan di televisi?

Di sisi lain KPI juga tengah di sorot karena terkesan membiarkan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan lembaga tersebut. Meski sudah terjadi secara berulang selama beberapa tahun, tidak ada tindakan tegas yang dilakukan terhadap para pelaku. Pelaku tidak diberi sanksi bahkan melaporkan kembali korban karena identitas pribadi mereka disebar atau dugaan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Memberikan panggung kepada pelaku kekerasan seksual untuk tampil di televisi tentu saja tidak dapat di tolerir. Memang benar semua orang memiliki kesempatan kedua untuk menjadi lebih baik, namun bukan berarti kebebasannya justru di apresiasi bak pahlawan. Hal seperti ini tentu saja dapat mengakibatkan "pemakluman" terhadap predator seksual.

Selain itu, kita tentu sering mendengar istilah bahwa tontonan dapat menjadi tuntunan. Artinya, apa yang kita lihat dan dengar melalui televisi lama kelamaan tentu akan menjadi tuntunan dalam kehidupan kita. Di sistem sekuler yang memisahkan agama dengan kehidupan, mengakibatkan banyak orang yang bingung siapa yang bisa dijadikan figur dalam berperilaku. Sehingga tak jarang mereka menjadikan publik figur atau selebriti sebagai panutan. Maka, bukan tidak mungkin jika publik figur yang tidak mendidik pun akan mereka jadikan sebagai panutan dalam berprilaku.

Sistem sekulerisme yang melahirkan kapitalisme memang hanya mementingkan keuntungan materi, tanpa memperhatikan dampak negatifnya bagi manusia. Para pemilik industri hiburan atau korporasi media hanya mementingkan bagaimana meraka mendapat keuntungan materi meskipun harus menayangkan hal-hal yang melanggar norma-norma agama dan norma sosial di masyarakat. 

Salah satu peran negara dalam Islam adalah mengatur urusan rakyatnya agar sesuai dengan syariat Islam atau menjalankan aturan negara agar sesuai dengan aturan Allah Swt. Karena itu salah satu peran negara dalam perspektif politik media Islam adalah sebagai filter informasi yang akan memfilter informasi yang tidak berfaedah bahkan cenderung merusak. Artinya, negara memiliki andil untuk memastikan tayangan televisi tidak bersifat merusak ketakwaan seseorang.

Selain itu, negara harusnya mampu memberikan rasa aman kepada masyarakat dari para predator seksual. Sayangnya hal ini tidak akan pernah terwujud dalam sistem sekuler. Sistem ini terkesan lunak terhadap para pelaku dengan memberikan hukuman yang sama sekali tidak menimbulkan efek jera.

Kekerasan seksual tetap menjadi wabah menjijikkan di negeri ini bila nilai dan sistem sekuler dipraktikkan. Sebab, dalam sistem ini mendefinisikan kekerasan seksual saja  bisa terus mengalami perubahan. Kekerasan seksual akan dianggap sebagai "kekerasan seksual" bila dilakukan atas dasar paksaan atau terjadi karena adanya ancaman. Sedangkan, bila dilakukan atas dasar suka sama suka walaupun dilakukan tanpa ikatan pernikahan maka tidak akan diberi sanksi dan akan memaklumi. Padahal perilaku seperti ini sudah masuk kedalam ranah zina yang akan mendatangkan azab Allah Swt.

Kekerasan seksual yang dilakukan beramai-ramai oleh pegawai KPI yang baru diproses setelah desakan kuat muncul dari publik serta tampilnya artis pelaku kekerasan seksual di televisi juga menegaskan bahwa lembaga ini begitu lunak memperlakukan pelaku kekerasan seksual. Berkebalikan dengan kampanye nasional anti kekerasan seksual yang sering mereka suarakan.

Pemberantasan pelaku kekerasan seksual tidak akan terjadi dalam sistem sekuler, karena sistem ini akan terus mengkampanyekan bahwa manusia memiliki HAM sehingga dianggap bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan atau bebas mengekspresikan naluri kebutuhan biologis mereka.

Terbukti dengan adanya lembaga-lembaga yang "katanya" bertugas menangani kasus kekerasan seksual, bertugas melindungi korban, serta undang-undang yang mengatur tentang kekerasan seksual, nyatanya tidak mengurangi kasus kejahatan seksual bahkan justru bertambah setiap tahunnya.

Hanya aturan Islamlah yang mampu membasmi kekerasan seksual dimulai dengan mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan, seperti tidak campur-baur (ikhtilat) kecuali ada korelasi dengan hajat atau kebutuhan yang mengharuskan adanya pertemuan seperti jual-beli, serta melarang berdua-duaan (khalwat). Islam juga memerintahkan untuk menjaga pandangan agar tidak melihat orang yang bukan mahram, serta menutup aurat serta mengajarkan bagaimana memanajemen gharizah nau' atau naluri untuk melangsungkan keturunan.

Keluarga Islam juga akan mendidik anak-anak mereka sedari kecil untuk menjaga kehormatan, tidak melihat aurat orang lain walaupun sesama jenis,  memiliki rasa malu dan selalu merasa diawasi Allah.  Dengan begitu mereka terbiasa menjaga pergaulan. Hukuman bagi predator seksual pun diatur agar menghapuskan dosa pelakunya dan menimbulkan efek jera. Bagaimana tidak jera bila ancaman perzinahan dan perkosaan bisa dikenai hukuman mati (rajam)?  Bahkan sekadar pelecehan verbal saja bisa terkena ta’zîr  penjara 6 bulan atau cambukan. Inilah sistem  perlindungan seutuhnya sebagai solusi konkrit penghapusan kekerasan seksual. Tidak hanya bagi perempuan, tetapi bagi seluruh anggota masyarakat. Serta memberikan rasa aman dimana pun kita berada.

Inilah bukti kita membutuhkan negara yang menerapkan sistem pemerintahan Islam, yang segala aturannya bersumber dari Allah Swt.
Wallahu a'lam bishawab.
Bagikan:
KOMENTAR