Lemahnya Hukum Terhadap Pelaku Kejahatan Seksual


author photo

12 Sep 2021 - 08.10 WIB



Oleh: Yulia Putbuha

Permasalahan pelecehan dan kekerasan seksual terus terjadi hingga saat ini. Korbannya pun beragam, mulai dari anak-anak hingga dewasa baik laki-laki hingga perempuan tak lepas dari sasaran korban. Latar belakang pelaku pun bermacam dari artis hingga pegawai sebuah lembaga independen Indonesia.

Tidak sedikit kasus pelecehan dan kekerasan seksual terjadi selama bertahun-tahun namun tidak ada tindakan yang jelas dari lembaga ataupun dari pihak kepolisian meskipun telah dilaporkan.

Seperti kasus yang terjadi belakangan ini, setelah kasus tersebut viral di dunia maya, pihak terkait baru memberi pernyataan bahwa pihaknya mendukung kepolisian mengusut kasus pelecehan seksual dan perundungan yang diduga dilakukan oleh tujuh pegawainya terhadap seorang pegawai KPI Pusat. (Republika.co.id, 02/09/2021)

Kekerasan seksual yang dilakukan beramai-ramai oleh pegawai KPI baru diproses setelah kasus tersebut viral dan mendapat desakan kuat dari publik. Kasus serupa lainnya yakni tentang sikap KPI terhadap artis mantan narapidana kasus sodomi, KPI baru memberi pernyataan setelah ada petisi pemboikotan terhadap sang artis. Dari kasus tersebut menegas bahwa lembaga ini begitu lunak memperlakukan pelaku kejahatan seksual.

Tidak hanya lembaga, negera pun lemah terhadap kasus kejahatan seksual. Hukuman bagi kejahatan seksual amat ringan, belum lagi dikurangi remisi yang didapat pelaku, menambah ringannya hukuman bagi pelaku kejahatan seksual. Ini benar-benar membuat masyarakat hilang kepercayaan terhadap hukum yang ada di negeri ini karena hilangnya rasa keadilan.

Diperparah lagi dengan sambutan bak pahlawan yang ditayangkan di stasiun televisi membuat bertambah geramnya masyarakat. Lalu apa gunanya penjara? Jika membuat pelaku tidak jera malah seakan mendapat apresiasi atas kejahatannya.

Begitulah ketika sistem sekularisme kapitalis yang bercokol. Sebuah hukum bisa menjadi lemah ketika berhadapan dengan popularitas dan kekuasaan. Mereka yang popular dan yang berkuasalah yang bisa mengendalikan hukum.

Sangat berbeda dengan hukum dalam Islam. Hukum Islam memberikan keadilan kepada seluruh warga negara tanpa kecuali. Indonesia sebagai negeri yang mayoritas muslim, seharusnya tegas dalam memberi hukuman terhadap pelaku kejahatan seksual. Sebab dalam Islam kejahatan seksual adalah tindakan yang keji dan hukumannya pun sangat berat.

Dalam Islam hukuman bagi pelaku kejahatan seksual jika kasusnya itu adalah pemerkosaan terhadap wanita maka pelaku akan dikenai hukuman zina, yakni dicambuk seratus kali cambukan jika pelaku belum menikah. Tetapi jika pelaku sudah menikah hukumannya adalah dirajam sampai mati.

Untuk kasus sodomi atau pencabulan sesama jenis, berbeda hukumannya. Pelaku akan dilempar dari ketinggian hingga mati. Sungguh hukuman yang benar-benar membuat siapapun jera. Jauh berbeda dengan hukuman yang ditegakan dalam sistem saat ini yang masih toleran dengan pelaku kejahatan seksual.

Penyimpangan seksual yang mengarah kepada terjadinya kejahatan seksual adalah wabah yang harus diberantas hingga ke akar, jika dibiarkan maka akan berbahaya dan bisa mengundang azab Allah Swt seperti halnya kaum sodom yang terjadi pada kaumnya Nabi Luth.

Hanya ada satu cara untuk memberantas wabah tersebut, yakni dengan cara diterapkannya sistem Islam yang nanti akan menerapkan hukum-hukum seperti cambuk, razam dan hukum-hukum Islam lainnya.

Sistem Islam juga akan memberikan rasa aman kepada masyarakat dengan aturan-aturannya yang khas seperti mencegah terjadinya kasus kejahatan seksual dengan menutup konten-konten porno dan hal apapun yang bisa membuat terjadinya kejahatan dan penyimpangan.

Jika solusi tuntas hanya ada dalam sistem Islam, mengapa masih berharap pada sistem lain? Sudah saatnya kini umat Islam kembali pada aturan yang benar yakni aturan dari Allah SWT. 
Wallahu a'lam bishowab
Bagikan:
KOMENTAR