Mengejar Pajak Hingga Ke Lubang Jarum


author photo

15 Okt 2021 - 23.23 WIB



Oleh Yulia Hastuti, SE, M,Si

Pasca kebijakan program pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang telah melewati masa darurat akhirnya perlahan masyarakat mulai berani melakukan aktivitas di luar rumah. Kasus harian positif telah menunjukkan tren menurun saat ini. Dengan begitu, ekonomi pun  kembali siap bergeliat. Namun bukannya bisa bernapas lega, seolah masyarakat kembali dibebankan dengan berbagai kebijakan pemerintah. Dari segi ekonomi, tampaknya daya beli masyarakat akan kembali tergerus, karena pemerintah berencana untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun depan.

Dikutip dari kompas.com (07/10/2021), pemerintah bersama DPR RI sepakat menaikkan tarif PPN yang sebelumnya berlaku saat ini 10 persen menjadi 11 persen pada April 2022 mendatang dan akan bertahap hingga 12 persen pada 2025. Hal ini seiring dengan disahkannya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Menurut Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, kenaikan tarif PPN di Indonesia masih lebih rendah dibanding negara lain secara global. "Secara global, tarif PPN di Indonesia lebih rendah dari rata-rata dunia sebesar 15,4 persen dan juga lebih rendah dari Filipina (12 persen), China (12 persen), Arab Saudi (15 persen), Pakistan (17 persen), dan India (18 persen)," ucap Yasonna dalam Sidang Paripurna, Kamis (7/10/2012). 

Sebelumnya, pemerintah juga berencana mengenakan pajak PPN pada komoditas barang yang sangat dibutuhkan masyarakat seperti sembako, namun batal setelah menuai kritik dari masyarakat. Tak hanya itu pemerintah tidak jadi menerapkan sistem multi tarif PPN, sehingga sistem PPN yang dipakai setelah disahkan UU HPP tetap single tarif. Sementara itu, dalam survey nasional besutan Centre for Indonesia Strategic Actions (CISA) yang bertajuk "Outlook Ekonomi Indonesia dalam Persepsi Publik" ini menyebut, ada sekitar 77,37 persen responden yang menolak rencana kenaikan tarif PPN. Survei menyasar 800 responden di 34 provinsi dengan metode simple random sampling. Terdapat beberapa alasan yang membuat publik menolak kenaikan tarif PPN yaitu, masyarakat menganggap kenaikan tarif dapat menghambat pemulihan ekonomi yang berakibat kesejahteraan, kemiskinan, dan pengangguran semakin meningkat. (Kompas.com, 13/10/2021)

Rencana pemberlakuan pajak (PPN) terhadap kebutuhan pokok (sembako), jasa pendidikan, serta jasa layanan rumah sakit, mulai dari dokter umum hingga persalinan tentu semakin memperlihatkan negara tidak mampu mengatur dan mengelola keuangan sehingga semakin membebani rakyat hingga ke lubang jarum. Setiap negara yang menganut sistem demokrasi-kapitalis dapat dipastikan membangun negerinya dengan pajak dan utang. Sementara rakyatnya harus memenuhi semua kebutuhan hidup termasuk pendidikan dan kesehatan, terpaksa membayar pajak untuk menopang roda pemerintahan. 

Harapan terwujudnya negeri tanpa pajak, hanya akan menjadi mimpi jika sistem yang dianut negara adalah sistem kapitalis. Pasalnya negara kapitalis menggantungkan hidupnya kepada pajak. Pajak menjadi andalan utama bagi pemasukan negara, yang menjadi bagian dari kebijakan fiskal. Kebijakan ini dianggap dapat membantu negara mencapai kestabilan ekonomi dan bisnis karena mampu menyesuaikan pengeluaran negara dengan pendapatan yang diterima dari pajak. Sementara pendapatan non pajak, terutama sumber daya alam (SDA) dibebaskan negara kapitalis untuk dikuasai oleh pihak swasta lokal, asing dan aseng. Negara hanya mendapatkan recehan dari pajak SDA. Realitas ini dirasa sejalan dengan yang diucapkan Intelektual Muslim Ibnu Khaldun, "Diantara tanda sebuah negara akan hancur, semakin besar dan beraneka ragamnya pajak yang dipungut dari  rakyatnya." 

Kondisi ini sangat berbeda dengan sistem yang diterapkan dalam Islam, dimana Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Dalam sistem pemerintah Islam (Khilafah), Kas Negara (Baitul Mal) memiliki sumber pemasukan negara yang tetap seperti zakat, jizyah, usyr, harta kepemilikin umum (seperti tambang, migas, dan mineral), anfal, ghanimah, fa'i, khumus, infak, sedekah, dsb. Sumber pemasukan tersebut sangat mampu mencukupi kebutuhan umat, tidak diperlukan adanya pungutan batil di luar ketentuan syariah. 

Namun adakalanya negara dibolehkan untuk menerapkan pajak (dharibah) yang diberlakukan disaat negara benar-benar dalam kondisi krisis keuangan. Pajak dalam Islam sangatlah berbeda dengan konsep dan pelaksanaan dengan sistem pajak yang diberlakukan hari ini. Pajak (dharibah) digunakan untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang diwajibkan oleh negara. Pendapatan itu pun bersifat insidental ketika kondisi kas negara kosong dan hanya dibebankan kepada orang-orang kaya saja. Ketika kas negara (Baitul Mal)  telah melewati masa krisis, maka pajak pun harus segera dihentikan. 

Hanya dalam Islam aturan yang diterapkan akan menciptakan keadilan. Pajak dalam Islam tidak akan dirasakan sebagai bentuk kezaliman yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya. Kebutuhan rakyat tetap terpenuhi dengan jaminan negara dan tidak dibebankan dengan berbagai pungutan yang kian mempersulit rakyat. Ringkasnya, tidak ada pajak dalam Islam kecuali pada kondisi yang benar-benar sulit, dan sesuai kadarnya tanpa tambahan dan tidak diambil kecuali dari zhahri ghina (orang kaya).

Oleh karena itu, seharusnya para penentu kebijakan berhati-hati terhadap peringatan Rasulullah saw. tentang pemimpin yang menyusahkan rakyatnya. Konsekuensi yang harus ditanggung tidaklah main-main karena menyangkut hasilnya di akhirat kelak yang abadi. Demokrasi kapitalisme telah membawa manusia pada kemudaratan yang nyata. Sangat jelas berbeda dengan Islam. Sistem ekonomi Islam, tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama pemasukan negara. Begitu juga dalam sistem politik Islam yang menerapkan syariat Islam kafah, umat Islam akan terhindar dari berbagai bentuk kezaliman. 

Satu-satunya solusi atas semua penderitaan rakyat dari berbagai kebijakan rezim kapitalis neoliberal adalah dengan memahamkan umat bahwa hanya sistem Islam yang layak mereka harapkan. Adapun negara mendapat amanah oleh Allah sebagai pengurus dan penjaga umat, maka negara pula yang menjamin kesejahteraan rakyat dan dapat memastikan memberi rasa keadilan bagi semua. Hal ini semakin menyadarkan kita sesuai dengan sabda Rasulullah saw: "Ya Allah, barang siapa yang mengurus urusan umatku lalu dia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia. Dan barang siapa yang mengurus urusan umatku lalu dia mengasihi mereka maka kasihilah dia." (HR. Muslim). Wallahu a'lam bishshawwab.
Bagikan:
KOMENTAR