"

Imbas Utang Membengkak, Kesengsaraan Rakyat Memuncak


author photo

1 Feb 2023 - 13.25 WIB


Oleh : Nur Miftahul Jannah Nasra
(Pemerhati Masalah Ibu dan Generasi)



Dilansir dari hariansib.com, Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini menuturkan, pemerintah mewariskan belasan ribu triliun utang kepada pemimpin yang akan datang.  Pasalnya di masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak 2014, utang pemerintah terus menerus meningkat. Data yang dipaparkan Didik, di tahun terakhir Presiden Susilo Bambang Yudhyono menjabat pada 2014 utang pemerintah tercatat Rp 2.608,78 triliun. Kini posisi terakhir utang pemerintah di November 2022 mencapai Rp 7.554,25 triliun. 
Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah sampai dengan akhir Desember 2022 mencapai Rp 7.733,99 triliun  dengan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 39,57%. (Jakarta, CNBC Indonesia).
Kondisi ini tentu sangat ironis. Bagaimanapun, utang Indonesia makin membengkak dari tahun ke tahun. Besarnya utang tersebut sesungguhnya tidak relevan dengan kekayaan alam Indonesia yang sangat melimpah. Kemana larinya semua SDA itu, jika ternyata di satu sisi utang membengkak dan angka kemiskinan turut meningkat?
Tingginya utang negara bukan semata karena menurunnya sumber pendapatan APBN atau banyaknya belanja negara. Akan tetapi, lebih disebabkan karena tata kelola ekonomi yang keliru. Yaitu bercorak Kapitalisme Neoliberal. Dimana penguasa senantiasa menjadikan utang dan pajak sebagai sektor utama pemasukan negara sedangkan sektor strategis seperti sumber kekayaan alam yang menghasilkan dana dalam jumlah besar justru dikapitalisasi para pemilik modal. 
Dengan melimpahnya sumber daya alam yang dimiliki oleh negara kita tercinta ini jika dikelola dengan benar, cukup untuk membiayai pengeluaran negara yang jumlahnya triliun rupiah. Seperti tambang emas, batubara, minyak, besi, baja, nikel dan selainnya. Jadi negara tidak perlu berutang kepada negara lain. Tetapi karena kesalahan dalam pengelolaan SDA inilah mengakibatkan dana mengalir kepada korporasi.  
Bukti yang sangat jelas dari kesalahan kelola SDA yang melimpah yaitu rakyat tetap dalam kemiskinan. Memenuhi kebutuhan pokok berupa pangan, sandang dan papan masih sulit apalagi dalam masa pandemi ini. Kebutuhan kolektif masyarakat berupa pendidikan, kesehatan dan keamanan juga sulit didapatkan. Lapangan pekerjaan tidak tersedia dengan baik. Pengelolaan SDA yang berbasis kapitalisme liberal menjadi biang kerok persoalan carut marut negeri ini. Korporasi bebas mengeruk SDA untuk mengisi pundi-pundi mereka, sementara pembiayaan negara bertumpu pada utang luar negeri. 
Sejatinya pula, utang adalah alat bunuh diri politik bagi negara yang bersangkutan. Intervensi negara pemberi utang sangat kuat dari pengadaan bahan baku, tenaga kerja, pengelolaan infrastruktur tersebut bahkan hasil dari pembangunan tersebut akan di bawah kekuasaan negara pemberi utang. 
Bukan rahasia bahwa utang luar negeri tidak akan didapat tanpa syarat-syarat tertentu. Inilah keniscayaan dalam sistem kapitalisme. Banyaknya kucuran pinjaman luar negeri sangat berpotensi mengganggu kedaulatan bangsa karena bisa memengaruhi proses legislasi di dalam negeri Indonesia. 

Pengaruh asing dalam legislasi malah bisa memaksa pemerintah Indonesia mengambil kebijakan-kebijakan tertentu yang menguntungkan bagi negara pemberi utang. Akhirnya, Indonesia menjadi negara yang tidak bisa mengambil keputusan independen. Lama kelamaan kedaulatan negara Indonesia akan benar-benar hilang. 

Sementara dalam Islam utang tidak menjadi pilihan untuk menyelesaikan berbagai masalah ekonomi negara. Pengelolaan pemasukan negara ditata dengan baik yang berasal dari kepemilikan negara (milkiyyah ad-daulah) seperti ‘usyur, fa’i, ghanimah, kharaj, jizyah dan lain sebagainya. Selain itu dapat pula diperoleh dari pemasukan kepemilikan umum (milkiyyah ‘ammah) seperti pengelolaan hasil pertambangan, minyak bumi, gas alam, kehutanan dan lainnya.

Dapat dipastikan ledakan utang tidak mungkin terjadi dalam sistem Islam. Karena negara bertanggung jawab atas optimalisasi dari harta kepemilikan umum dan negara tanpa adanya liberalisasi dalam lima aspek ekonomi, yaitu liberalisasi barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terampil. Dan juga diperoleh dari zakat maal (ternak, pertanian, perdagangan, emas dan perak). 

Harta Baitul mal juga selalu mengalir karena tidak terjerat utang ribawi. Dengan demikian, kemandirian dan kedaulatan negara dapat terjaga dan potensi penutupan kebutuhan anggaran dari utang luar negeri dapat dihindari. 

Demikianlah, hanya dalam genggaman Islam persoalan utang mampu diselesaikan dengan bijak dan tepat. Menyelesaikan persoalan utang dengan tuntas, tanpa menambah persoalan baru sebagaimana kapitalisme yang menyelesaikan utang dengan utang dan semakin menambah rumitnya persoalan. Wallahualam.
Bagikan:
KOMENTAR