Solusi Hakiki Menghentikan Kekerasan Pada Anak


author photo

15 Apr 2024 - 13.08 WIB


Oleh: Risna Sari, S.E (Pemerhati Perempuan dan Anak)

Marakya kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia tentu harus menjadi fokus perhatian berbagai elemen masyarakat. Sebagaimana disebutkan dalam laman website dataindonesia.id menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) ada 16.854 anak yang menjadi korban kekerasan pada 2023. 

Bahkan, anak korban kekerasan tersebut dapat mengalami lebih dari satu jenis kekerasan. Tercatat, ada 20.205 kejadian kekerasan yang terjadi di dalam negeri pada 2023.

Berbagai kekerasan tersebut tak hanya secara fisik, tapi juga psikis, seksual, penelantaran, perdagangan orang, hingga eksploitasi. Jenis kekerasan yang paling banyak terjadi di tanah air sepanjang tahun lalu yakni kekerasan seksual. Jumlahnya mencapai 8.838 kejadian. Lalu, jumlah kekerasan fisik terhadap anak tercatat sebanyak 4.025 kejadian. Ada pula 3.800 kekerasan psikis pada anak yang terjadi pada 2023.

Tidak dapat dipungkiri kekerasan anak merupakan persoalan genting yang seharusnya bisa ditangani. Berbagai regulasi dan solusi dilakukan oleh pemerintah namun kasus kekerasan terus meningkat.

Menurut KPAI, ada tujuh penyebab maraknya kekerasan pada anak, di antaranya budaya patriarki, penelantaran anak, pola asuh, rendahnya kontrol anak, menganggap anak sebagai aset dari orang tua, kurangnya kesadaran melaporkan anaknya tindakan kekerasan, pengaruh media dan maraknya pornografi, disiplin identik dengan kekerasan, serta merosotnya moral.

Di luar dari tujuh sebab yang dikemukakan KPAI, faktor terbesar penyebab kekerasan pada anak terjadi sesungguhnya ialah sistem sekuler yang diterapkan hari ini. Paradigma sekuler yang tidak menjadikan Islam sebagai standar dan dasar dalam mendidik, mengakibatkan anak tumbuh dengan kepribadian yang jauh dari ketakwaan. Bagaimana korelasi sekularisme dengan faktor-faktor penyebab yang dikemukakan KPAI?

Pertama, apakah budaya patriarki memberi kontribusi kekerasan pada anak? Budaya ini berpandangan bahwa perempuan dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam mengurus dan mengasuh anak. Sementara itu, peran ayah hanya dimaknai sebagai pencari nafkah sehingga alasan sibuk bekerja menjadi pembenaran bagi para ayah tidak banyak terlibat dalam pengasuhan anak.

Sejatinya, mengentalnya budaya ini di dalam masyarakat sekuler adalah akibat terkikisnya pemahaman Islam mengenai peran ayah dan ibu dalam mendidik dan mengasuh anak. Dalam penerapan sistem Islam, budaya patriarki semacam ini tidak ada. Justru keduanya menjalankan peran masing-masing sesuai ketentuan Islam secara harmonis dan seimbang.

Kedua, penelantaran, pola asuh, rendahnya kontrol anak, dan merosotnya moral. Kondisi ini sebenarnya berpulang pada paradigma orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Jika menggunakan paradigma sekuler, anak telantar terjadi karena banyak faktor, seperti kesibukan orang tua bekerja, orang tua tidak memahami tanggung jawab pengasuhan, atau perceraian. Alhasil, anak tumbuh dengan sendirinya tanpa pengawasan dan pendidikan.

Ketika keluarga tidak menerapkan pola asuh sesuai Islam, seperti penanaman akidah Islam pada anak sejak dini, maka anak akan kehilangan identitas dirinya sebagai hamba Allah yang taat. Alhasil, anak yang tidak terbentuk ketaatan pada Tuhannya cenderung permisif dan rentan berbuat maksiat.

Survei Nasional Media dan Agama yang dilakukan UIN Jakarta menyatakan bahwa milenial dan Gen Z adalah generasi yang tingkat religiositasnya paling rendah secara berurutan. Religiositas sangat erat kaitannya terhadap pemahaman agama. Ini semua terjadi karena sekularisme yang makin mengakar dalam kehidupan generasi.

Ketiga, pengaruh media dan maraknya pornografi sejatinya menjadi ranah negara dalam melakukan pencegahan. Negara seharusnya melakukan kontrol dan pengawasan terhadap konten, tayangan, tontonan, dan produksi film yang berbau pornografi atau kekerasan. Akan tetapi, sekularisme telah memandulkan peran negara dalam aspek ini. Film-film berbau maksiat dan kekerasan bebas diproduksi tanpa ketegasan. Konten atau tayangan yang tidak mendidik masih bertebaran dan mudah diakses. Tontonan pun menjadi tuntunan. Penuntun mereka dalam bertingkah laku bukan lagi Islam. Pandangan sekuler melahirkan gaya hidup dan pemikiran liberal yang menghasilkan kebebasan berekspresi dan bertingkah laku.

Keempat, perangkat hukum yang belum memberikan efek jera. Regulasi yang sudah ada, seperti UU Perlindungan Anak, faktanya belum mampu mengurangi jumlah kasus kekerasan pada anak yang terus meningkat. Artinya, negara lemah dalam menjamin dan melindungi anak dari kekerasan. Sekalipun di tiap kota/kabupaten telah diterapkan kota atau sekolah ramah anak, jika sistem sekuler masih bernaung, dampak positifnya tidak akan terlihat.

Begitu pula dengan program edukasi antikekerasan atau sejenisnya, juga tidak akan mampu mencegah kekerasan pada anak manakala paradigma sekuler masih mengakar dalam kehidupan hari ini. Sekularisme membuat orang tua lengah memberikan konsep keimanan dan ketaatan pada Allah Taala. Sekularisme membuat aktivitas amar makruf nahi mungkar hilang dalam kehidupan masyarakat. Sekularisme membuat peran negara sangat minimalis dalam melindungi anak dari berbagai kejahatan dan kekerasan.

Gerakan “Zero Kekerasan pada Anak” yang digagas juga tidak akan terwujud dengan baik selama roda kehidupan ini berparadigma sekuler. Semua pihak harus menyadari bahwa biang keladi maraknya kekerasan pada anak adalah ideologi kapitalisme beserta akidah sekularismenya.
 
 
Salah satu teladan dalam Islam yang harus kita jadikan panduan dalam hidup adalah meneladani kelembutan Rasulullah SAW. Rasulullah SAW mendorong kaum mukminin agar berlemah lembut kepada keluarga dan anak-anak. 

Rasulullah SAW bersabda:
"Jika Allah SWT menghendaki kebaikan bagi suatu keluarga, Dia menumbuhkan kelembutan pada diri mereka" (HR Abi ad-Dunya).

Banyak ayat dan hadis yang memuji sifat lemah lembut. Allah dalam firman-Nya berkata, "Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu." (QS Ali Imran:159).

Islam mengharamkan setiap bentuk kekerasan terhadap semua makhluk, apalagi terhadap sesama manusia, termasuk  anak. Islam telah menetapkan adanya sanksi tegas untuk setiap kekerasan. Sanksi ini tidak hanya berfungsi sebagai penebus (jawabir), tetapi juga pencegah (jawazir). 

Perlindungan kepada anak dalam Islam meliputi fisik, psikis, intelektual, moral, ekonomi, dan lainnya. Hal ini dijabarkan dalam bentuk memenuhi semua hak-haknya, menjamin kebutuhan sandang dan pangannya, menjaga nama baik dan martabatnya, menjaga kesehatannya, memilihkan teman bergaul yang baik, menghindarkan dari kekerasan, dan lain-lain.

Dalam Islam, terdapat tiga pihak yang berkewajiban menjaga dan menjamin kebutuhan anak-anak. Pertama, keluarga sebagai madrasah utama dan pertama. Ayah dan ibu harus bersinergi mendidik, mengasuh, mencukupi gizi anak, dan menjaga mereka dengan basis keimanan dan ketakwaan kepada Allah Taala.

Kedua, lingkungan. Dalam hal ini masyarakat berperan dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak. Masyarakat adalah pengontrol perilaku anak dari kejahatan dan kemaksiatan. Dengan penerapan sistem sosial Islam, masyarakat akan terbiasa melakukan amar makruf nahi mungkar kepada siapa pun. Budaya amar makruf inilah yang tidak ada dalam sistem sekuler kapitalisme.

Ketiga, negara sebagai peran kunci mewujudkan sistem pendidikan, sosial, dan keamanan dalam melindungi generasi. Dalam hal ini, fungsi negara adalah memberikan pemenuhan kebutuhan berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan setiap anak. Negara juga menerapkan sistem sanksi Islam. Sepanjang hukum Islam ditegakkan, kriminalitas jarang terjadi. Ini karena sanksi Islam memberi efek jera bagi pelaku sehingga tidak akan ada cerita kasus kejahatan atau kekerasan berulang terjadi.

Dengan penerapan Islam kekerasan terhadap perempuan dan anak akan teratasi. Islam akan mengkondisikan sistem kehidupan mulai dari sistem ekonomi, sosial pergaulan, pendidikan, dan hukum termasuk media agar sesuai Islam, berbuah kebaikan dan terhindar dari konten kekerasan. Demikianlah Islam sempurna menutup celah pintu kekerasan, sudah saatnya kegentingan kekerasan ini berganti dengan sikap kelembutan. Wallahu’alam
Bagikan:
KOMENTAR