Pendidikan Hak dan Kewajiban Warga, Negara Wajib Memenuhi


author photo

11 Jun 2024 - 13.23 WIB



Oleh : Ermalianti, M.Pd (Akademisi)

Mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia mengkritik dan melakukan aksi demo beberapa waktu lalu terkait kenaikan UKT (Uang Kuliah Tunggal). Kenaikan tersebut mencapai 30% - 50%. 

Terkait kenaikan UKT pemerintah pun melalui Pelaksana Tugas Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ristek merespon bahwa pendidikan tinggi merupakan tertiary adecation yaitu kebutuhan tersier, yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun, yakni dari SD, SMP hingga SMA. Kebijakan tersebut dilakukan beberapa kampus untuk menjamin pemerataan bantuan bagi mahasiswa yang kurang mampu. (Detik.com) 

Kegaduhan kenaikan UKT membuat Presiden Jokowi menunda kenaikan UKT. Jadi kenaikan UKT ditunda bukan dibatalkan. Harapan berkuliah di Perguruan Tinggi Negeri agar ekonomis dan terjangkau tetap hanya untuk kalangan yang berduit saja. Padahal tujuan memilih Perguruan Tinggi Negeri agar bisa dijangkau oleh kalangan ekonomi menengah ke bawah. 

Setidaknya Januari 2024 sudah ada 24 PT di Indonesia yang memiliki status PTN-BH. Sedangkan yang lainnya masih sedang berusaha menjadi PTN-BH. Padahal ini adalah wujud liberalisasi pendidikan tinggi yang dipandang sebagai salah satu upaya percepatan penyebaran ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui kemudahan arus perdagangan jasa pendidikan. 

Liberalisasi pendidikan di Indonesia awal mulanya berasal dari perjanjian antara Indonesia dengan organisasi World Trade Organization (WTO) dalam General Agreement on Trade in Services (GATS) yang dalam salah satu isinya menegaskan bahwa pendidikan tinggi merupakan salah satu produk jasa yang bisa diperdagangkan. Tentu saja perjanjian ini wajib dijalankan oleh negara Indonesia, karena Indonesia merupakan salah satu anggota WTO yang sudah diratifikasi melalui UU No. 7 tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Jika persetujuan tersebut tidak dijalankan, maka Indonesia dapat dikenakan konsekuensi hukum. 

Kenaikan UKT ini adalah salah satu bukti bahwa pemerintah semakin lepas tangan dalam membiayai pendidikan warganya. Ini terlihat dari kecilnya anggaran pendidikan yang hanya 20% dari APBN. Dana itu masih harus didistribusikan ke banyak pos pendidikan, salah satunya adalah Direktorat Pendidikan Tinggi Kemendikbud. Jauh dari cukup untuk membiayai 85 PTN di seluruh Indonesia. 
 
Diakui atau tidak, sistem  pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Sistem pendidikan semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh yang sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi. Terlebih kapitalisme mengharuskan pendidikan dirancang mengikuti permintaan (demand) yang saat ini lebih banyak dikendalikan para kapitalis. 

Berbeda dalam Islam pendidikan adalah hal dan kewajiban warga, negara wajib pula memenuhinya. Pendidikan dalam pandangan Islam merupakan upaya sadar, terstruktur serta sistematis untuk menyukseskan misi penciptaan manusia sebagai abdullah dan Khalifah Allah di muka bumi. Pendidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem hidup Islam, sebagai bagian integral dari sistem kehidupan Islam.

Sistem pendidikan memperoleh masukan dari supra sistem, yakni keluarga dan masyarakat atau lingkungan, dan memberikan hasil/ keluaran bagi suprasistem tersebut. Pendidikan dalam Islam bukan pilihan, apalagi kebutuhan tersier, tetapi pokok bahkan fardu. 

Islam menetapkan dua tujuan pendidikan. Pertama, mendidik setiap muslim supaya menguasai ilmu-ilmu agama yang memang wajib untuk dirinya (fardu ain), seperti ilmu akidah, fikih ibadah, dsb. Kedua, mencetak pakar dalam bidang tsaqafah/ ilmu-ilmu agama yang dibutuhkan umat, seperti ahli fikih, ahli tafsir, ahli hadis, dsb, dalam hal ini hukumnya fardu kifayah. 

Berdasarkan sirah Nabi Saw dan tarikh Daulah Khilafah sebagaimana disarikan oleh Al Baghdadi (1996) dalam buku Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, negara memberikan pelayanan pendidikan secara cuma-cuma (bebas biaya) dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana dan prasarana) sebaik mungkin. Kesejahteraan dan gaji para pendidik sangat diperhatikan. Dana pendidikan ditanggung negara yang diambil dari kas baitul maal.  

Sistem pendidikan bebas biaya dilakukan oleh para shahabat (ijma), termasuk pemberian gaji yang sangat memuaskan kepada para pengajar yang diambil dari baitul maal. Penyelesaian problem pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula secara fundamental, dan itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh yang diawali dari  perubahan paradigma pendidikan sekuler menjadi paradigma Islam. Mari terus berjuang untuk melanjutkan kehidupan Islam, hanya dengan Khilafahlah masalah pendidikan ini bisa teratasi. Wallahu a’lam.
Bagikan:
KOMENTAR