Oleh: Sri Mulyati
(Pemerhati Sosial)
Presiden Joko Widodo memberikan insentif berupa pembebasan pembayaran kompensasi terhadap pelaku usaha yang menggunakan tenaga kerja asing (TKA) di Ibu Kota Nusantara (IKN). pelaku usaha bisa mempekerjakan tenaga kerja asing untuk jangka waktu 10 tahun dan dapat diperpanjang.
(https://bisnis.tempo.co/read/1905919/tenaga-kerja-asing-diizinkan-kerja-di-ikn-10-tahun-pengamat-harus-dibatasi-terlalu-lama).
Disisi lain, kemeriahan euforia kemerdekaan di 1KN digadang gadang memakan biaya yang sangat besar. Sementara itu, warga masih menunggu ganti rugi lahan yang belum terselesaikan. Menurut kesaksian seorang warga yang tinggal di Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Sukini, Dia bahkan masih menunggu uang ganti rugi pembebasan lahan dari pemerintah atas tanah warisan suaminya yang tak seberapa besar itu. (https://www.bbc.com/indonesia/articles/czxlge0xqw2o).
Polemik diatas sebuah fakta yang terjadi ditengah memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Namun disayangkan justru penguasa membuat aturan yang tak berpihak pada rakyatnya.
Seperti PP 29 tahun 2024 adalah salah satu turunan dari UU Cipta kerja yang merugikan tenaga kerja dalam negeri dan menguntungkan pihak asing. Pemberian jangka waktu kerja selama 10 tahun dan bisa diperpanjang akan lebih banyak mudharatnya, yaitu bertambahnya pengangguran bagi WNI, masuknya budaya asing yang merusak seperti pergaulan bebas dan narkoba.
Sejalan dengan pendapat pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjudin Nur Effendi, melihat aturan penggunaan TKA tersebut terlalu longgar. Menurut Tadjudin PP ini harus direvisi dengan penambahan pasal baru.
Sebab, dia mengatakan masa kerja TKA 10 tahun dan dapat diperpanjang terlalu lama. Dalam UU Ketenagakerjaan dan peraturan turunannya, TKA hanya bisa bekerja selama 2 tahun dan diperpanjang. "Kalau di Kawasan Ekonomi Khusus itu hanya lima tahun, ini malah terlalu lama dan merugikan tenaga kerja lokal,"
Tak sampai di situ persoalan IKN mengenai sengketa atas pembebasan lahan pun belum terselesaikan. Masih banyak warga belum mendapatkan ganti rugi atas tanah miliknya. Mirisnya mereka kehilangan tempat tinggal dan sumber mata pencaharian. Dari laman DIKSI.CO, SAMARINDA - Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Timur (Kaltim) menyatakan bahwa persentase penduduk miskin Maret 2024, masih di kisaran 5,78 persen.
Apalah artinya perayaan kemerdekaan Indonesia sementara masyarakat jauh dari sejahtera. Anggaran besar demi memperingati hari kemerdekaan di IKN, seharusnya dana tersebut digunakan untuk keperluan masyarakat sebagai modal usaha dan pembayaran atas pembebasan lahan-lahan mereka yang masih tertunda.
Dengan dalih pemerataan ekonomi. Justru yang mendapatkan keuntungan bukanlah masyarakat sekitar. Sebab pemilik hotel, restoran dan tempat wisata adalah kapital. Sementara usaha penduduk lokal terpinggirkan.
Sistem sekuler kapitalisme biang keladinya. Bahwa peran besar sesungguhnya segelintir pemilik modal dibalik tegaknya kekuasaan. Dari sini terbangun oligarki kekuasaan sekaligus model pemerintahan korporatokrasi alias model pemerintahan yang diatur ala perusahaan. Tujuannya mencari keuntungan atau manfaat bukan kepentingan rakyat. Jelas ini bertentangan dengan prinsip Islam.
Dalam Islam, kemerdekaan suatu bangsa tidak dilihat dari fisiknya saja yang sudah terbebas dari penjajahan tetapi dilihat dari pemikirannya. Apakah masyarakatnya sudah sejahtera dan tidak disetir oleh bangsa lain dalam pengaturan pemerintahannya. Merdeka dari segala bentuk penjajahan sesungguhnya merupakan manifestasi dari isti’bâd (perbudakan), yaitu menjadikan manusia sebagai budak bagi manusia lainnya.
Oleh karena itu, Islam telah mengharamkan penjajahan. Allah Swt. berfirman, “Sungguh Aku adalah Allah. Tidak ada tuhan yang lain, selain Aku. Oleh karena itu, sembahlah Aku.” (QS Thaha [20]: 14). Maksudnya sebagai mahluk ciptaan-Nya tentu harus tunduk pada seluruh aturan Allah SWT dan mengaplikasikannya di semua sendi kehidupan manusia. Dan tidak mengadopsi aturan lain dalam mengatur kehidupan.
Namun kondisi rakyat saat ini sangat menderita akibat dari aturan buah pikiran manusia yang terbatas, dipengaruhi oleh hawa nafsu dan syarat dengan kepentingannya dan golongannya.
Sangat kontradiktif dengan kepemimpinan dalam sistem Islam. Syariat menetapkan Seorang khalifah adalah tugasnya mengurusi dan menjaga bagi rakyatnya. Semua kebijakan dibuat tujuan utamanya untuk kemaslahatan umat. Karena paham bahwa jabatan adalah amanah yang akan diminta pertanggungjawaban di akhirat.
Paradigma inilah yang membuat khalifah Umar ra. rela menanggung sekarung gandum di punggungnya demi memenuhi kebutuhan keluarga seorang janda yang kesejahteraannya baru diketahui terlalaikan oleh negara. Umar begitu takut jika kelalaiannya dalam mengurus urusan umat akan mendatangkan kemurkaan dari Zat Pencipta alam di akhirat kelak.
Dari sekelumit gambaran pemimpin Islam terdahulu, pasti negara akan memprioritaskan proyek pembangunan yang urgen terlebih dulu berkenaan dengan kebutuhan umat. Termasuk pemindahan IKN yang syarat akan kepentingan para pemilik modal justru ini penjajahan gaya baru.
Berharap merdeka di bawah kepemimpinan sekuler kapitalisme bagaikan mimpi. Sistem ini malah terbukti menjadi jalan melanggengkan penjajahan sekaligus menjadi akar munculnya berbagai penderitaan. Urusan umat dilalaikan dan menjadi jalan meraih keuntungan, bahkan harta kekayaan milik mereka dieksploitasi para pemilik modal secara legal.
Maka kemerdekaan hakiki dapat diraih jika suatu negeri menerapkan hukum Allah secara Kaffah, tidak mengambil hukum kufur buatan manusia.
Wallahu’alam.