Aceh Besar – Inspektur II Inspektorat Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah melakukan kunjungan ke Aceh Besar, yang diduga terkait dengan permasalahan menyelimuti pencopotan Sekretaris Daerah (Sekda) Sulaimi pada Minggu, 2 Februari 2025. Kunjungan tersebut mengindikasikan adanya pengawasan dan klarifikasi terhadap sejumlah dinamika administrasi di daerah ini, yang belakangan memicu perhatian publik.
Salah satu isu krusial yang tengah mencuat adalah ketidaksetujuan Sulaimi untuk menandatangani Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) – DPA 2025, dengan alasan bahwa ia tidak lagi menjabat sebagai Sekda Aceh Besar. Padahal, Penjabat (PJ) Bupati Aceh Besar, Iswanto, telah menunjuk Bahrul Jamil sebagai Plt Sekda. Namun, keengganan Sulaimi untuk menandatangani dokumen tersebut berimplikasi serius pada kelancaran administrasi keuangan dan distribusi anggaran di pemerintahan daerah.
Akibat ketidaktertundukkan dokumen RKA-DPA, ribuan pegawai negeri sipil (PNS) di Kabupaten Aceh Besar, baik di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) maupun DPRK, harus menunggu lebih lama untuk menerima gaji mereka, meskipun menurut ketentuan, pembayaran gaji PNS seharusnya dilakukan pada 1 Februari 2025. Keputusan yang berlarut-larut ini telah menambah ketegangan di masyarakat, memperburuk citra pemerintahan daerah, dan mengundang sorotan tajam dari berbagai pihak.
Tidak kalah penting, kebijakan PJ Bupati Aceh Besar terkait pelaksanaan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang mengatur efisiensi anggaran, juga patut dipertanyakan. Inpres tersebut menyarankan penghematan anggaran perjalanan dinas sebesar 50%, namun, pada 16 Januari 2025, PJ Bupati Aceh Besar malah menandatangani Surat Perjalanan Dinas (SPPD) untuk delegasi sebanyak 10 orang ke Lombok. Langkah ini berpotensi mengindikasikan ketidakpatuhan terhadap instruksi penghematan anggaran yang seharusnya lebih diperhatikan dalam situasi fiskal yang menantang.
Keputusan-keputusan ini, yang mencerminkan pengelolaan anggaran yang kurang bijaksana, semakin memperburuk persepsi publik terhadap pengelolaan keuangan daerah dan profesionalisme pemerintahan. Dalam hal ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pihak terkait di Kemendagri tentu perlu memberikan perhatian lebih terhadap transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran di Kabupaten Aceh Besar.
Hingga berita ini diturunkan, upaya konfirmasi yang dilakukan oleh wartawan kepada pemerintah Kabupaten Aceh Besar belum menghasilkan jawaban resmi, menambah ketidakpastian dan keresahan di tengah masyarakat.
Penting bagi pihak berwenang untuk segera memberikan penjelasan yang komprehensif, guna meredam polemik yang berkembang dan memastikan bahwa proses pemerintahan berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance yang telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Ke depan, diharapkan pemerintah daerah dapat lebih responsif dan bertanggung jawab dalam menangani isu-isu administrasi dan anggaran yang berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat.(R)