Oleh: Herliana, S. Pd
(Pemerhati Pendidikan dan Sosial)
Gelombang demonstrasi di berbagai tanah air bertajuk Indonesia Gelap belakangan ini menjadi perhatian publik. Tak ketinggalan di Balikpapan, Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Kota Minyak (AMKM) menggeruduk kantor DPRD Kota Balikpapan. Aksi tersebut merupakan lanjutan dari demonstrasi yang sebelumnya berlangsung di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat pada Senin, 17 Februari 2025.
Nampaknya kejengahan sebagian masyarakat mulai menyeruak tak terbendung menyusul kebijakan pemerintahan Prabowo Subianto lewat terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja Dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun 2025 disusul Surat Edaran Nomor S-37/MK.02/2025 dari Menteri Keuangan yang memerintahkan kementerian/lembaga untuk melakukan efisiensi anggaran terhadap 16 pos belanja. Bagaimana tidak, ditengah himpitan ekonomi, beban pajak makin menggila, pencabutan berbagai subsidi serta ketidakpastian masa depan anak bangsa, presiden malah memangkas anggaran yang porsinya justru lebih banyak untuk pelayanan publik.
Pemerintah berargumen pemangkasan ini dikarenakan ada kebocoran anggaran sebesar 30% sehingga perlu pengetatan agar pengelolaan keuangan negara lebih efektif. Pemangkasan ditunjukan pada belanja yang dianggap tidak produktif atau bisa dilaksanakan dengan dana yang lebih kecil. Antara lain perjalanan dinas, seremonial, rapat di hotel,seminar, percetakan souvenir di era digital, dll.
Selain itu, yang menjadi alasan riil pemangkasan karena negara devisit anggaran sebesar Rp616,2 triliun dan masih membutuhkan pembiayaan utang jatuh tempo sebesarRp 800,33 triliun. Jumlah tersebut terbagi atas utang Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp 705,5 triliun dan utang pinjaman sebesar Rp 100,19 triliun , sedangkan salah satu sumber pemasukan dari kenaikan PPN 12% batal diawal tahun ini. Sehingga mau tidak mau pemerintah harus memangkas belanja negara.
Imbas Kebijakan “Ugal-Ugalan’
Beberapa efek langsung dari efisiensi anggaran mulai terasa. Empat palang pintu kereta api di Jember, Jawa Timur ditinggalkan penjaganya. Anggota DPRD Kabupaten Jember David Handoko Seto mengatakan bahwa 16 orang tenaga honorer penjaga palang pintu kereta api tersebut dirumahkan pasca regulasi terkait ASN dan PPPK. Ia juga mengatakan bahwa selain 16 tenaga honorer tersebut masih ada ribuan tenaga non-ASN lainnya yang dapat terkena dampak perubahan regulasi.
Selain perusahaan kereta api di Jember, tenaga honorer TVRI dan RRI yang dipecat karena alasan dampak efisiensi anggaran juga sempat viral di jagat maya. Namun, belakangan pihak RRI dan TVRI telah memanggil kembali kedua karyawan tersebut. Bagaimanapun, efisiensi anggaran ini telah menyebabkan banyak program Kementerian dan Lembaga yang akhirnya batal. Kinerja pemerintah dalam memberikan pelayanan terhadap Masyarakat pun dipastikan akan menurun, termasuk jika wacana tiga hari kerja bagi para pegawai negara benar-benar diimplementasikan.
Ekonom Bhima Yudhistira mengungkapkan pemotongan anggaran pada Kementerian dan Lembaga dapat mengurangi belanja pemerintah, yang merupakan salah satu komponen dalam PDB. Pertumbuhan ekonomi Indonesia malah bisa menurun hingga 4,7 % dari taget 6-7% pada tahun 2025. Sektor vital yang terkena Imbas seperti Pendidikan, Kesehatan, mitigasi bencana, riset dan pengembangan iptek, Pembangunan infrastruktur jalan di pelosok-pelosok daerah, proyek swasembada pangan, dll. 1Semua proyek menyangkut hal urgen ini justru terpaksa harus dihentikan hanya karena pemerintah tidak mampu mencari cara produktif dan kreatif menambah pemasukan negara selain memangkas anggaran dan hutang.
Sejatinya efisiensi anggaran tidak sepenuhnya buruk. Akan tetapi, jika pemangkasan anggaran dilakukan secara sembrono tanpa berbasis data dan kajian yang akurat, hal tersebut akan menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri. Layanan publik terbengkalai, proyek vital seperti sarana publik yang semestinya diperbaiki menjadi terhenti, rakyat terhambat mencari nafkah karena bayang-bayang PHK, dan masih banyak masalah baru lainnya yang perlu diantisipasi oleh pemerintah.
Jangan karena ambisi mewujudkan program-program populis seperti MBG, semua hal dikorbankan. Anak-anak dapat makan gratis, orang tua malah terkena PHK, bukankah ini lebih miris? Jangan sampai terjadi kondisi demikian. Apalah guna MBG jika pemenuhan kebutuhan pokok selain makan terancam akibat PHK massal. Ditambah kebijakan ini inkonsitensi, karena pada saat yang sama pemerintah mengangkat sejumlah kabinet yang ‘gemoy’ yang pasti akan mengeluarkan dana besar, patwal dengan mobil mewah, pelantikan gubernur yang mewah dan pemangkasan yang tidak rasional sehingga memungkikan ada Kementerian dengan anggaran ‘sultan’.
Setelah mendapat kritik publik, pemerintah kembali melakukan rekonstruksi anggaran dengan memangkas anggaran di beberapa kementerian yang awalnya tidak terkena efisiensi, semisal Kementerian Pertahanan, Polri, Badan Gizi Nasional, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), PPATK, KPK, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan MPR. Dengan pemangkasan ini, bagaimana kelak kinerja lembaga yang bekerja dalam menegakkan hukum atau mengusut kasus-kasus korupsi dan penggelapan uang seperti Kejagung, KPK, BPK, dan PPATK? Jangan sampai karena alasan efisiensi anggaran, kasus-kasus korupsi dan kejahatan lainnya menguap begitu saja.
Wajah Gelap Kepemimpinan Sekuler
Tuntutan masyarakat dan aksi yang terjadi di seluruh pelosok tanah air menunjukkan rakyat sudah semakin sadar kondisi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Segala yang terjadi saat ini sejatinya makin menegaskan soal buruknya watak sistem kepemimpinan sekuler kapitalistik yang dipertahankan dari rezim ke rezim. Alih-alih mengurus rakyat dan menyolusi problem masyarakat dengan solusi tuntas yang menyejahterakan, para penguasa malah kerap sibuk melanggengkan kursi kekuasaan.
Sesuai namanya, sistem kepemimpinan sekuler kapitalisme memang tidak mengenal aturan agama, termasuk soal amanah dan tanggung jawab besar yang dikaitkan dengan pertanggungjawaban di Kekekalan kelak. Sistem ini menempatkan negara atau kekuasaan hanya sebagai alat meraih kepentingan, terutama kepentingan segelintir orang dari kalangan para pemilik kapital. Walhasil, Mereka membuat kebijakan yang justru menguntungkan para kapital, menggunakan segala cara, tak pandang halal maupun haram. Bahkan korupsi, kolusi , nepotisme seolah sudah mendarah daging dalam sistem ini. Begitulah wajah gelap kepemimpinan sekuler.
Kepemimpinan Islam, Cahaya Perubahan
Fakta di atas berbeda jauh dengan sistem kepemimpinan Islam. Al-‘Alamah Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, seorang mujtahid mutlak abad ini dalam kitabnya yang berjudul Asy-Syakhsiyyah al-Islamiyyah Jilid 2 secara gamblang menjelaskan bahwa kepemimpinan dalam pandangan syariat adalah pengurus, alias pelayan sekaligus pelindung umat.
Beliau juga menjelaskan bahwa seorang penguasa—selain harus memenuhi syarat sah kepemimpinan—harus memiliki ketakwaan yang tinggi sekaligus sifat lemah lembut yang mencegahnya dari berbuat sewenang-wenang dan zalim. Adapun dalam tanggung jawab umumnya sebagai seorang pemimpin, ia pun harus memiliki kepribadian Islam yang kuat, yakni memiliki akliah hukmin dan nafsiah haakim.
Akliah hukmin adalah akliah negarawan yang paham tugas pemerintahan sekaligus terampil sebagaimana tuntunan Islam. Sementara itu, nafsiah haakim artinya memiliki sifat-sifat pemimpin seperti adil, berwibawa, berani, bijaksana, tulus, dan empati terhadap rakyatnya. Alhasil, ketika menetapkan berbagai kebijakan atas rakyatnya, pemimpin Islam akan menjadikan kepentingan umat dan Islam sebagai pertimbangan utama, tentu dengan memperhatikan prinsip akidah dan halal-haram sebagai landasannya.
Adapun yang menyangkut tanggung jawab umum dalam hubungannya dengan rakyat, maka syarak telah menetapkan seorang pemimpin untuk melingkupi kehidupan rakyatnya dengan nasihat. Pada saat yang sama, syarak mengharamkan para penguasa untuk menyentuh harta milik mereka.
Dengan demikian, hubungan penguasa dan rakyatnya akan diliputi suasana amar makruf nahi mungkar hingga keduanya akan tercegah dari segala bentuk kemaksiatan. Termasuk mencegah penguasa untuk merampok kekayaan milik umat sebagaimana yang lumrah dalam sistem sekuler kapitalisme yang diterapkan sekarang.
Hanya saja, tanggung jawab kepemimpinan umum sebagaimana dijelaskan Islam ini memang tidak mungkin mewujud dalam sistem yang tegak sekarang. Kepemimpinan ideal seperti ini hanya mungkin tegak dalam sistem yang menerapkan syariat Islam secara kafah yang berasal dari wahyu Allah Sang Pencipta Kehidupan.
Oleh karena itu, kejengahan masyarakat akan kondisi saat ini perlu harus segera diarahkan pada Solusi hakiki. Jangan sampai rakyat berkubang pada keputusasaan lalu menuntut perubahan ke arah belakang kembali. Sudah semestinya umat islam menyadari bahwa kondisi yang ada bukan soal siapa yang memimpin, tetapi kepemimpinan apa yang diterapkan saat ini. Kritik terhadap demokrasi harusnya lebih mengakar pada asas sistemnya yaitu menjadikan persoalan umat diselesaikan oleh suara mayoritas dalam hal ini suara kepentingan. Artinya hukum dibuat oleh manusia yang lemah dan terbatas. Apalagi praktek demokrasi yang serba transaksional memastikan aturan yang diimplementasikan lebih pada tawar menawar politik bukan untuk kemashlahatan. Wallahua'lam bishowab