KENAIKAN HARGA PANGAN, TRADISI TAHUNAN DI BULAN RAMADHAN


author photo

13 Mar 2025 - 00.26 WIB



Oleh: Jeli Murniati (Aktivis Mahasiswa)
Menjelang bulan suci Ramadhan, seperti tahun-tahun sebelumnya harga sejumlah bahan pokok diberbagai tempat selalu mengalami kenaikan, seperti di Pasar Segiri, Samarinda, yang mengalami lonjakan signifikan. Kenaikan harga ini mulai terasa diawal pekan, membuat pedagang dan pembeli terpaksa harus menghadapi harga yang semakin tinggi. (Kompas.com).
Beberapa komoditas mengalami kenaikan harga yang mencolok. Seperti Harga cabai yang awalnya Rp, 70.000; menjadi Rp, 90.000;/Kg, sementara bawang merah naik menjadi Rp, 42.000;/Kg, dan telur ayam menjadi Rp, 60.000 per papan. Disisi lain kenaikan beras melonjak tajam, harga per kilogram diluar Ramadhan biasanya hanya Rp,15.000;/Kg Tapi dengan memasuki awal Ramadhan harga beras sampai menyentuh harga Rp, 21.000;/Kg nya dan untuk beras 25 kg menyentuh harga Rp, 480.000 per karung. Tidak hanya di Samarinda kenaikan harga pangan melonjak, di beberapa tempat lainnya pun mengalaminya, seperti di Pasuruan yang mengalami kelonjakan pada harga cabai yang menyentuh harga Rp, 100.000;/Kg nya. Tentu kenaikan harga pangan setiap tahun menjelang Ramadhan ini bukanlah hal baru, tapi sudah menjadi tradisi biasa untuk para pedagang dan pembeli.
*Tradisi yang Memprihatinkan*
 Ramadhan yang menjadi bulan untuk berlomba-lomba mengumpulkan amal ibadah, malah menjadi bulan penuh kecemasan, dibalik indahnya bulan Ramadhan, Masyarakat harus menghadapi tradisi tahunan yang mencekik mereka dari segala arah. Menjelang Ramadhan, kenaikan harga sudah menjadi tradisi tahunan yang terus terjadi. Fenomena ini tidak hanya mempengaruhi daya beli masyarakat, tetapi juga dapat mengurangi ketenangan dalam beribadah. Bagi mereka yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, lonjakan harga kebutuhan pokok semakin menambah beban finansial. Akibatnya, alih-alih beribadah dengan khusyuk, banyak orang justru harus menghadapi tekanan ekonomi yang semakin besar.
Situasi ini erat kaitannya dengan sistem ekonomi kapitalis yang secara alami menyebabkan fluktuasi harga. Mekanisme pasar yang bergantung pada hukum permintaan dan penawaran kerap dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk memperoleh keuntungan maksimal. Menjelang Ramadhan, meningkatnya permintaan sering kali memicu lonjakan harga tanpa adanya regulasi yang memadai. Hal ini mengindikasikan bahwa tanpa langkah intervensi yang efektif dari pemerintah, masyarakat akan terus dirugikan oleh sistem ekonomi yang lebih menguntungkan segelintir pihak.
 Puasa dalam Islam sebenarnya tidak hanya berarti menahan lapar dan haus, tetapi juga mengendalikan hawa nafsu, termasuk dorongan untuk berbelanja berlebihan. Namun, dalam kenyataannya, banyak orang justru meningkatkan konsumsi mereka selama bulan Ramadhan. Tradisi berburu takjil dan meningkatnya permintaan bahan makanan mencerminkan pergeseran makna puasa dari sisi spiritual menuju pola hidup yang lebih konsumtif. Bukannya menanamkan sikap sederhana dan pengendalian diri, Ramadhan justru sering kali menjadi ajang untuk berbelanja lebih banyak dibandingkan hari-hari biasa.
Situasi ini mencerminkan adanya kesalahpahaman dalam memaknai hakikat puasa yang sebenarnya. Kebiasaan membeli berbagai jenis makanan berbuka dalam jumlah berlebihan sering kali berakhir dengan pemborosan, bahkan terbuangnya makanan. Padahal, tujuan utama puasa adalah melatih diri untuk hidup lebih sederhana serta menumbuhkan empati terhadap mereka yang kurang beruntung. Jika pola konsumtif ini terus berlanjut, Ramadhan bukan lagi menjadi sarana untuk meningkatkan ketakwaan, melainkan berubah menjadi momen yang justru mendorong gaya hidup yang bertentangan dengan nilai-nilai kesederhanaan dalam Islam..
Kegagalan negara dalam mengendalikan kenaikan harga menjelang Ramadhan mencerminkan lemahnya peran pemerintah dalam menjamin kesejahteraan rakyat. Setiap tahun, lonjakan harga kebutuhan pokok terus berulang tanpa adanya solusi yang benar-benar efektif. Inspeksi pasar dan program pasar murah yang sering dilakukan hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan akar masalah. Tanpa regulasi yang ketat serta kebijakan jangka panjang, mekanisme pasar tetap dikuasai oleh spekulan yang memanfaatkan tingginya permintaan untuk meraih keuntungan. Akibatnya, masyarakat kecil menjadi pihak yang paling dirugikan, mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok, dan kehilangan kenyamanan dalam menjalani ibadah Ramadhan.
Seharusnya, negara memiliki strategi yang lebih komprehensif dalam menjaga stabilitas harga menjelang bulan suci. Tapi dengan sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan sekarang tentu tidak heran jika banyak regulasi yang berpihak pada segelintir orang yang memiliki modal. Sehingga banyak pelaku pasar yang menaikkan harga secara tidak wajar, dan banyak barang yang distribusinya tidak merata bahkan ditimbun untuk kepentingan pribadi.  
*Sistem Islam Menjamin Ketahanan Pangan*

 Dalam Pandangan Islam, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya imam (Penguasa) adalah raa’in (pengurus) dan ia bertanggung jawab terhadap (rakyat) yang dipimpinnya.” (HR Bukhari). Artinya dalam masalah ketersediaan pangan dan distribusi yang merata hingga ke rumah-rumah penduduk merupakan tanggung jawab negara. Pada aspek produksi, negara islam (Khilafah) akan mengingkatkan produksi pangan lokal untuk memenuhi kebutuhan rakyat sehingga tidak akan terjadi masalah kelangkaan yang bisa menyebabkan kenaikan harga pangan.
 Demi mewujudkan ketahanan pangan, maka Khalifah akan memberikan dukungan penuh pada petani, peternak, dan industri dalam negeri untuk memproduksi pangan dengan jumlah yang mencukupi kebutuhan masyarakat dan ada kelebihan sebagai cadangan pangan untuk kondisi darurat. Khalifah akan menyediakan suplai pangan lebih banyak pada momen seperti Ramadhan dan dua hari raya sehingga tidak terjadi kekurangan bahan pangan.
 Pada aspek distribusi, Khilafah melakukan pemantauan dan pengendalian harga di pasar setiap hari,agar tidak terjadi ketimpangan ekonomi yang merugikan masyarakat, dan segera melakukan antisipasi sesuai syariat ketika ada gejolak harga. Khalifah akan memastikan tidak ada praktik-praktik tidak islami, seperti monopoli, penimbunan barang, dan praktik jual beli yang tidak adil. Dalam Islam, mekanisme pasar tetap dihormati, tetapi Khalifah memiliki tanggung jawab untuk mengawasi dan memastikan harga tetap stabil melalui kebijakan yang adil dan transparan. Untuk mendeteksi adanya penimbunan, monopoli/oligopoly, permainan harga, dll., sekaligus menindaknya. Khalifah menunjuk kadi hisbah. Tugasnya adalah mengawasi praktik perdagangan agar tidak bertentangan dengan syariat.
Khalifah juga bertanggung jawab menciptakan suasana muamalah yang sesuai dengan syariat islam, di mana transaksi ekonomi dilakukan dengan kejujuran, keadilan, dan tanpa eksploitasi. Salah satu cara untuk mewujudkannya adalah dengan memastikan distribusi barang berjalan lancar, mencegah spekulasi harga, serta memberikan sanksi tegas bagi pelaku pasar yang melakukan kecurangan. Dengan demikian, kesejahteraan masyarakat dapat terjamin, dan umat Islam dapat menjalankan aktivitas ekonomi dengan tenang tanpa khawatir terhadap ketidakstabilan harga.
Selain itu, Negara juga memiliki peran penting dalam memberikan pendidikan terbaik yang berlandaskan akidah Islam agar umat memiliki pemahaman yang benar tentang ibadah Ramadhan, termasuk dalam mengatur pola konsumsi. Dengan memasukkan nilai-nilai Islam dalam sistem pendidikan, masyarakat dapat memahami bahwa puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga melatih diri untuk hidup sederhana dan menjauhi sifat konsumtif. Kurikulum yang menekankan akhlak, kesederhanaan, dan pengelolaan rezeki sesuai syariat dapat membantu membentuk pola pikir yang lebih bijak dalam berbelanja dan mengonsumsi makanan selama bulan suci.
Dengan adanya bimbingan yang berkelanjutan, masyarakat akan lebih memahami bahwa hakikat Ramadhan adalah meningkatkan ketakwaan, berbagi dengan sesama, dan mengendalikan hawa nafsu, termasuk dalam hal konsumsi. Hal ini akan menciptakan lingkungan sosial yang lebih harmonis dan sejalan dengan ajaran Islam.
Di masa kejayaan Islam, Ramadhan bukan hanya menjadi bulan ibadah, tetapi juga bulan penuh kepedulian sosial. Masyarakat berlomba-lomba dalam kebaikan, seperti memberi makan orang yang berpuasa, memperbanyak sedekah, dan membantu fakir miskin. Masjid-masjid ramai dengan kajian ilmu dan shalat tarawih berjamaah. Pasar tetap berjalan dengan prinsip ekonomi Islam yang jujur, tanpa eksploitasi harga atau praktik curang.
Dalam sistem Islam tidak sulit untuk menemukan orang-orang yang tidak mau menerima Zakat, karena kebutuhan mereka yang sudah terpenuhi sehingga pada saat kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz masyarakat tidak lagi mau diberikan Zakat, artinya dengan sistem Islam, menunjukkan bahwa sistem ekonomi Islam yang diterapkan berjalan dengan baik, sehingga masyarakat tidak mengalami kesulitan dalam menjalani ibadah Ramadhan. Dari teladan para khalifah dan kehidupan masyarakat Islam di masa lalu, dapat disimpulkan bahwa ketika syariat Islam diterapkan dengan baik, umat dapat menjalani Ramadhan dengan tenang, penuh ibadah, dan tanpa khawatir akan kesulitan ekonomi.
Wallahu a’lam bisshawab.
Bagikan:
KOMENTAR