Fenomena pernikahan dini kembali menyita perhatian. Berdasarkan data dari Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBPPPA) Kabupaten Paser, tercatat sebanyak 109 kasus pernikahan di bawah umur terjadi sepanjang tahun 2024. Angka ini menjadikan Paser sebagai daerah dengan jumlah kasus tertinggi di Kalimantan Timur dalam beberapa tahun terakhir.
Menurut Kepala DPPKBPPPA Paser, Amir Faisol, mayoritas kasus pernikahan dini terjadi karena alasan married by accident (MBA) alias kehamilan di luar nikah. Ini menunjukkan bahwa pernikahan dini bukan semata-mata keputusan sadar membangun rumah tangga, tetapi lebih karena terpaksa menutupi aib akibat pergaulan bebas yang tidak terkendali.
https://kaltimpost.jawapos.com/paser/2385950655/angka-pernikahan-dini-masih-tinggi-di-paser-diduga-karena-faktor-ini
Akar Masalah: Liberalisasi dan Kapitalisme Sekuler
Sangat disayangkan bahwa penyebab mendasar dari persoalan ini justru tidak disentuh oleh pemerintah. Permasalahan ini bukan hanya soal usia, tetapi soal hancurnya sistem nilai dalam masyarakat, terutama di kalangan remaja. Liberalisasi pergaulan adalah buah dari sistem kapitalisme sekuler yang telah lama mencabut agama dari ruang publik. Dalam sistem ini, nilai kebebasan — termasuk kebebasan seksual — dijunjung tinggi, sementara batasan syariah dianggap ketinggalan zaman.
Remaja dibiarkan tumbuh dalam lingkungan yang penuh rangsangan seksual. Pornografi, pornoaksi, media sosial tanpa kontrol, hingga tayangan-tayangan yang memicu syahwat, semuanya menjadi pemicu kuat yang merusak fitrah dan moral generasi muda. Bahkan, negara belum memiliki aturan yang tegas dalam menindak pornografi dan pergaulan bebas padahal dampaknya sangat nyata: hamil di luar nikah, dispensasi nikah, hingga aborsi yang berujung kematian.
Islam Memberikan Solusi Sistemik
Islam tidak sekadar mengatur usia nikah, tetapi menyediakan sistem lengkap untuk menjaga kehormatan dan keturunan (hifzh al-nasl). Solusi Islam terhadap pernikahan dini tidak dimulai dari membatasi usia, tetapi dari membenahi akar persoalan moral dan sosial masyarakat.
1. Pendidikan yang Mempersiapkan Baligh
Islam mengajarkan bahwa anak yang sudah baligh telah dikenai hukum taklif. Oleh karena itu, pendidikan di sekolah dan keluarga harus diarahkan untuk menyiapkan mereka menjadi pribadi yang siap secara akidah, mental, dan tanggung jawab hukum. Kurikulum pendidikan agama Islam (PAI) seharusnya membahas soal pernikahan, adab pergaulan, dan pentingnya menjaga kehormatan diri.
2. Media sebagai Sarana Edukasi, Bukan Provokasi Syahwat
Media seharusnya menjadi alat edukasi, bukan tempat eksploitasi. Tayangan yang mempertontonkan aurat, hubungan pacaran, hingga pelabelan seks sebagai hiburan harus dihapuskan. Negara wajib menegakkan hukum tegas terhadap semua bentuk pornografi dan perbuatan yang mendekati zina, sebagaimana dalam firman Allah:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk."
(QS. Al-Isra: 32)
3. Aturan Pergaulan dalam Islam
Islam mengatur pergaulan antara laki-laki dan perempuan dengan sangat jelas. Menutup aurat, larangan berkhalwat, larangan pacaran, menundukkan pandangan, serta pembatasan interaksi yang tidak syar’i adalah langkah preventif yang menjaga masyarakat dari kehancuran moral. (Lihat: Taqiyuddin An-Nabhani, Nizham Ijtima’i fil Islam).
4. Negara sebagai Penjaga Moral Publik
Pemerintah dalam sistem Islam (khilafah) wajib mengeluarkan kebijakan yang menutup semua pintu menuju zina, bukan hanya memberi dispensasi nikah sebagai solusi darurat. Negara juga harus menindak keras pelaku zina, penyebar pornografi, dan mereka yang melanggar syariat dalam pergaulan.
Penutup
Tingginya angka pernikahan dini di Paser — dan Indonesia pada umumnya — adalah simtom dari penyakit besar: liberalisasi dan hilangnya peran agama dalam kehidupan. Ini bukan sekadar krisis sosial, tapi krisis sistemik. Hanya dengan kembali kepada Islam secara kaffah, mulai dari pendidikan, media, hingga kebijakan negara, kita bisa melindungi generasi muda dan menekan angka pernikahan dini berbasis "kecelakaan".
Pernikahan dini bukanlah akar masalah, tetapi buah dari sistem yang rusak. Dan seperti pohon yang busuk, sistem ini harus dicabut dan diganti dengan sistem yang berasal dari wahyu: yaitu Islam.