Sri Barliani Wati
Aktivis muslimah
Kalimantan Selatan, tanah yang subur kaya dengan sumber daya alam berlimpah mulai dari batubara, hasil hutan, kelapa sawit, hingga potensi perikanan yang seharusnya
menjadi lokomotif untuk mensejahterakan rakyatnya. Namun fakta di lapangan justru memperlihatkan keadaan yang kontras dan menyakitkan masih banyak warga
hidup dalam keterbatasan berada dalam kemiskinan, akses air bersih tak merata,pendidikan belum menjangkau pelosok dengan layak, dan stunting pada anak-anak masih tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2024 jumlah penduduk miskin di Kalimantan Selatan mencapai 4,53% dari total penduduk (sekitar 193.560 jiwa),sedikit di bawah Provinsi Bali. Namun, jika ditelusuri secara kualitatif, angka
ini tidak menggambarkan realitas penderitaan ekonomi yang dialami banyak keluarga, terutama di pedalaman dan wilayah pesisir. [(Sumber: BPS Provinsi Kalimantan Selatan, Maret 2024)].
Padahal,potensi ekonomi Kalimantan Selatan sangat besar. Ekspor batubara menyumbang
miliaran dolar setiap tahunnya, tetapi sebagian besar keuntungan justru dinikmati oleh segelintir korporasi dan pemodal asing maupun domestik yang memiliki konsesi luas atas tanah dan tambang. Rakyat, di sisi lain hanya menjadi buruh di tanahnya sendiri. Perkebunan sawit begitu luas yang dimiliki
perusahan-perusahaan sawit serta hasil kekayaan lainnya termasuk laut. Hanya segelintir orang yang menikmati kekayaan alam Kalimantan Selatan sementara
rakyatnya hidup dibawah garis kemiskinan ditambah ruang hidup masyarakat yang semakin rusak akibat eksploitasi sumber daya alam.
Sistem ekonomi kapitalis meminimalkan peran negara dalam mengurus rakyatnya. Kekayaanalam yang seharusnya milik rakyat haram dimiliki oleh swasta bahkan asing, baik
individu maupon korporasi. Mirisnya negara demokrasi yang menganut sistem ekonomi kapitalis malah menyerahkan kekayaan alam milik rakyat ini kepada swasta dan negara hanya sebagai regulator dengan mendapatkan sedikit pajak yang tidak sebanding dengan kerusakan alam akibat eksploitasi secara besar-besaran.
Dalam sistem kapitalisme negara tidak mewajibkan distribusi kekayaan secara merata,melainkan memberikan ruang legal bagi penguasaan aset oleh segelintir orang.
Akibatnya, kemiskinan menjadi struktural dan regeneratif, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Terjadinya kesenjangan sosial yang semakin lebar yang kaya semakin kaya karena mereka menguasai sumber-sumber ekonomi danyang miskin semakin miskin.
Masalah utama bukan sekadar minimnya program, tapi akar dari sistem yang dianut.Kapitalisme membatasi peran negara hanya sebagai regulator pasar, bukan
penjamin kesejahteraan. Negara disulap menjadi fasilitator investor, bukanpelindung rakyat. Program-program seperti bantuan sosial, pelatihan UMKM, dan
subsidi hanya menjadi solusi sesaat yang tidak menyentuh akar persoalan.Program-program ini sejatinya tidak mampu mengurangi angka kemiskinan. Angka
kemiskinan diukur dengan angka statistik yang kadang menggunakan ukuran yangtidak manusiawi (garis kemiskinan nasional ditetapkan senilai Rp. 595.242 per
kapita per atau sekitar Rp. 20.000 per hari) menurut BBC Indonesia.
Berbedadengan kapitalisme, Islam tidak membiarkan kekayaan terpusat di tangan
segelintir elite. Islam memandang bahwa kemiskinan adalah masalah yang harus diselesaikan oleh negara sebagai tanggung jawab langsung, bukan sekadar belas
kasih. Allah SWT berfirman:
"مَآ اَفَاۤءَ اللّٰهُعَلٰى رَسُوْلِهٖ مِنْ اَهْلِ الْقُرٰى فَلِلّٰهِ وَلِلرَّسُوْلِ وَلِذِى
الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ كَيْ لَا يَكُوْنَدُوْلَةًۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ
فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّاللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ"
“Apa
saja harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasaldari penduduk negeri-negeri, maka itu adalah untuk Allah, Rasul, kerabat
(Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil, agar harta itujangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr:
7).
Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), negara adalah pengelola aktif kekayaan
umat. Beberapa prinsip penting dalam pengentasan kemiskinan secara Islam antara lain:
1. Negara menjamin kebutuhan dasar
tiap individu, berupa sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan.
2. Distribusi kekayaan yang adil,
dengan mencegah akumulasi harta oleh segelintir elit ekonomi.
3. Pengelolaan sumber daya alam olehnegara, karena SDA adalah milik umum dan haram diserahkan kepada swasta atau
asing.
4. Penghapusan riba dan praktik ekonomi eksploitatif, yang merusak tatanan ekonomi dan memperparah ketimpangan.
Khilafah
bukti sejarah yang tak terbantahkan mampu menjamin kesejahteraan umat. Khilafah bukan sebatas teori, melainkan telah terbukti dalam sejarah selama lebih dari
13 abad. Masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz menjadi salah satu contoh paling gemilang. Masa pemerintahan beliau saat itu, sulit ditemukan orang yang mau
menerima zakat karena semua kebutuhan telah tercukupi. Begitu pula di Baghdad dan Andalusia, sistem Baitul Mal berjalan efektif dalam mendistribusikan kekayaan secara merata, termasuk kepada non Muslim.
Sistem Islam tidak membiarkan satu pun rakyatnya terlantar, karena dalam Islam,
pemimpin adalah ra’in (pengurus urusan rakyat) dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah atas kepemimpinannya. (HR. Bukhari dan Muslim).
Kembalilah ke dalam sistem Islam Kaffah untuk mengakhiri kemiskinan sistemik diseluruh negeri-negeri kaum muslimin bukan hanya di Kalimantan Selatan.
Kemiskinan di Kalimantan Selatan maupun daerah lain di Indonesia tidak akan bisa dihapuskan hanya dengan program tambal sulam. Solusi sejati hanya akan datang
dari sistem yang menempatkan kemaslahatan rakyat di atas kepentingan segelintirelite itulah sistem Islam kaffah yang diterapkan dalam naungan Khilafah.
Saatnya umat mengkaji Islam sebagai sistem hidup, bukan sekadar agama ritual.Hanya dengan penerapan syariah Islam secara menyeluruh, rahmat akan turun
kembali ke bumi yang kaya ini.