ACEH UTARA – Sengketa lahan antara PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IV Regional 6 Cot Girek dan seorang warga bernama Sumardi (75) kembali memanas. Kedua pihak saling klaim atas tanah seluas 10 hektare di Kampung Tempel, Kecamatan Cot Girek, Aceh Utara. PTPN IV menegaskan lahan tersebut bagian sah dari Hak Guna Usaha (HGU), sementara Sumardi menyatakan tanah itu miliknya yang telah bersertifikat dan bahkan pernah dimenangkan melalui putusan kasasi Mahkamah Agung.
Polemik ini menyeruak setelah PTPN IV melayangkan surat imbauan kepada Sumardi untuk membongkar tanaman sawit yang ditanamnya secara sepihak di atas lahan yang diklaim perusahaan. Manajemen menyebut tindakan Sumardi melanggar batas legal dan berpotensi sebagai penyerobotan.
“Lahan yang ditanami sawit itu masih dalam kawasan HGU kami. Aktivitas tersebut sudah masuk ke wilayah konsesi perusahaan,” tegas Manajer Kebun PTPN IV Cot Girek, Khairullah, Sabtu (21/6/2025).
Perusahaan Sebut Penanaman Sepihak, Sumardi Balik Menggugat
Menurut Khairullah, penanaman sawit oleh warga berlangsung bertahap selama dua bulan terakhir. Awalnya hanya beberapa batang, namun kini telah berkembang signifikan.
“Kami sudah kirim surat imbauan agar sawit itu dibongkar secara sukarela dalam tujuh hari. Jika tidak diindahkan, kami akan ambil langkah hukum,” tegasnya.
Asisten Kepala PTPN IV Cot Girek, Agung, menyebut warga kerap salah kaprah ketika melihat lahan perusahaan belum ditanami ulang.
“Karena lahan terlihat kosong, mereka kira bebas ditanami. Padahal itu masih dalam rencana kerja jangka panjang kami,” ujarnya.
Sumardi: Saya Punya Sertifikat dan Putusan MA!
Berbeda dari narasi perusahaan, Sumardi bersikeras bahwa lahan itu miliknya sejak tahun 1982. Ia menyebut telah memiliki sertifikat resmi sejak 1985 dan memperjuangkan haknya lewat jalur hukum.
“Saya pernah kalah di pengadilan tingkat pertama, tapi saya menangkan di kasasi Mahkamah Agung tahun 1995. MA memerintahkan agar PTPN IV mengukur ulang lahan mereka,” ujar Sumardi.
Ia kini menguasai 5 hektare dan mengklaim 5 hektare lainnya masih dikuasai oleh perusahaan. Mengenai imbauan pencabutan sawit, Sumardi menolak mentah-mentah.
“Saya tidak akan mencabut tanaman sawit itu. Dan saya juga tidak akan datang ke undangan rapat yang dikirim pihak PTPN. Itu tanah saya, dan saya akan pertahankan,” katanya.
Sumardi juga menyatakan siap menempuh jalur hukum jika tanaman sawitnya dicabut paksa.
PTPN IV: Tidak Pernah Terima Salinan Putusan MA
Menanggapi klaim putusan kasasi, Khairullah mengatakan pihaknya tidak pernah menerima salinan resmi dari Mahkamah Agung yang dimaksud Sumardi.
“Kalau memang ada dokumen hukum sah, kami hormati. Tapi sejauh ini belum ada bukti legal yang diterima perusahaan,” tegasnya.
Khairullah juga menyebut sengketa serupa pernah mencuat pada 2013–2014. Saat itu perusahaan telah mencoba mediasi, namun ajakan tidak ditanggapi secara konstruktif.
“Kami utamakan penyelesaian damai. Tapi kalau upaya persuasif tak membuahkan hasil, kami siap ambil langkah hukum,” pungkasnya.
Dua Kekuatan Hukum, Satu Lahan: Konflik Menuju Meja Hijau
Konflik ini kini berada di persimpangan: antara dokumen HGU yang dikantongi perusahaan dan sertifikat plus putusan kasasi yang diklaim oleh warga. Situasi ini mencerminkan betapa rumitnya konflik agraria di Indonesia di mana dua pihak bisa sama-sama merasa benar secara hukum, tapi rakyat tetap dirugikan jika tidak ada penyelesaian tuntas.
Pertanyaan besarnya kini adalah: Siapa pemilik sah lahan 10 hektare ini? Jawabannya bisa mengubah arah konflik dari pertarungan akar rumput menjadi pertempuran di ruang sidang.(M)