Bencana Sumatra, Bukti Bahaya Perusakan Alam dalam Sistem Kapitalisme


author photo

29 Des 2025 - 17.17 WIB



Oleh : Rahmi Ummu Naqiya.
Pegiat literasi
25 Desember 2025

Bencana hidrometeorologi berupa banjir dan tanah longsor terjadi di sejumlah wilayah di Pulau Sumatera, termasuk Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Pemerintah menggelar rapat terbatas lintas kementerian untuk membahas percepatan penanganan kondisi darurat bencana. Penyebabnya tidak hanya karena faktor curah hujan yang sampai pada puncaknya, banjir bandang terlihat sangat parah karena diiringi oleh menurunnya daya tampung wilayah. 
Dikutip dari tvonenews.com (29/11/2025), menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), banjir dan longsor di Sumut harus dipahami sebagai bencana ekologis. Curah hujan tinggi dan eks-Siklon Tropis Senyar memang menjadi pemicu, namun akar persoalannya lebih dalam, yakni pada krisis ekologi yang telah terjadi selama bertahun-tahun. Kerusakan di kawasan hulu, maraknya aktivitas industri ekstraktif seperti tambang, perkebunan besar, serta hilangnya kawasan penyangga alam menyebabkan sistem lingkungan tidak mampu lagi menahan beban air yang besar. Bencana ekologis adalah bencana yang disebabkan oleh kerusakan ekosistem dan lingkungan akibat aktivitas manusia, bukan semata-mata karena faktor alam. Dalam konteks ini, manusia berperan langsung dalam mempercepat terjadinya kerusakan alam yang mengakibatkan ketidakseimbangan ekologi. 
Sementara Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan Kementerian Kehutanan, Dwi Januanto, menyatakan kayu gelondongan tersebut berasal dari berbagai sumber. Termasuk sisa pohon lapuk, pohon tumbang, material bawaan sungai, area bekas penebangan legal, hingga penebangan liar (kompas.com, 29/11/2025). Adapun warganet menduga itu merupakan praktik ilegal logging yang ikut memperparah banjir dan longsor. Ya, hanyutnya kayu gelondongan telah menyingkap tabir bahwa ini bukan sekadar bencana alam. Tapi bencana ekologis. Banjir dan longsor bukan hanya akibat dari cuaca ekstrem. Tapi karena kerusakan lingkungan dan tata kelola ruang tidak adil yang menjadi penyebab utama meluasnya. Ketika pengusaha rakus berkelindan dengan penguasa tak becus. Inilah secuil bukti penerapan sistem kapitalisme sekuler. Saat tata kelola hidup termasuk lingkungan jauh dari nilai agama dan hanya mengejar laba.
Bencana yang terjadi saat ini bukan karena faktor alam atau sekadar ujian semata, tapi dampak kejahatan lingkungan yang telah berlangsung lama dan dilegitimasi kebijakan penguasa (pemberian hak konsesi lahan, obral izin perusahaan sawit, izin tambang terbuka, tambang untuk ormas, UU minerba, UU ciptaker, dan lain - lain). 
Sikap penguasa seperti ini sangat niscaya dalam sistem sekuler demokrasi kapitalisme. Penguasa & pengusaha kerap kongkalikong untuk menjarah hak milik rakyat a.n pembangunan. Hal ini adalah konsekuensi nyata dari penerapan sistem sekuler kapitalisme. Pemerintah lebih memilih hukum berdasarkan kepentingan hawa nafsu manusia daripada menegakkan hukum yang telah diturunkan melalui Nabi Muhammad saw. Sistem sekuler kapitalisme menjadi biang kerok lahirnya berbagai undang-undang atau kebijakan yang merusak lingkungan karena daya eksploitasinya besar. Para kapitalis yang dibacking penguasa yang menikmati keuntungannya, rakyat yang menjadi tumbal bencana ekologis yang terjadi.

Musibah banjir dan longsor di Sumatra memperlihatkan bahaya nyata akibat kerusakan lingkungan, terlebih dengan pembukaan hutan besar-besaran tanpa memperhitungkan dampaknya. Inilah efek dari negara meninggalkan hukum Allah atau sistem Islam dalam pengelolaan lingkungan. Masyarakat yang menderita, sedangkan pengusaha dan penguasa yang menikmati hasil hutannya.
Islam dalam Al Qur'an telah mengingatkan bahwa kerusakan di bumi akibat ulah manusia. Dari sini, sebagai wujud keimanan, umat Islam harus menjaga kelestarian lingkungan. Negara dalam sistem Islam harus menggunakan hukum Allah dalam mengurusi semua urusannya, termasuk tanggung jawab menjaga kelestarian alam dengan menata hutan dalam pengelolaan yang benar. Negara juga siap mengeluarkan biaya untuk antisipasi pencegahan banjir dan longsor, melalui pendapat para ahli lingkungan.
Islam memiliki paradigma yang berbeda dengan kapitalisme dalam memandang alam dan pembangunan. Dalam pandangan Islam, manusia adalah khalifah di bumi, bukan penguasa yang bebas merusak, melainkan penjaga yang bertanggung jawab atas keseimbangan ciptaan Allah. Ini sebagaimana firman-Nya, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.” (QS Al-A’raf [7]: 56).
Paradigma pembangunan dalam Islam tidak sekadar mengejar pertumbuhan material, tapi membangun peradaban yang selaras dengan fitrah alam dan kemuliaan manusia. Setiap kebijakan pembangunan harus dituntun oleh ketaatan kepada Allah, bukan oleh kepentingan korporasi. Oleh karena itu, pembangunan yang merusak alam dan merugikan masyarakat harus dilarang, sekalipun tampak menguntungkan secara ekonomi.
Dalam sistem Islam, negara memiliki tanggung jawab memastikan pengelolaan SDA terjadi sesuai syariat dan demi kemaslahatan seluruh rakyat. Penguasa bertindak sebagai raa’in (pengurus rakyat) yang wajib menjalankan kebijakan pembangunan berdasarkan aturan Allah dan Rasul-Nya, bukan kehendak para investor.
Negara akan menyusun cetak biru pembangunan wilayah secara komprehensif agar tertata dan tidak tumpang tindih sebagaimana kondisi hari ini. Kawasan permukiman, industri, lahan pertanian, hutan, dan daerah aliran sungai akan ditetapkan dengan jelas. Daerah bantaran sungai tidak boleh dijadikan permukiman dan warga yang tinggal di wilayah berisiko akan dipindahkan ke tempat yang layak dan aman.
Pembangunan fasilitas publik seperti sekolah, rumah sakit, jalan, pasar, dan masjid akan disesuaikan dengan lokasi permukiman agar mudah diakses. Adapun kawasan industri dan pertambangan ditempatkan jauh dari permukiman untuk mencegah pencemaran dan risiko kesehatan. Analisis dampak lingkungan menjadi bagian dari tanggung jawab syar’i agar aktivitas ekonomi tetap menjaga kelestarian alam.
Sejak masa Khilafah Islamiah, konsep hima (kawasan lindung) telah diterapkan untuk menjaga kelestarian ekosistem. Beberapa kawasan dilarang dieksploitasi demi menjaga keseimbangan lingkungan. Paradigma pembangunan Islam yang berlandaskan syariat dan berorientasi pada kemaslahatan rakyat ini melahirkan tata kota yang tertib, nyaman, dan berperadaban.
Sebagai bentuk tanggung jawab ekologis, negara dalam sistem Islam juga membangun infrastruktur pengelolaan air seperti bendungan, kanal, dan saluran drainase. Pada masa keemasan Islam, bendungan-bendungan megah dibangun di berbagai wilayah kekuasaan, termasuk di Iran dan Turki, untuk mencegah banjir dan mendukung irigasi pertanian. Sungai-sungai dan saluran air dijaga melalui pengerukan berkala agar tidak terjadi pendangkalan.
Jika terjadi bencana banjir, Khilafah akan cepat tanggap menyelamatkan masyarakat dan menjamin kebutuhan mereka tetap terpenuhi dengan baik. Sumber dana untuk penanganan bencana diambil dari baitulmal melalui pos kepemilikan umum dan pos fai, ganimah, maupun sedekah sukarela umat. Negara juga melakukan evaluasi menyeluruh untuk memastikan tidak ada kelalaian dalam pengelolaan lingkungan, serta memberi sanksi tegas kepada pihak yang lalai atau melanggar aturan syariat.
Selain itu, Islam menumbuhkan ketakwaan individu sebagai fondasi moral dalam menjaga alam. Seorang mukmin akan berhati-hati agar tidak menebang pohon sembarangan, tidak membuang sampah ke sungai, dan tidak merusak habitat makhluk lain. Semua dilakukan karena ia sadar akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Yang terpenting, para pemimpin dalam sistem Islam bukanlah sosok yang haus pencitraan, melainkan orang-orang yang tangguh, amanah, dan benar-benar mengurusi keselamatan rakyatnya.
Sudah saatnya arah pembangunan dikembalikan pada paradigma Islam yang menempatkan alam sebagai bagian dari ibadah dan tanggung jawab di hadapan Allah. Hanya dengan cara itu, bumi akan kembali tenang, dan hujan menjadi rahmat, bukan ancaman.
Hanya dengan hukum Allah, negara dapat meminimalisir terjadinya banjir dan longsor yang menyengsarakan rakyat. Khalifah sebagai pemegang mandat dari Allah akan fokus setiap kebijakannya mengutamakan keselamatan umat manusia dan lingkungan dari dharar. Khalifah akan merancang blue print tata ruang secara menyeluruh, melakukan pemetaan wilayah sesuai fungsi alaminya, tempat tinggal dengan semua daya dukungnya, industri, tambang, dan himmah.
Bagikan:
KOMENTAR