Ibu dan Generasi Muda : Menjaga Ruh Jama'ah Dakwah di Tengah Arus Digital


author photo

29 Des 2025 - 12.05 WIB



Sekularisasi pemuda, baik di dunia nyata maupun digital, menyebabkan generasi kehilangan jati diri sebagai Muslim dan pelopor perubahan. Kondisi ibu tak kalah memprihatinkan terlihat dari degradasi peran mereka sebagai ummun wa rabbatul bayt dan pendidik generasi, bahkan mereka menjadi korban sistem Kapitalisme.

Digitalisasi berada di bawah hegemoni Kapitalisme, yang tidak hanya bertujuan ekonomi tetapi juga menyebarkan ideologi bathil yang menjauhkan umat dari pemikiran Islam Ideologi. Negara sekuler memandang generasi muda dan kaum ibu sebagai objek komersial sekaligus menjauhkan mereka dari pembekalan Islam Kaffah. Akar persoalan terletak pada adopsi Sekularisme dan Kapitalisme sebagai paradigma bernegara, sehingga peran agama dibatasi pada ranah privasi. Perkembangan teknologi telah mengubah cara manusia belajar, berinteraksi dan membangun nilai.

Jama'ah dakwah pun tidak luput dari perubahan ini. Media sosial, grup pesan instan, dan platform video kini menjadi ruang baru dakwah yang efektif, tetapi juga berpotensi menggeser ruh kebersamaan jika tidak di kelola dengan bijak. Disinilah peran ibu dan generasi muda menjadi penentu arah jama'ah dakwah di era digital.Ibu memiliki posisi strategis sebagai fondasi nilai dalam keluarga sekaligus jama'ah.
Dari tangan ibu, anak - anak pertama kali mengenal adab, akhlak, dan makna beragama. Di era digital, peran ini tidak berkurang, justru semakin berat. Ibu di tuntut tidak hanya mendidik secara langsung terapi juga mengawasi dan mengarahkan konsumsi digital anak - anaknya.

Keteladanan ibu dalam menggunakan gawai, memilih tontonan, serta memanfaatkan media digital untuk kebaikan menjadu dakwah paling nyata yang dirasakan oleh generasi muda.
Di sisi lain,generasi muda hadir sebagai aktor utama dalam dunia digital. Mereka tumbuh bersama teknologi dan memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi. Dalam jama'ah dakwah, generasi muda dapat menjadi penggerak Inovasi; mengemas pesan dakwah dengan bahasa yang lebih segar, visual yang menarik dan pendekatan yang relevan dengan realitas sehari - hari.
Namun tanpa bimbingan nilai, kreativitas ini berisiko kehilangan arah dan hanya mengejar popularitas semata. Hubungan antara Ibu dan generasi muda dalam jama'ah dakwah seharusnya tudak bersifat Kiererkis semata,melainkan kolaboratif. Ibu berperan sebagai penjaga nilai, penyeimbang emosi, dan pengingat tujuan dakwah.

Generasi muda berperan sebagai pelaksana kreatif yang membawa nilai tersebut ke ruang - ruang digital yang lebih luas ketika keduanya berjalan sendiri - sendiri, dakwah bisa kehilangan kedalaman atau justru kehilangan relevansi. Jama'ah dakwah di era digital perlu membangun ruang pembinaan yang menyatukan kedua peran ini. Literasi digital berbasis nilai Islam harus menjadi agenda bersama, bukan hanya untuk anak muda, tetapi juga untuk para ibu. Dengan demikian jama'ah tidak hanya aktif di dunia maya, tetapi kokoh secara spirirual dan sosial di dunia nyata.
Pada akhirnya, kekuatan dakwah di era digital tidak terletak pada kecanggihan teknologi, melainkan pada manusia yang menggunakannya. Ibu dan generasi muda dengan peran dan keunikan masing - masing adalah dua pilar utama yang dapat menjaga ruh jama'ah dakwah agar tetap hidup membumi, dan relevan sepanjang zaman.

Di tengah penerapan sistem Kapitalisme, kehadiran jama'ah dakwah Islam Ideologis menjadi sangat urgen untuk membina ibu dan generasi muda agar memiliki kepribadian Islam dan siap memperjuangkan Kebangkitan Islam. Sebagaimana yang diteladankan Rasulullah SAW, jama'ah dakwah ini membina umat termasuk ibu dan generasi muda dengan Islam Ideologis yang akan menyiapkan mereka menjadi pelopor peradaban yang membela dan mengemban Islam Kaffah.
Bagikan:
KOMENTAR